Oleh : Krist Ansaka (*)
PEKAN lalu, media
massa di Jayapura dan juga di luar Jayapura memberitakan tentang rencana
Gubernur Papua, Lukas Enembe untuk menebang pohon beringin yang berada di depan
Kantor Gubernur Provinsi Papua di Dok II, Jayapura.
Rencana ini ternyata mendapat tanggapan beragam. Ada yang
pro dan ada yang kontra. Bagi kelompok yang pro mempunyai alasan sendiri. Begitu
pun yang kontra punya alasan sendiri.
Rencana Lukas Enembe itu dan pendapat dari kelompok yang pro
dan kontra itu, telah mewarnai halaman dan durasi di media massa di Jayapura.
Rencana potong pohon beringin ini hanya sebagai contoh dari
kebijakan penguasa yang diberitakan di media massa.
Dan, media massa dalam pemberitaannya, hanya menyajikan
informasi, baik informasi tentang rencana Gubernur Papua maupun komentar dari
kelompok yang pro dan kontra. Di sini media massa, nampak bahwa media massa
hanya sebagai institusi informasi.
Pada konteks ini, terjadi bias berita karena media massa
tidak berada di ruang vakum. Padahal sesungguhnya, media massa berada di tengah
realitas sosial yang sarat dengan berbegai kepentingan, konflik, dan fakta yang
kompleks dan beragam.
Media, dalam hubungan dengan kekuasaan, terutama karena
anggapan bahwa media sebagai sarana ligitimasi. Media massa seperti lembaga
pendidikan, agama seni, dan kebudayaan, merupakan bagian dari alat kekuasaan
yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap
kelompok yang berkuasa (ideplogical
states apparatus).
Tapi ada yang berpendapat, media merupakan arena pergulatan
antarideologi yang saling berkompetisi. Ini berarti, media bisa menjadi sarana
penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik.
Namun di sisi lain, media bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan.
Media bisa menjadi alat membangun kultur
dan ideologi yang dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus bisa
menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi
tandingan.
Walau begitu, kita semua sepakat, bahwa media massa bukanlah
sesuatu yang bebas, independen. Tapi media massa memiliki keterkaitan dengan
realitas sosial. Jelasnya, ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media
massa. Di samping kepentingan ideologi
antara masyarakat dan negara. Sementara itu, dalam diri media massa juga terselubung kepentingan yang lain. Misalnya,
kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan
(suistaibilitas) lapangan kerja bagi para karyawan dan sebagainya.
Dalam kondisi dan possis seperti ini, media massa tidak
mungkin berdiri statis di tengah-tengah. Dia akan bergerak dinamis di antara
pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Kenyataan inilah yang menyebabkan terjadinya bias berita di media massa
yang sulit dihindari.
Oleh sementara orang, media (pers) acap disebut sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam
kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Hal ini disebabkan oleh suatu persepsi
tentang peran yang dapat dimainkan media dalam kaitannya dengan pengembangtan
kehidupan sosial-ekonomi dan politik masyarakat.
Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, media sebagai
satu institusi yang dapat membentuk opini publik antara lain karena media juga
dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan atau
suatu kepentingan atau citra yang direpresentasikan untuk diletakan dalam
konteks kehidupan yang lebih empiris.
Sehubungan dengan hal tersebut, di sini nampak bahwa
sebenarnya media massa berada pada posisi yang medua, dalam pengertian, bahwa
ia dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif. Tentu saja atribut-atribut
normatif bersifat sangat relatif, tergantung pada dimensi kepentingan yang
diwakili.
Di sini nampak bahwa, media massa merupakan sebuah kekuatan
raksasa yang diperhitungkan. Dalam berbagai analisa tentang kehidupan sosial,
ekonomi dan politik, media massa sering ditempatkan pada salah satu variabel
determinan. Bahkan terlebih lagi, media massa dalam posisinya sebagai institusi
informasi, dapat dipandang sebaagai faktor yang paling menentukan dalam proses
perubahan sosial-budaya dan politik.
Oleh itu, dalam konteks media massa sebagai institusi
informasi, maka media massa dipandang sebagai “urat nadi pemerintah” (the nerves of government). Hanya mereka
yang mempunyai akses kepada informasi yang bakal menguasai percaturan
kekuasaan. Atau paling tidak, urat nadi pemerintah itu sebenarnya berada di
jaring-jaring informasi.
Sebagai “urat nadi pemerintah”, telah memunculkan anggapan
sebagaian orang, bahwa tidak pernah dan tidak akan memberitkan kebenaran atau
kenyataan apa adanya. Dan sebagai “urat nadi pemerintah”, media massa cenderung
untuk tidak menunggu peristiwa lalu mengejar, dan memahami kebenaran serta
memberitakannya kepada publik. Media
mendahului semua itu. Media menciptakan peristiwa, menafsirkan dan mengarahkan
kepada terbentuknya sebuah kebenaran.
Di sini nampak, bahwa media massa telah membentuk dirinya sebagai elite kekuasaan
baru. Dan wartawan tidak lagi menjadi kelas empat. Para wartawan ini telah
membentuk kelas baru. Dan anggapan kono, bahwa wartawawan sebagai anjing
penjaga itu, kini telah berubah. Wartawan dan media massanya, telah tumbuh
menjadi anjing yang sangat besar dan menakutkan.
Kerena itu, reporter sebagai pencari dan pengolah informasi,
menghadapi dua tantangan. Pertama, repoter harus menahan godaan untuk tidak
menjadi bagian dari peristiwa (rencana Gubernur Papua memotong pohon beringin)
dan wartawan mengorbankan tanggungjawab kepada khalayak berita. Kedua, reporter
tersebut harus mengakui bahwa seleksi sumber berita dan persoalan yang
diajuykannya, bukan hanya untuk mempengaruhi kisah itu sendiri tapi juga
membentuk opini publik. Terlepas dari kedua tantangan ini, tapi reporter atau
media massa harus paham bahwa tanggungjawabnya terutama kepada khalayak berita
bukan kepada sumber berita.
Dengan tanggungjawab kepada khalayak berita itu yang akan
mengamankan kebebasan pers di Negeri Kasuari – Papua. Semoga ! (*) =
Penulis adalah Mantan Jurnalis di Papua
0 comments:
Post a Comment