Sunday, November 23, 2008

Sagu dan Bakau Habis, Orang Tabi Terancam

Pengakuan terhadap hak-hak dasar suku Tabi yang menjadi penduduk asli Kota Jayapura, belum menjadi perhatian Pemerintah Kota Jayapura. Sementara MRP belum berbuat banyak.

SUKU Tabi atau orang-orang dari Matahari Terbit mendiami enem kampung, yaitu Kampung Tobatji, Ingros, Kayu Pulau, Kayu Batu, Nafri dan Skow.

“Masyarakat asli Yoka dan Waena itu masuk dalam adat Sentani. Tapi secara wilayah pemerintahan, masuk di Kota Jayapura. Tapi mereka ada hubungan kekerabatan dengan masyarakat adat Tabi,” kata Abraham Ondi kepada tabloid ini di Kantor Sinode GKI pada Rabu, 13 September lalu.

Khusus untuk Kampung Tobatji dan Injros, menurut salah satu intelektual asal Tabi, Drs Jan Hendrik Hamdi, bahwa masyarakat di Kampung Injros itu adalah bagian dari masyarakat Tobatji. “Dulu, orang tua-tua kami, hidup bersama-sama di Kampung Tobatji. Tapi atas kesepakatan bersama, mereka membuka Kampung Injros. Jadi Injros itu adalah bagian dari Tobatji,” kata Jan Hendrik Hamadi.

Menurut Hendrik dan juga Abraham Ondi, bahwa masyarakat adat Tobatji punya hubungan kekerabatan dengan adat Nyawa di Arso, Nafri, Kayo Pulau, Kayu Batu, Sentani, Depapre, Ormuh dan Genyem. “Tapi yang lebih nampak dan punya hubungan kekerabatan, yaitu Sentani. Kami punya hubungan adat dengan masyarakat Sentani,” kata Hendrik.

Tentang hak-hak dasar masyarakat Tabi, menurut Hendrik Hamadi, bahwa awalnya, masyarakat adat Tabi sebagai pemilik tanah di seluruh Kota Jayapura. “Tapi ketika tanah punya nilai ekonomis dan masyarakat adat tidak dipersiapkan dengan baik, sehingga tanah-tanah diperjual belikan kepada pemerintah dan mingran yang umumnya orang non Papua. Akibatnya, masyarakat adat Tabi mulai kehilangan hak atas tanah adat. Dan ini ancaman terberat bagi kehidupan masyarakat adat Tabi,” ungkap Hendrik dan dibenarkan Abraham Ondi.

Tampaknya, nilai-nilai adat masyarakat Tabi kini mulai terkikis sebagai akibat dari derap pembangunan yang tidak mempersiapkan orang Tabi. Tragis lagi, dalam era otonomi khusus, hak-hak dasar masyarakat Tabi yang sudah terhimpit dan terkikis itu, tidak atau belum diproteksi oleh pemerintah Kota Jayapura. “Ya, contohnya, tanah-tanah adat masyarakat Tabi kini sudah berpindah tangan ke pemerintah dan juga para migran dari luar Papua,” kata Hendrik.

Menurut Hamadi, awalnya masyarakat adat Tabi menyerahkan tanah ke pemerintah dengan maksud untuk menjadi mitra pemerintah. Dan Pemerintah diminta untuk dapat mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Tabi. Tapi kenyataanya, masyarakat adat Tabi semakin termarjinal. Bahkan program yang diluncurkan di kampung-kampung itu lebih bersifat politis ketimbang untuk memberdayakan masyarakat asli Tabi.

Walau begitu, Jan Hendrik Hamadi tidak mengelak kalau saat ini pemerintah sudah dan sedang memberikan perhatian melalui berbagai program pembangunan. Misalnya, pengelolaan tempat rekreasi, Pantai Hamadi diserahkan kepada masyarakat adat. Kemudian pengadaan air bersih sampai ke kampung-kampung. Pengadaan genset untuk listrik, pembangunan jembatan di kampung-kampung, pemberian seng untuk atap rumah, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat adat Tabi. “Semua perhatian pemerintah ini sebagai salah satu bukti dari perhatian pemerintah terhadap masyarakat Tabi,” kata Hendrik.

Tapi sayangnya, dalam penerapan program untuk pemberdayaan masyarakat Tabi, terkadang para ondoafi dan tetua adat kurang dilibatkan. Kalaupun ada yang dilibatkan, ada kecenderungan bersifat politis. Hal inilah yang perlu kita cegah sehingga dalam perencanaan pembangunan, masyarakat adat Tabi perlu dilibatkan secara penuh. “Biarlah kami sendiri yang menentukan program yang sesuai kebutuhan kami. Dan pemerintah hanya memfasilitasi,” ungkap Direktris yayasan Dian Harapan Yotefa Papua, Ny Salomina Merauje kepada Tablois ini.

Lebih parah lagi, pemerintah membiarkan pihak swasta, dan juga orang per orang masuk ke kampung-kampung dan membodohi rakyat dan merebut hak-hak ulayat atas tanah dan hutan, termasuk bakau (mangrove) dan hutan sahu.

“Cara yang mereka pakai, yaitu dengan memberikan minuman beralkohol kepada para pemilik tanah adan ondoafi. Ketika pemilik tanah itu mabuk, barulah traksasi pembelian tanah dilakukan. Bahkan pernah terjadi di Entrop tahun 1989, satu hektar tanah dibayar dengan satu karton bir. Ini bukti dari penindasan dari pihak luar yang dibiarkan oleh pemerintah. Akibatnya, hak-hak masayarakat dirampas dan kini orang Tabi hanya sebagai penonton di wilayah adatnya sendiri,” kata Ny Salomina Merauje.

Direktris yayasan Dian Harapan Yotefa Papua membrikan contoh yaitu hilangnya hutan sagu di Kotaraja. Sekarang sudah disulap jadi kantor otonom. Begitu juga dengan hutan mangrove di Entrop, sudah berubah menjadi pusat perbelanjaan, terminal, bar-bar, dan pemukiman penduduk non Papua. ”Di manakah tanah adat kami yang dulunya terhampar luas di Kota ini?” tanya Salomina.

Menurut penelusuran tabloid ini, hutan bakau (mengrove) di kawasan Entrop mulai dibabat sekitar tahun 1986. Kini kawasan itu sudah menjadi pusat perbelanjaan (Papua Trade Centre – PTC), Terminal Entrop, Pasar Entrop, Bar-bar, diskitik, panti pijat, gudang-gudang, perkantoran, pemukiman penduduk, dan lain-lain.

Bahkan bekas tanah leluhur ini kini sudah dijadikan tempat prostitusi terselubung melalui usaha Panti Pijat, bar dan lain-lain. ”Ini adalah salah satu bentuk usaha yang dijinkan pemerintah untuk merusak orang asli Papua. Untuk itu, saya minta MRP untuk segera melihat persoalan ini karena hal-hal ini bersingungan langsung dengan hak-hak dasar orang Papua, khususnya orang Tabi,” kata Salomina.


Pelepasan hutan bakau dan sagu ini bisa terjadi lantaran tidak ada pengawasan dan perlindungan dari pemerintah. Ketika Bupati Jayapura dijabat oleh Jan Pieter Karafir, ia sangat getol untuk menantang pihak swasta yang memberdai masyarakat Tobatji dan Injros dengan minuman keras lalu merampas hak ulayat atas hutan sagu dan bakau.

Tapi kini, sikap tegas Jan Pieter Karafir tak pernah ditindak lanjuti. Bahkan hak-hak adat dibiarkan beralih ke tangan-tangan pemilik modal.

”Ya, kami lepas itu kepada pemerintah, tapi apa yang kami dapat dari pusat perbelanjaan itu, apa manfaatnya untuk kami masyarakat adat?” tanya Ketua Lembaga Masyarakat Adat Port Numbay, George Arnold Awi

Awi mengatakan masyarakat yang hidup di Teluk Yotefa dan Humbof sekarang ini kalau mencari ikan terkadang yang di dapat bukannya ikan melainkan sampah-sampah plastik. Mereka berharap dapat ikan ternyata yang diperoleh adalah plastik atau sandal jepit,” ujarnya.

Padahal, hutan bakau mangrove merupakan tempat ikan dan biota laut lainnya bertelur dan berkembang biak di sana. Dan di hutan makau inilah, tempat mama-mama mencari ikan dan kerang (bia). ”Tapi kini lahan untuk mencari nafkah sudah dirampas tanpa ada usaha untuk bididaya bakau,” ungkap Salomina Mareuje.

Bukan saja itu, tanah yang kini menjadi pusat Kota Jayapura sudah dimanipulir sehingga menjadi milik pemerintah. ”Tanah-tanah itu milik masyarakat adat. Dan statusnya belum berubah tapi sudah dimanipulir oleh pemrintah dan pihak swasta sehingga kami kehipangan salah satu akar budaya yang diwariskan turun temurun,” kata salah satu tetua adat Kampung Kayu Pulau, Silas Chaay kepada tabloid ini.

Melihat kondisi ini, diharapkan Majelis Rakyat Papua (MRP) harus segera mengeluarkan rekomendasi kepada Pemerintah Kota Jayapura agar dapat memproteksi hak-hak dasar orang asli Tabi yang menjadi penduduk asli Kota Jayapura.

Harapan ini tampaknya belum menjadi perhatian MRP. Soalnya MRP masih sibuk dengan urusan pemekaran provinsi, PT Freeport dan persoalan lain yang tidak menyentuh langsung hak-hak dasar orang asli Papua.

Sedangan pihak DPRD Kota Jayapura diharapkan untuk mendorong Pemerintah Kota Jayapura supaya mengeluarkan kebijakan dan peraturan daerah untuk memproteksi hak-hak dasar orang asli Kota Jayapura.

Kalau hal ini dibiatkan, maka setelah hutan sagu dan bakau habis dirampas, maka secara perlahan-lahan, sudah dipastikan orang Tabi bakal kehilangan identitas sebagai manusia-manusia dari Matahari Terbit yang hidup di Teluk Yotefa dan Teluk Humbof.

Sementara untuk para intelektuan asal Tabi diminta untuk harus pekah dan kritis melihat kondisi ini. Jangan kita hanya mencari jabatan di pemerintahan, sementara orang hak-hak adat terus dirampas dan kehidupan generasi Tabi terhimpit di tengah kemegahan Kota Jayapura.

Marilah kita bersatu untuk mengkritisi berbagai kebijakan yang tidak memihak masyarakat adat Tabi. Kapan lagi kita harus mulai, kalau sekarang kita tidak bertindak.




Read More......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com