Thursday, October 23, 2008

Ance Wanggai: Mendongkrak Keberadaan Perempuan Supiori

Ketua PKK Kabupaten Supiori, Ance Wanggay SE membangkitkan keberadaan perempuan di Kabupaten Kepulauan Sopiori dengan pengetahuan dan ketrampilan.

DEBURAN ombak laut Pasifik yang menghantam Kepulauan Sopiori, tak dapat menghalang semangat kaum perempuan di sana untuk bangkit dan menata hidupnya sebagai sumber kehidupan.

Awalnya, kebangkitan kaum perempuan Sopiori ini digagas oleh Ance Wanggai dengan menjadikan Duber sebagai kampung percontohan. Untuk itu, PKK dan instansi terkait melakukan penataan administrasi kampung

Setelah itu, dari kampung Duber, semua aktivitas untuk mendongkrak keberadaan kaum perempuan Supiori dilalukan. Ada tiga kegiatan yang menjadi fokus, yaitu bidang kesehatan, pemberdayaan ekonomi keluarga, dan pengetahuan soal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan hak politik.

Untuk bidang kesehatan, PKK bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Supiori mendatangkan para medis, termasuk dokter spesialis dari Jakarta, Jayapura dan Sorong untuk memberikan kepamahan kepada kaum perempuan tentang hidup sehat, termasuk makanan bergizi dan pengobatan masal.

“Tujuan saya untuk mengangkat derajat kesehatan kaum perempuan secara khusus dan masyarakat Supiori secara umum,” kata Ketua PKK Supiori, Ance Wanggai, istri dari Bupati Supiori, Yules F Warikar di Korido, Supiori pada 3 Oktober lalu.

Menurut Ance Wanggai, bahwa dari bebrapa kunjungan yang dilakukan PKK di kampung-kampung, banyak ditemui kasus gizi buruk Ibu dan anak serta jumlah angka kematian ibu yang tinggi .

“Untuk itu, PKK mengawali program peningkatan kualitas kesehatan Ibu dan anak yang meliputi, penyuluhan peningkatan kesehatan ibu dan gizi buruk serta pengobatan massal di kampung-kampung,” kata Ketua PKK itu.

Menurutnya, Kepulauan Supiori termasuk kabupaten yang kaya dengan ikan tapi kekurangan sayuran. Banyaknya ikan, tidak bisa menjamin, baiknya gizi. Hal ini terbukti, bahwa angka kematian ibu dan anak cukup tinggi akibat gizi buruk. Contohnya di Sowek, ditemukan kasus gizi buruk bagi ibu dan anak bahkan ada anak yang mengidap penyakit Marasmus.

“Anak-anak itu saya bawa ke rumah sakit dan mendapat pengobatan secara gratis,” kata Ance Wanggai yang lahir di Sorong pada 22 Oktober 1950.

Sekarang, program peningkatan kualitas kesehatan, termasuk peningkatan gizi menjadi program prioritas PKK, setiap tahun.

“Jadi setiap tahun, Tim PKK melakukan penyuluhan peningkatan gizi dan pengobatan massal dengan mendatangkan dokter umum dan spesialis dari Jayapura, Sorong, Manado dan Jakarta untuk ke kampung-kampung di Supiori. Untuk itu, PKK bekerjasama dengan Yayasan Peduli Kasih Papua,” ungkap Ance.

Menurutnya masalah kesehatan ibu dan anak juga gizi, serta pendidikan adalah masalah utama perempuan Supiori. Hal inilah yang menjadi tantangan untuk PKK di Supiori .

“Ibu-ibu yang ada di Supiori ini sering tidak memperhatikan anak maupun dirinya, termasuk juga kulitas ibu-ibu itu sendiri. Beberapa tahun lalu, banyak ibu-ibu yang meninggal karena masalah kesehatan. Tapi kini mulai teratasi karena mereka mulai mengerti bagaimana mengkonsumsi makanan yang sehat, merawat diri sendiri dan anak,” kata ibu dari sembilan orang anak itu.

Menurut Ance, kalau masalah kesehatan ibu dan anak tidak diperhatikan, maka dikuatirkan, disuatu saat nanti, generasi Supiori tidak ada lagi.

“Tapi sejak PKK melakukan penyuluhan, sekarang sudah ada perubahan. Ibu-ibu mulai mengerti tentang pola hidup yang sehat,” kata wasit tinju di Kabupaten Nabire itu.

Sedangkan untuk pemberdayaan ekonomi keluarga, PKK mendatangkan para pemandu dari luar Papua untuk memberikan pelatihan ketrampilan pemanfaatan pohon kelapa, mulai dari akar sampai daun. Kegiatan ini disebut Program Kelapa Terpadu (PKT).

PKT ini lebih terfokus kepada kaum perempuan dan generasi muda untuk memanfaatkan pohon kelapa, mulai dari, batang, daun, air kelapa sampai buahnya.

Dari daun (lidi) dibikin taplak meja dan alas piring. Dari buah kelapa atau tempurung dijadikan pigura, meja, juga dapat dibuat briket arang dengan minyak untuk pengawet ikan. Sedangkan isi buah kelapa bisa dibuat visio semacam pasta gigi. Lalu air kelapa dibuat natadekoko yang dapat dicampur dengan es buah. Kemudian batang kelapa dapat dibuat aneka asesoris

Pelatihan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. “Tapi saya punya tanggungjawab untuk mendongkrak keberadaan kaum perempuan di kampung-kampung sehingga saya berusaha datangkan fasilitator dari Jakarta,” kata Ance.

“Hasil karya mama-mama dari pelatihan kelapa terpadu itu telah dipamerkan dibagai event pameran, baik pameran PKK Provinsi Papua di Jayapura, pameran di Jambi, dan Expo 1 abad Menteri Pemberdayaan Perempuan di Jakarta. Ketika dipameran, banyak pengunjung terperanjat dan membeli hasil kreasi mama-mama Supiori,” kata Mama Wanggai - Warikar itu.

Selain itu, PKK Sopiori juga punya program penyuluhan soal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan penguatan bidang politik melalui seminar perempuan dalam politik.

“Kekerasan terhadap perempuan di kabupaten ini cukup banyak. Latar belakangnya bervariasi. Ada yang soal ekonomi, miras dan lain-lain lagi. Kami ingin membekali kaum perempuan dan laki-laki di Supiori soal KDRT. Untuk itu, kami akan lakukan sosialisasi UU KDRT kepada kaum perempuan dan laki-laki,” kata Ketua Persatuan Anggrek Indonesia (PAI) Kabupaten Supiori itu.

Dijelaskan, untuk mensosialisasi KDRT itu, pihaknya akan mengundang fasilitator dari Komnas Perempuan di Jakarta, Pokja Perempuan MRP dan PKK Provinsi Papua.

Selain itu, PKK Supiori juga melakukan seminar tentang perempuan dalam Politik. “Seminar ini akan menghadirkan para calon legislatif dari kaum perempuan untuk mendiskusikan soal apa yang hendak dilakukan ketika masuk menjadi anggota DPRD. Kita tidak mau lihat dan dengar, bahwa perempuan di DPRD itu tidak bisa berbuat apa-apa,” kata mantan Pengurus Himpunan Wanita Karya Kabupaten Nabire itu.

Dalam seminar itu, akan nampak, perempuan siapa yang berkualitas dan layak untuk menjadi anggota DPRD sehingga ia dapat mengangkat hak dan martabat perempuan di daerah ini. Bukan sekedar menjadi anggota DPRD tapi tidak dapat berbuat untuk mama-mama yang ada di kampung-kampung,” tegas Ance Wanggai-Warikar itu.

Selain itu, melalui wadah PKK, Ance sedang memperjuangkan ke DPRD dan pemerintah daerah agar di Kabupaten Supiori ada Kantor Pemberdayaan Perempuan. “Mudah-mudahan, tahun 2009, kantor ini sudah ada,” katanya.

Tampaknya, sebagai kabupaten yang baru dimekerkan beberapa tahun lalu, tantangannya cukup berat. Walau begitu, anak kelima dari Almarhum Pdt Yan Wanggay dan Petronela Numberi, mencoba menghadapinya.

“Ya, dalam membangun daerah ini, baik untuk mendampingi bapak sebagai bupati juga dalam merealisasikan program PKK, saya harus banyak belajar tentang adat istiadat masyarakat Supiori juga sejumlah hal untuk mematangkan diri. Dan bapak selalu memberikan saran dan solusi untuk membantu saya dalam menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga sekaligus pendamping bapak sebagai bupati. Semua saya dilakukan agar dalam melaksanakan program di lapangan tidak terbentur,” kata Ance Wanggai.

Menurut Ketua PKW Gereja BETEL Pentekosta Se Papua ini, bahwa semua yang dilakukan itu bukan karena kemampunan atau kepintarannya tetapi atas dukungan, motivasi dari semua pihak. Tapi yang utama, semua itu dapat terjadi karena bimbingan dan tuntutan Tuhan. Selamat berjuang buat Mama Ance Wanggai - Warikar. Semoga sukses.

*** Krist Ansaka, Emanuel Goo (Supiori)

Read More......

Berawal dari Goyang Ngebor

Rancangan Undang Undang Pornografi (RUUP) akan disahkan DPR RI. Tapi dalam pasal-pasal RUU itu, sangat mengkriminalisasikan tubuh perempuan dan dinilai sarat dengan muatan politik. Untuk itu, RUU ditolak di mana-mana, termasuk di Papua.

ARTIS dangdut Rhoma Irama kebakaran jenggot ketika menyaksikan lekak lekuk tubuh penyenyi Inul Daratista, yang beraksi dengan “goyang ngebor” sekitar tahun 2005. Saat itu, Rhoma memprotes Inul karena dianggap goyang ngebor dapat menurunkan moral penyanyi dangdut sekaligus dapat membakar gairah seksualitas kaum lelaki.

Lalu, Rhoma mengajak anggota Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI) bersama dengan individu-idividu lainnya, untuk mengembalikan moralitas para pedangdut yang saat itu sedang naik daun, seperti Inul Daratista, Anisa Bahar, dan Uut Permatasari.
Pro dan kontra pun muncul di media massa. Lalu, Rhoma Irama dan kawan-kawannya, membuat himbauan kepada pemerintah untuk mengatur masalah pornografi dan pornoaksi

Polemik soal goyang ngebor belum selesai, muncul lagi kontrovensi soal film Buruan Cium Gue dan aksi dari Forum Pembela Islam (FPI) yang menyerang kantor Majalah Plyboy terbitan Jakarta karena dianggap menyebarkan gambar syuur.

Setelah itu, berbagai komponen berazas agama, semakin gencar mendesak pemerintah untuk segera membuat undang-undang pornografi dan pornoaksi. Alasan mereka untuk menyelamatkan moral bangsa, maka perlu ada undang-undang itu. Desakan ini akhirnya melahirkan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).

RUU APP ini pun dibuat dan langsung masuk menjadi salah satu agenda legislasi DPR RI pada masa sidang 2005-2009. Lalu, Panitia Khusus (Pansus) dibentuk untuk membahas dan merumuskan RUU APP. Pansus ini diketuai Balkan Kaplele dari Fraksi Partai Demokrat.

Pembahasan RUU APP itu, langsung mengundang reaksi publik. Ada yang pro dan kontra. Kalangan pro berpendapat, berbagai masalah sosial yang sangat meresahkan di Indoensia itu disebabkan oleh rusaknya moral akibat maraknya pornografi dan praktek pornoaksi (?).

Sementara kalangan kontra menilai, RUU APP ini adalah sebuah ancaman terhadap keanekaragaman kebudayaan di Indonesia. Selain itu RUU APP juga sangat bias gender. Karena dalam pasal-pasal RUU ini, sangat mengkriminalisasikan tubuh perempuan. Untuk itu, berbagai kalangan, baik dari tokoh masyarakat, politik, agama, akademis, budayawan, aktivis perempuan, maupun elemen masyarakat sipil lain menggelar pawai budaya Bhineka Tunggal Ika pada 22 April 2006 di Jakarta. Setelah itu, muncul aksi balasan yang digelar oleh kelompok yang bertujuan ingin menyucikan moral bangsa.

Lalu, gaung penolakan terhadap RUUP semakin menggema. Awalnya, muncul dari Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang melayangkan surat penolakannya ke DPR-RI.

Setelah itu, pembahasan RUU APP mecet. Sampai akhir pertengahan tahun 2007, publik kembali disentak dengan informasi bahwa proses RUU APP ini sudah sampai pada justifikasi pemerintah dengan dikeluarkannya amanat presiden (ampres). Dalam Ampres itu, Presiden menunjuk tiga menteri yaitu Menteri Agama, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Komunikasi dan Informatika untuk membahas RUU APP yang telah berganti nama menjadi RUU Pornografi.

Walaupun luput dari perhatian media massa, pembahasan RUU ini terus berjalan. Masalahnya, RUUP ini masih sarat masalah. Baik proses penyusunan yang cacat maupun materi pasal per pasalnya yang masih sangat kontroversi.

Proses penyusunannya yang bermasalah karena telah menyalahi prosedur dalam tata tertib pembahasan undang-undang di DPR. Prosedurnya dinilai tidak melalui proses konsultasi publik yang dilakukan dalam pembuatan undang-undang.

Kemudian dikaitkan dengan UU No 10 2004 yang menyatakan bahwa prinsip pembuatan undang-undang harus memuat unsur kenusantaraan. Tapi dalam RUUP tidak memuat unsur kenusantaraan sehingga muncul protes dari berbagai daerah. Misalnya, Bali, Papua, dan suku-suku lain di Indonesia Timur.

Perubahan dari RUU APP ke RUUP bila dicermati, secara subtansi tidak begitu banyak perubahan yang signifikan jika dikaitkan dengan banyaknya masukan-masukan yang diajukan oleh masyarakat pada proses pembahasan terdahulu. Apalagi, subtansi yang terkandung dalam pasal-pasal RUUP ini akan mengancam eksistensi hidup bersama karena menyangkut persoalan identitas dan keyakinan sebagian rakyat Indonesia, khususnya dari daerah-daerah yang tidak memandang ketelanjangan seseorang menjadi suatu permasalahan serius. Dan hal ini dikuatirkan akan memunculkan sentimen disintregasi bangsa. Selain itu, RUUP juga masih memaksakan suatu keyakinan moral tertentu untuk mengatur seluruh kehidupan berbangsa. Karena RUUP ini masih memperdebatkan soal konsep-konsep nilai di masyarakat.



Read More......

MRP dan DPRP pun Tolak RUU Pornografi

Gaung penolakan terhadap RUU Pornografi akhirnya muncul juga dari dua lembaga negera yang ada di Papua, yaitu Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Provinsi Papua

BAGI MRP, RUU itu dinilai tidak menghargai keberagaman budaya masyarakat Papua. “Rencana pengesahan RUU Pornografi dapat membunuh keberagaman yang sejak lama dianut masyarakat Indonesia. Untuk itu, Pokja Perempuan di MRP dengan tegas menolak RUU Pornografi itu,” ungkap Wakil Ketua II MRP Dra Hana S Hikoyabi.

Hana menilai RUU Pornografi itu hanya mendepankan sisi keagamaan dan mengesampingkan semangat menjaga warisan budaya.
“Apakah kita mau melihat anak-anak Indonesia menjadi manusia yang beragama tapi tidak mengenal adat istiadatnya? Untuk itu, atas nama perempuan asli Papua, kami menolak karena ketentuan itu cenderung mendeskritkan hak-hak kultur kami yang sudah ada secara turun temurun di Tanah Papua,” ujar Hana.

Jika undang-undang itu diberlakukan, katanya, jangan diberlakukan di Tanah Papua tetapi berlakukan di Indonesia lain yang mungkin warganya akan patuhi karena sesuai dengan budaya mereka. Biarkan orang Papua hidup dengan cara mereka sendiri, jangan dipaksa oleh siapa pun.

Lebih lanjut dijelaskan mengapa semua hal dari Indonesia lain harus dipaksakan untuk kita mengikuti atau menyesuaikannya. Kondisi seperti itu sudah tidak benar. Kita ini berbeda-beda tapi tetap satu.

Sedangkan secara resmi, Lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) telah mengeluarkan pernyatan sikap.

Pertama, Papua dalam konteks kultur hingga sampai dengan saat ini, fakta memperlihatkan bahwa orang asli Papua di seluruh wilayah Papua tidak semuanya telah berbusana modern sebagaimana rujukan dari RUU Pornografi yang sementara ini didorong untuk pemberlakuannya. Tetapi sebagai masyarakat di pedalaman, lembah, pesisir pantai dan daerah terisolir masih berbusana tradisional.
Kedua, kondisi sebagaimana disebutkan dalam poin satu tersebut, selama ini tidak menjadi permasalahan serius di antara anak bangsa, orang asli Papua di wilayah Provinsi Papua dan provinsi Papua Barat.

Tiga, jika RUU Pornografi selanjutnya akan ditetapkan menjadi UU, maka pada saat yang sama hendak menyatakan bahwa suku-suku tertentu di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat adalah para terpidana atas diri dan budaya mereka sendiri. Hal ini, tentu menaifkan keindonesiaan dan kebhinekaan yang selama ini kita agungkan bersama.

Empat, mengingat sifat dan karakter dari RUU Pornografi ini, maka dapat dikatakan bahwa RUU Pornografi jika ditetapkan maka akan menjadi pemicu konflik di Papua. Dimana upaya untuk menjadikan Papua tanah damai akan semakin jauh dari harapan tersebut.

Lima; atas dasar pendapat sebagaimana disebutkan di atas maka MRP atas nama seluruh masyarakat adat Papua menyatakan menolak dengan tegas RUU Pornografi yang saat ini sementara dibahas dan akan ditetapkan.

Keputusan itu ditandangani oleh tiga pucuk pimpinan MRP, dengan tembusan langsung kepada Ketua Mahkmah Konstitusi di Jakarta, Ketua DPR RI di Jakarta, Ketua KOMNAS Perempuan di Jakarta, Gubernur Provinsi Papua di Jayapura, Gubernur Provinsi Papua Barat di Manokwari, Ketua DPRP Provinsi Papua di Jayapura dan Ketua DPRD Papua Barat di Manokwari.

Sementara itu, dari DPR Provisi Papua pun, Ketua Komisi F, Weynand Watory angkat bicara dan menyatakan menolak RUU Pornografi itu. “RUUP itu terlalu mengada-ada. Kalau kita cermati dalam RUU ini, sebenarnya pernah diajukan tapi dengan nama RUU APP tapi kemudian itu ditolak dan sekarang muncul lagi menjadi RUU Pornografi,” kata Weynand di ruang kerjanya, Kamis, 25 September lalu.

Menurutnya, ininya dalam rancangan UU itu, pemerintah beralasan bahwa saat ini di Negara Indonesia terlalu banyak penyebaran media yang berkaitan dengan pornografi. Jadi pemerintah berharap, dengan dikeluarkannya UU ini akan membatasi penyebaran pornografi itu.

“RUUP itu tidak terlalu urgent. Itu bukan sesuatu yang prioritas. Masih ada hal-hal lain yang lebih prioritas. Permasalahan yang paling prioritas dan mesti diperhatikan oleh pemerintah adalah menekan jumlah penduduk Indonesia yang miskin. Saya pikir pornografi ini merupakan dampak dari tidak terpenuhinya kebutuhan hidup. Untuk itu, Pemerintah dan para pembuat kebijakan harus bijak dalam melihat hal ini,” kata Ketua Komisi F itu.

Weynand menjelaskan, RUU Pornografi ini dipaksakan untuk segera disahkan mengingat beberapa bulan lagi akan menjelang Pemilu sehingga isu-isu yang sensitif seperti SARA, kalau ada fraksi-fraksi yang menggolkan RUU Pornografi itu, maka pamor partainya akan naik. “Ini bukan rahasia lagi. Ini pola-pola orang berpolitik untuk mulai mencari sensasi-sensasi politik dengan membuat UU yang mengangkat isu-isu SARA,” ujar Weynand.

Menurutnya lagi, jika dilihat dari sisi budaya, tidak bisa kita menyamaratakan pemberlakuan UU ini. Budaya Papua berbeda dengan budaya Jawa.

Sebagai Ketua Komisi F yang membawahi masalah perempuan, Weynand mengaku tidak pernah diberitahukan tentang soal RUU Pornografi ini. “Ya mestinya, di Papua ini juga dikasih tahu agar RUU Pornografi itu diuji secara publik. Tapi, kalau Papua ini sudah bukan bagian dari Negara ini, maka boleh saja rancangan undang-undang tidak perlu diuji di Papua,” ungkapnya.

Sekali lagi kata Weynand, kalau RUU Pornografi itu dipaksakan, maka akan timbul masalah yang besar. Seharusnya, pemerintah cukup mengimplementasikan UU yang sudah ada sebelumnya tanpa harus membuat UU lagi, sebab substansial ada pasal yang mengatur tentang pornografi itu.. Sebut saja Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Penyiaran Indonesia, Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Indonesia, UU No 1 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Hampir semua ketentuan itu ada pasal yang mengatur tentang Pornografi.

Sedangkan untuk di Papua sendiri, menurut Weynand sudah ada lembaga kultural yaitu MRP yang bisa mengatur itu semua, karena dalam MRP sudah dibentuk Pokja Adat, Perempuan, dan Agama. Untuk itu dalam waktu dekat ini DPRP akan menyurati DPR-RI untuk menolak pengesahan RUU Pornografi itu.

Read More......

Rakyat Papua Tak Akan Patuhi

Rancangan Undang-Undang Pornografi (RUU Pornografi) dinilai mengatur sesuatu yang privat sehingga rancangan undang-undang itu melanggar HAM. Sementara rakyat asli Papua menilai, bahwa jika RUU itu disahkan berarti Indonesia telah melakukan tindakan pembunuhan terhadap budaya Melanesia

GEMA penolakan terhadap rencana pengesahan RUU Pornografi semakin meluas. Kali ini giliran para tokoh Papua menyuarakan aspirasinya.
Salah satu tokoh Papua, Karel P. Erari, mengatakan rancangan itu tidak akan dipatuhi warga Papua. “Rancangan itu telah memarjinalkan suku di Papua,” kata Karel di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta pada Kamis, 25 September 2008

Rancangan itu dinilai mengecilkan budaya Melanesia, suku mayoritas di pegunungan Papua. Padahal keberadaan mereka sebagai penghargaan terhadap alam dan tidak berhubungan dengan pornografi. Pengesahan rancangan ini dinilai bisa mematikan budaya dan memunculkan diskriminasi
Karel menyatakan, penolakan ini karena RUU Pornografi dinilai tidak sesuai dengan Pancasila dan Kebhinekaan. RUU tersebut, dan secara tendensius menghakimi gerak tubuh dalam pertunjukan tarian orang asli Papua termasuk dalam katagori pornografi.

“Mungkin para politisi dan kelompok agama tertentu di Jakarta menilai, gerak tubuh rakyat Papua itu dapat membangkitkan hasrat seksual dan atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat Indonesia?” Tanya Erari.

Para politisi itu tidak menyebutkan mana saja nilai-nilai dalam masyarakat yang termasuk pornografi. “Bagi kami di Papua terutama daerah pegunungan menunjukkan buah dada, menonjolkan penis, bukanlah pornografi melainkan penghargaan terhadap alam dan ritual hidup keseharian. Itu bisa dilihat dalam patung-patung suku Asmat yang menonjolkan penis,” katanya.

Karel mengingatkan, agar para politisi di DPR tidak memaksakan untuk mengesahkan RUU ini karena akan memunculkan gejolak sosial di masyarakat Papua.
Kebijakan meloloskan RUU Pornografi akan dijadikan alasan legitimasi bagi kelompok tertentu di Papua untuk menyatakan kemerdekaan. Alasannya, kata Erari, bahwa rakyat asli Papua akan melihat, bahwa RUU itu disahkan berarti Indonesia telah melakukan tindakan pembunuhan terhadap budaya Melanesia.

Sementara itu, muncul juga penolakan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Pornografi karena dinilai mengatur sesuatu yang privat. “Kami jelas menolak, tidak etis persepsi sebuah nilai disamakan,” kata anggota Komnas HAM, Yoseph Adi Prasetyo, di Jakarta pada Kamis, 25 September 2008..

Menurut Yoseph, ketentuan pornografi cukup diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apalagi kalau RUU Pornografi disahkan, kata dia, maka akan muncul tumpang tindih aturan hukum. “Undang-undang ini akan menjadi lex specialis,” katanya.

Sejumlah elemen masyarakat menolak rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi. Penolakan muncul di sejumlah daerah, seperti Jawa Tengah dan Bali. Setidaknya ada lima pasal dalam draf yang kontroversial, utamanya karena ketentuan itu multitafsir.

Panitia Khusus RUU Pornografi di DPR dua hari sejak Selasa, 23 September lalu membahas kembali draf tersebut. Rencananya, pembahasan dilanjutkan pada 8 Oktober 2008. Anggota Panitia Khusus dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Latifah Iskandar, mengatakan Dewan telah menguji publik sejumlah pasal kontroversial, yakni Pasal 1, Pasal 4 dan Pasal 14.

Pasal 1 mengatur tentang definisi pornografi. Pasal 4 dan 14 berisi sejumlah larangan. Dari uji publik, DPR menemukan 22 poin yang harus dimintakan persetujuan fraksi. “Kami akan minta pendapat fraksi mengenai hasil uji publik,” kata Latifah.

Selain sejumlah elemen masyarakat, PDI Perjuangan dan Partai Damai Sejahtera menolak membahas draf tersebut. Anggota Panitia Khusus RUU Pornografi dari Fraksi PDI Perjuangan, Agus Sasongko, mengatakan bersedia membahas kembali apabila pasal kontroversial diubah secara keseluruhan. “Kalau ditanya usulan, kami minta dihentikan saja,” kata Agus.

Menurut Agus, rancangan ini bisa memecah belah bangsa dan bisa menimbulkan kekerasan antarmasyarakat. “Sangat rumit,” katanya.
Masyarakat, kata dia, dalam ketentuan itu dapat berperan serta mencegah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. “Kalau ini dijalankan, muncul milisi swasta yang akan melakukan tindak kekerasan atas nama pencegahan.” Jika dilanjutkan, PDI Perjuangan mengusulkan mengganti pasal kontroversial. “Kami ingin semua jelas dan tak mendiskreditkan siapa pun.”

Adapun Fraksi Partai Damai Sejahtera menolak membahas draf tersebut. “Kami sudah mengirim surat berisi tak mau bertanggung jawab akan apa pun yang terjadi apabila aturan ini disahkan,” kata anggota Panitia Khusus, Tiurlan Hutagaol.

Read More......

Sunday, October 19, 2008

Ketika Perempuan Menjadi Bupati


Papua bakal menjadi contoh di Indonesia Timur. Pasalnya, baru pertama kali, perempuan akan menjadi bupati. Dan dengan nurani perempuan, Joseline Sipora Boray akan mengatur keluarga besar yang namanya Kabupaten Nabire, Provinsi Papua.

Perempuan itu agen perubahan. Konsep ini akan menjadi nyata ketika Kabupaten Nabire dipimpin seorang perempuan. Pasalnya, kondisi politik yang selalu didominasi lelaki itu, belum membuat perubahan dalam kehidupan bermasyarakat.

“Masyarakat sudah bosan dengan kepimpinan seorang lelaki yang tidak membuat perubahan. Untuk itu, perlu ada perubahan. Dan perubahan itu akan muncul kalau gubernur atau bupati dijabat oleh perempuan.” Pernyataan itu terlontar dari mulut seorang intelektual asal Nabire yang tak mau namanya disebutkan, ketika ditemui mingguan ini di Nabire pada Senin, 25 Agustus 2008 lalu.

Pernyataan itu bakal menjadi kenyataan. Soalnya, Joseline Sipora Boray saat disebut-sebut sebagai agen perubahan ketika perempuan kelahiran 2 Februari 1969 itu menjadi Bupati Kabupaten Nabire.
Tampaknya, munculnya sosok Joseline Sipora Boray akan mengukir sejarah pemerintahan di Indonesia Timur, khususnya di Papua, bahwa genderang perubahan sudah dikumandangkan melalui gerakan membangun dengan hati nurani (Gerbanghanura).

Bila dibandingkan dengan wilayah Indonesia Barat, sudah ada perempuan yang menjadi bupati bahkan gubernur. Sementara di wilayah Timur negara ini, belum ada sosok perempuan yang berada pada posisi itu. Jangankan di kursi eksekutif, di legislatif pun jumlah perempuan masih bisa dihitung dengan jari.

Semua ini terjadi lantaran dunia politik selalu dimonopoli kaum lelaki. Akibatnya, perubahan yang diimpikan masyarakat, tak pernah terwujud. Untuk itulah, mama Sipora – begitulah nama yang selalu disapa – mencalonkan diri sebagai bupati di Kabupaten Nabire.

Kepada Suara Perempuan Papua di kediamannya, di Siriwini, Nabire pada 25 Agustus pekan lalu, ibu dua orang anak ini mengatakan, ketika lelaki memonopoli dunia politik, perempuan biasanya lebih banyak mengalah. Bahkan perempuan cenderung memposisikan diri sebagai pekerja keras dalam kehidupan rumah tangga.

“Jadi, baik atau tidaknya sebuah rumah tangga bergantung dari peran perempuan. Walaupun latar belakang pendidikannya pas-pasan, namun seorang perempuan akan tetap berusaha mengatur semua kebutuhan, baik untuk anak maupun suami. Jadi perempuan itu manajer yang baik,” kata Sipora.

Dengan dasar itulah, muncul Gerbang Hanura. “Saya melihat bahwa kalau perempuan memimpin, itulah nurani perempuan. Jadi karena nurani itu, perempuan akan berpikir, bagaimana memenuhi kebutuhan rumah tangga yang besar ini (kabupaten,red.). Jadi pada dasarnya, masa depan suatu daerah tergantung pada generasi muda yang ada di daerah itu. Untuk itu, kabupaten ini dipimpin oleh orang muda yang punya kualitas kepemimpinan cukup handal,” ungkap anak dari mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Paniai, Joel Boray (alm) itu.

Selain itu, Sipora mengatakan, seorang perempuan pasti akan memikirkan bagaimana memberikan kecukupan perempuan dan anak serta masyarakat pada umumnya. Hal itu merupakan kunci utama kalau memang kita membutuhkan sebuah perubahan.

Dikatakan, dulu para ibu rumah tangga di Papua tidak memiliki pendidikan yang baik, namun anak-anak mereka bisa berhasil. Andaikan mereka mendapat pendidikan yang layak, pasti generasi mereka akan jauh lebih maju dan berkembang.

Untuk itu, apabila masyarakat memberikan kesempatan untuk memimpin Kabupaten Nabire, maka pasti semua hal ini akan diperhatikan termasuk persoalan kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur.
“Pada dasarnya perempuan jauh lebih teliti dan bijaksana. Segala sesuatu yang diputuskan perempuan berdasarkan hati nurani dan perasaan, sehingga ketika membuat suatu keputusan, pasti sudah dipikirkan dampaknya dihari mendatang,” tandasnya.

Lebih lanjut, sarjana ilmu pertanahan itu menjelaskan, salah satu indikator keberhasilan pembangunan diukur dari angka kematian ibu dan anak. Untuk mengatasi tingginya angka kematian ibu dan anak, maka kita harus memberikan kepercayaan kepada kepemimpinan seorang perempuan untuk mengatasi semua persoalan ini.

Untuk perubahan yang diimpikan masyarakat dan pemerintah Kabupaten Nabire, maka Joseline Sipora Boray memilih calon wakilnya yaitu Joko Santoso, mantan anggota militer yang punya pengaruh luar biasa di lingkungan masyarakat asal Jawa, Sunda dan Madura yang jumlahnya terbanyak di Nabire.

Bagi kebanyakan pemilih di Nabire menilai, Joseline dan Joko adalah pasangan yang tepat untuk membawa perubahan. Untuk itu, wajar saja kalau pasangan ini mendapat simpati dari sebagian besar pemilih pada Pilkada Nabire 2008.

Untuk mewujudkan perubahan ini, maka Joseline dan Joko menggunakan kendaraan politik dari PDI-P, PNI Marheinisme, dan PKB.
Bagi ketiga partai politik itu, bahwa transformasi atau perubahan tidak akan terjadi di Nabire, kalau jabatan bupati masih dipegang lelaki. Untuk itu, tak ada pilihan lain, selain, Joseline diberikan kepercayaan untuk menjadi Bupati Kabupaten Nabire periode 2009 – 2014.
***Krist Ansaka, Yosias Wambrauw, Emanuel Goo (Nabire)


Read More......

Mengembalikan Kepercayaan Publik


Proses pemilihan dan pelantikan anggota Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Provinsi Papua, hingga Agustus 2008 belum juga tuntas. Tiga lembaga penting di Papua, Pemerintah Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang diharapkan ikut berperan dalam proses seleksi anggota Komnas HAM juga sulit duduk bersama, karena masing-masing sibuk dengan urusannya.

Selain itu juga, bakal calon yang diharapkan mendaftar tidak hanya dari wilayah Provinsi Papua, tapi harus juga dari Irianjaya Barat. Tapi pendaftaran yang dibuka sampai dua kali itu sulit memenuhi harapan. Sejak dibuka sampai dilakukan uji kepatutan dan kelayakan, pada awal Agustus lalu di Komisi F DPRP, bakal calon yang mendaftar lebih banyak didominasi oleh mereka yang tinggal di wilayah Jayapura.

Awal Agustus lalu, Ketua Komnas HAM Indonesia, Ifdhal Kasim bersama beberapa anggotanya datang ke Jayapura untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap 11 calon anggota Perwakilan Komnas HAM Papua di ruang Komisi F DPRP. Usai itu, Ifdhal menerima Paskalis Keagop dan Yosias Wambrauw dari tabloid Suara Perempuan Papua untuk wawancara mengenai proses seleksi anggota Perwakilan Komnas HAM Papua. Berikut petikannya.

Mengapa proses seleksi anggota Perwakilan Komnas HAM Papua terlambat?


Proses seleksi anggota Perwakilan Komnas HAM Papua itu terlambat karena kita menunggu sampai ada calon yang lebih sesuai dengan kualifikasi yang diharapkan Komnas HAM Indonesia maupun masyarakat di Papua.

Sebab kita mau seleksi anggota yang benar-benar mau bekerja, ini agar pengalaman yang lama tidak terulang. Disamping itu, kita juga mencari calon anggota yang baik, yang memenuhi kualifikasi, dan juga ada proses negosiasi dengan DPRP, MRP dan Gubernur yang memakan waktu lama. Kita ingin dalam proses seleksi ini melibatkan pihak otoritas di daerah, yaitu Gubernur, DPRP dan MRP. Kita mau libatkan mereka dari proses seleksi tahap awal sampai tahap akhir.

Ternyata bertemu gubernur sangat sulit, dan mencari waktu DPRP juga sangat sulit. Itu yang memperlambat proses. Keterlambatan itu juga terjadi karena, kita menyiapkan proses seleksi itu setelah anggota Perwakilan Komnas HAM Papua periode lalu selesai masa kerjanya.
Kemudian, kita mulai bicara dengan DPRP, MRP dan Gubernur untuk mulai menyeleksi anggota. Karena dari pihak Gubernur, DPRP dan MRP merasa tidak puas dengan kinerja anggota Perwakilan Komnas HAM yang lalu.

Karena itu, mereka tidak menyarankan untuk memperpanjang. Mereka, minta lebih baik seleksi baru. Karena itu, kita diskusi dengan mereka, termasuk dengan komunitas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Inilah yang kemudian memperlambat proses ini. Kita sampai dua kali memperpanjang masa pendaftaran, karena pendaftarnya juga kita lihat belum ada yang memenuhi syarat yang kita inginkan, dan kita ingin pendaftarnya sebanyak mungkin dari Papua dan Irianjaya Barat. Tapi sulit untuk menjangkau wilayah Irianjaya Barat.

Karena masalah geografis, dan kita tunggu pendaftarnya dari Irianjaya Barat, namun tidak banyak yang mendaftar. Bakal calon yang mendaftar hampir sebagian besar berasal dari Jayapura. Itulah proses kenapa pemilihan dan pelantikan anggota Perwakilan Komnas HAM itu terlambat.

Berapa calon anggota yang ikut seleksi?


Untuk masuk ke tahap uji publik ini, ada 11 orang yang lolos dari jumlah yang mendaftar sekitar 30 orang. Jumlah yang akan ditetapkan nanti sekitar tiga dan lima, tergantung keputusan MRP dan DPRP, apakah kita akan menghasilkan lima orang dari 11 orang ini.

Kenapa jumlah anggota Perwakilan Komnas HAM Papua tidak ditingkatkan menjadi tujuh orang?

Terlalu besar dan tidak efektif. Karena ini statusnya kantor perwakilan, belum menjadi Komisi Daerah. Karena itu lebih pas anggotanya lima orang dulu. Nanti akan didukung oleh staf yang lebih kuat, dan tenaga ahli.

Apakah Komnas HAM punya kriteria terhadap calon anggota Perwakilan Komnas HAM Papua?

Kriteria kita adalah anggota itu memiliki pengetahuan tentang hak azasi, mempunyai integritas dari segi moral maupun pribadi, sehingga dia bukan orang yang tercela dalam masyarakat, mempunyai komitmen yang tinggi bagi penegakkan HAM dan punya komitmen untuk membela mereka yang dirugikan, anggota harus mempunyai sikap yang toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai pluralitas, nilai kemanusiaan dan sebagainya. Itulah beberapa kualifikasi yang harus dimiliki oleh para calon anggota Perwakilan Komnas HAM Papua.

Apakah ada calon anggota yang memenuhi kriteria tersebut?


Dari uji publik yang dilakukan itu, ternyata 11 bakal calon anggota itu tidak semua bisa ikut. Karena ada bakal calon yang sudah menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan ada juga karena pekerjaannya tidak bisa datang ikut uji kepatutan dan kelayakan.

Karena itu, dari 11 orang, yang ikut sekitar sembilan orang. Dari jumlah itu, ada beberapa diantara mereka yang mendekati kualifikasi. Paling tidak, kualifikasi memiliki sikap dan komitmen yang jelas untuk menegakkan HAM, komitmennya terhadap masyarakat Papua.

Disamping itu ada pengetahuan tentang hak azasi yang mereka miliki. Karena ada beberapa diantara bakal calon anggota itu yang berpengalaman di bidang advokasi HAM. Ada yang dari kalangan advokat, teolog, pengacara dan aktivis hak azasi, ada yang mewakili kelompok perempuan, dan mewakili pluralitas yang ada di masyarakat Papua.

Dari pengalaman lalu, masyarakat di Papua sudah tidak percaya keberadaan Perwakilan Komnas HAM di Papua. Karena banyak rekomendasi yang pernah dilakukan tidak pernah ditindaklanjuti Komnas HAM Indonesia di Jakarta?

Karena itu yang kita rubah bagaimana mengembalikan kepercayaan publik masyarakat Papua terhadap Kantor Perwakilan Komnas HAM di Papua. Karena itulah kita juga meminta dukungan dari pihak-pihak yang ada di Papua, seperti DPRP, MRP, Gubernur, Dewan Adat Papua, LSM, Dewan Presidium Papua, lembaga-lembaga keagamaan dan lainnya untuk bisa memberikan dukungan terhadap pekerjaan Komnas HAM kedepan.

Kita harapkan orang yang akan terpilih menjadi anggota Komnas HAM ini bisa membangun kerjasama dengan semua pihak. Jangan dia bekerja sendiri, tapi harus membuka dukungan dari berbagai unsur yang ada. Sebab untuk Papua ini tidak mungkin Komnas HAM itutidak bisa bekerja sendiri tanpa melibatkan berbagai pihak.

Sehingga masyarakat bisa melihat nanti mereka menjadi bagian dari usaha penegakkan hak azasi. Karena itu, pelibatan masyarakat dalam kasus-kasus yang ada di Papua nanti harus ada.

Itu yang nanti kita tekankan nanti kepada anggota yang terpilih nanti untuk bisa membangun kerjasama. Setelah terpilih nanti kita akan berikan penyegaran pengetahuan kepada para anggota sehingga mereka bisa mengoptimalkan Kantor Perwakilan Komnas HAM di Papua. Dengan demikian kepercayaan masyarakat terhadap Kantor Perwakilan ini bisa tumbuh kembali.

Inilah tugas berat dari para anggota yang akan terpilih adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Perwakilan Komnas HAM, karena sebelumnya mereka telah dikecewakan.

Kewenangan seperti apa yang akan diberikan?

Karena ini Kantor Perwakilan, maka dia akan menjalankan sebagian kewenangan yang diberikan Komnas HAM pusat, Jakarta. Periode lalu tata kerja yang dibangun memang tidak begitu jelas. Kita nanti coba membangun tata kerja yang lebih baik supaya kantor di sini juga efektif, dan kita juga bisa mendayagunakan menpowering-nya kantor ini.

Untuk apa kita buat kantor perwakilan lalu tidak mendelegasikan kewenangan kita ke sini. Tapi kewenangan besar itu akan diberikan setelah statusnya menjadi Komisi Daerah Papua, ini lebih besar otonominya. Jadi kita harapkan juga, kantor perwakilan ini bisa mempercepat proses terbentuknya peraturan daerah khusus tentang Komisi Daerah Papua.

Agenda apa yang akan menjadi prioritas kerja anggota Perwakilan Komnas HAM Papua terpilih?


Untuk sementara ini, kita belum bisa pastikan agenda apa yang akan diutamakan kerja anggota Perwakilan Komnas HAM Papua yang baru terpilih. Sebab, proses uji kepatutan dan kelayakan masih dilakukan.

Berdasarkan hasil uji itu baru akan diketahui siapa yang terpilih sebagai anggota Perwakilan Komnas HAM Papua.
Pelantikan akan dilakukan setelah seluruh proses selesai, beberapa waktu kemudian baru ada pengangkatan terhadap anggota yang baru. Agenda apa yang akan diutamakan, itu mereka sendiri yang akan tentukan.

Read More......

Persipura tak Dapat dana APBD Lagi

Mulai 2008, Pemerintah Kota Jayapura, tak lagi memberikan dukungan dana dari APBD untuk Persipura. Padahal, tahun 2006, klub ini dapat Rp 15 miliar. Tapi kini manajemen Persipura dikelola badan usaha sendiri. Persipura pun harus berupaya menggali dana dari sumber lain.

AWAN hitam masih menutup manajemen Persipura. Pasalnya, bukan hanya dugaan kasus pemukulan terhadap pelatih Persipura, Raja Isa saja, tapi juga persoalan dana.

Biaya yang dibutuhkan Persipura tidak sedikit. Katakan saja, untuk satu musim kompetisi antara Rp 30 miliar sampai Rp 50 miliar. Untuk itu, sejumlah pengusaha, salah satunya Toko Ifan Sport diminta untuk dapat memberikan royaliti atau fee lantaran toko ini menjual kostum Persipura.

Tapi aturan untuk mendapatkan royalti atau fee dari penggunaan nama dan logo Persipura ini masih perlu disosialisasikan.

Sekretaris Umum Persipura H. MH. Thamrin Sagala mengaku bahwa sejak launching badan hukum berupa perseroan terbatas (PT) yang menangani Persipura ini masih dalam proses, sehingga payung hukum untuk penarikan bagi hasil atau fee penjualan produk Persipura ini belum bisa dilakukan.
“Jadi kami masih berikan toleransi kepada para pengusaha yang menjual kaos dan logo Persipura,” ungkap Thamrin Sagala seperti yang dilansir media di Jayapura pada pertengahan Juli 2008.

Meski para pengusaha ini belum mendapatkan izin resmi dari manajemen Persipura untuk menjual produk yang berkaitan dengan Persipura, namun menurut Thamrin, selama ini para pengusaha ini juga sudah dikenal dan terlibat memberikan dukungan moral pada Persipura. Tapi dengan berubahnya manajemen Persipura menjadi satu badan usaha sendiri, maka dukungan ini diharapkan tidak hanya moral tapi juga diwujudkan dalam bentuk finansial, yakni dengan kewajiban membayar royalti ke Persipura.

Selain itu, menjelang Liga Super Indonesia 2008 bergulir, Persipura Jayapura telah mendapatkan sponsor dari perusahaan asal Makassar, PT. Bosowa. Dengan dukungan dari Bosowa ini, maka tim berjuluk “Mutiara Hitam” itu takkan mengalami krisis dana untuk mengarungi kompetisi LSI setahun penuh.

Meski PT. Bosowa berada di Makassar, namun beberapa proyek pekerjaan mereka banyak berada di Papua. “Kami resmi kerjasama dengan Bosowa dalam bentuk sponsorship. Namun nilai yang ditawarkan masih dibicarakan lebih lanjut,’’ ujar Manajer tim, Rudi Maswi.

Untuk itu, saat ini para pemain Persipura sudah memasang logo Bosowa di kostum tim. Sementara itu, kesuksesan Persipura mendapatkan sponsor dari PT. Bosowa, ditanggapi biasa-biasa saja oleh manajemen PSM. Padahal, PT. Bosowa sendiri merupakan perusahaan milik putera daerah di Makassar. “Semua itu ’kan urusan bisnis. Pasti mereka sudah menghitung untung dan ruginya,’’ ujar Ketua Umum PSM, Ilham Arief Sirajuddin.
Ilham sendiri tak khawatir jika PSM tak mendapat bantuan dari PT. Bosowa. Ia menilai, masih banyak sponsor lain yang ingin bekerjasama dengan klubnya karena PSM punya nilai jual yang tinggi. Kini Persipura membutuhkan dana yang cukup besar. Tapi tahun 2006, Persipura mendapat dana dan diakomodasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp 15 miliar.

Walikota Jayapura Manase Roberth Kambu dalam menanggapi pandangan umum fraksi-fraksi atas nota keuangan dan RAPBD Kota Jayapura, menjelaskan bantuan itu akan diambil dari APBD Kota Jayapura melalui pos bantuan keuangan kepada organisasi profesi.

Sebagai klub profesional dan konsekuensi dari tim disegani di Indonesia, Persipura memerlukan biaya tidak kurang dari Rp 15 miliar untuk kontrak pemain, gaji pemain serta tuntutan fasilitas lainnya setiap putaran liga nasional.

Bantuan PSSI dan sumber-sumber sponsor serta pendapatan sendiri hanya mampu menutupi kurang lebih 20 persen dari kebutuhan biaya yang diperlukan. “Tidak ada pilihan lain, supaya Persipura tetap eksis di kancah nasional, maka sumber anggaran satu-satunya adalah APBD,” katanya.
Tapi kini, klub-klub sepak bola tidak diperbolehkan menerima dana dari APBD. Soal dana APBD memang sedang ramai dibicarakan. Klub-klub Liga Indonesia yang belum lama ini berkumpul di Tangerang, merasa dana APBD itu sangat membantu mereka untuk berkompetisi. Bahkan selama ini harapannya hanya itu.

Tanpa dana APBD, klub-klub akan bubar. Mana yang benar? Namanya juga kompetisi bersifat profesional, kenapa ketergantungan kepada pemerintah begitu besar? Menghimpun dana dari luar untuk kegiatan berkompetisi di divisi utama Liga Indonesia.

Soal dana APBD memang sedang ramai dibicarakan. Kalau para pengamat hingga rakyat menghendaki, jangan lagi memakai dana itu. Sebab, seperti keputusan Menteri Dalam Negeri, bahwa dana APBD bukan hanya untuk kepentingan sepakbola, tapi juga cabang-cabang lain, dan kegiatan sosial yang lain.

Barangkali rakyat tidak akan marah, kalau hasil yang dicapai dari sepakbola ini memang sesuai dengan harapan. Karena sepakbola dinilai dapat mengangkat martabat bangsa dan negara. Tapi yang muncul sekarang ini, prestasi yang menukik terus. Rakyat sangat wajar kecewa, karena uang yang digunakan berasal dari rakyat.
Apalagi penggunaan anggaran di klub-klub sangat tidak wajar. Pertanggungjawabnya sulit ditelusuri. Laporan keuangannya amburadul.

Pemain digaji cukup besar, tapi hasilnya bagaimana? Yang untung justru pemain-pemain asing itu. Dibayar besar, tapi tidak bisa mengangkat sepakbola Tanah Air secara keseluruhan.
Lalu bagaimana Persipura? Apakah Persipura berhasil menggalang dana sehingga klub ini dapat terus mengikuti Superliga Indonesia?(Kris Ansaka)

Read More......

“Publik Bisa Menilai Kinerja Saya”

MEMALUKAN. Kata ini pantas ditujukan kepada pelaku tindak kekerasan yang dialami Raja Isa selaku pelatih Persipura. Peristiwa yang melukai tujuan olahraga yang dikenal sportif itu mungkin baru pertama kali terjadi dalam sejarah persepakbolaan di Papua, saat Persipura selaku tuan rumah menjamu Persijap di Stadion Mandala, Kota Jayapura, Jumat, 15 Agustus 2008 lalu.

Insiden memalukan terjadi ketika Persijap unggul 1-0, saat itu terlihat M. R. Kambu selaku Ketua Umum Persipura langsung memasuki bench Persipura dan mengomeli Raja Isa. Tindakan ini diikuti beberapa pengikutnya. Jika Kambu hanya marah-marah, salah satu oknum pengikutnya justru menyerang Raja Isa dengan pukulan dan tendangan ke tubuhnya. Pertandingan sempat terhenti. Tapi kemudian dilanjutkan lagi yang berakhir dengan skor 1-1.

Raja Isa, pelatih sepakbola asal Malaysia ini memang tak dari awal memegang kendali Persipura. Sebelumnya, dia hanya menjadi asisten pelatih Irfan Bhakti. Tapi karena Irfan kembali ke Malaysia, kursi pelatih Persipura dipegang Raja Isa. Walau hanya pengganti, tapi apa yang digapai Persipura tetap tak bisa dipungkiri sebagai buah sentuhannya. Sebab bukan perkara gampang menangani tim berjuluk Mutiara Hitam dari Papua yang saat ini tengah berada di papan atas Indonesia Super League (ISL).

Kini Raja Isa tak lagi di tanah Papua yang dikenal sebagai Zona Damai, setelah pihak manajemen Persipura resmi memecatnya. Pelatih asal Malaysia itu tengah melatih PSM Makassar. Sementara pelaku insiden memalukan ini sudah dijatuhi hukuman dari Komisi Disiplin PSSI dengan denda puluhan juta rupiah. Dana itu seharusnya bisa digunakan mengembangkan Persipura ke depan atau dibagikan ke pemainnya sebagai bonus, tapi akhirnya hilang percuma. Jadi siapa yang rugi?

Untuk mengetahui secara jelas insiden yang tak sepantasnya ditiru oleh siapa saja. Inilah hasil wawancara Raja Isa dengan beberapa wartawan, salah satunya Cunding Levi dari Suara Perempuan Papua saat menemuinya di Hotel Relat, Kota Jayapura. Wawancara dilakukan sehari pasca kejadian dan saat itu Raja Isa sedang menunggu keputusan manajemen Persipura terhadap nasibnya (sebelum dipecat) sebagai pelatih Persipura:

Bagaimana keadaan Anda saat ini?

Saya serahkan ke dalam tangan Tuhan. Kebenaran dalam satu sisi, saya tak melakukan kesalahan fatal. Sebab dalam pekerjaan, saya melakukan dalam tekhnical box saya dan kalau Pak Wali (Kambu) bicara seperti itu, kan dia Ketua Umum Persipura. Jadi biar saja itu keputusan Tuhan yang atur. Saya merasa kecewa dan lain-lain, saya kan dipukul dan kalau ceritanya sudah dari Tuhan, ya saya menerimanya dengan terbuka. Sebab masyarakat sendiri lihat apa yang berlaku.

Peraturan Badan Liga Indonesia (BLI) jelas, saat pertandingan berlangsung hanya pengurus pasukan (pemain dan pelatih) yang ada di bangku cadangan dan ketua umum hanya waktu rehat (istirahat) bisa ke lapangan. Aturan itu jelas tertuang dalam peraturan BLI. Jadi mungkin dia terlupa. Ada waktunya manusia sebagai hamba Tuhan terlupa, waktu marah, waktu tidak enak, dan ada waktu tidak bisa melawan nafsu. Jadi semua yang berlaku ini, ya dari Tuhan.

Bagaimana sikap Anda terhadap kasus pemukulan itu?

Yang penting saya datang ke Papua yang merupakan Kota Beriman, orangnya beriman dan semuanya beriman dan sudah menjadi keputusan, ya saya mau bicara apa. Saya juga menunjukkan budaya orang serumpun atau anak melayu, bagaimana orang melayu, orang asia punya budi bicara. Dan kalau saya mau mempertanyakan kasus, untuk apa? Jika saya mau laporkan ke polisi karena saya dipukul, itu masalah syariat (proses) hukum, biar Tuhan yang akan menghukum kesalahan dan memperlihatkan kebenaran.

Jadi sebagai pelatih profesional untuk menyelamatkan sepakbola Indonesia supaya tak rusak dengan tidak ambil tindakan jalur hukum, itu kan tidak menyelesaikan permasalahan. Biar Tuhan yang akan menentukan siapa benar dan tidak benar diakhirnya nanti. Ke depan jika dia (manajemen) berkeras untuk itu, saya kan sudah lupakan peristiwa itu. Dan jika saya mau ambil tindakan jalur hukum, jalur kerajaan, atau apa, itu tidak timbul. Saya hanya mau buktikan, saya dari sebuah negara yang menggunakan akal dan pikiran, budi dan bicara dalam membuat tindakan tidak sembarang ambil keputusan, itu saja.

Kenapa tidak menempuh jalur hukum?

Saya tak akan mengambil sembarang jalur, bukannya saya takut orang Papua akan bunuh saya atau ada ancaman halus, atau apa saja. Saya hanya mau buktikan sebagai hamba Tuhan dan seorang melayu dari sebuah negara yang baik untuk meyelesaikan masalah secara etis dan aman, walau kondisinya berat. Saya sudah berdamai dan tidak memikirkan persoalan ini, biar Tuhan yang menentukan ke depan. Saya memang sedikit tersinggung karena saya dipukul, itu salah.

Tapi sebenarnya kenapa Anda dipukul?

Saat kejadian itu, semua ayunan berlari dan semua orang kejar saya. Saya harus memprotek diri saya daripada saya mengambil tindakan satu lebih baik saya ambil tindakan dua. Kalau tindakan satu saya mempertahankan, nanti saya ditumbuk, saya salah. Dalam sepakbola diajarkan kalau kita diprovokasi tenang, itu tidak apa-apa. Pada dasarnya, saya tidak bisa ngomong siapa yang pukul saya. Tapi semua televisi menayangkan kejadian itu dan semua bisa melihat dan gambar itu bisa memberi jawaban. Saya tidak enak jika menjelekkan orang, karena untuk menyebut namanya saja susah, lebih baik saya aman saja, tidak ada masalah itu.

Saat ini tim (Persipura) juga tidak terganggu, saya sudah bertemu mereka dan saya sudah bicara bagaimana menjadi pemain profesional, mengadaptasi suasana dan jangan bawa isu saya ini ke dalam pertandingan. Saya berharap semua bermain untuk menang menjaga nama besar Persipura. Secara profesional saya tidak mempengaruhi pemain, tak menyuruh pemain boikot, jual pertandingan dan saya tak pernah mengatur itu. Kehidupan saya aman sampai sekarang dan saya tak mengatur.

Dengan anak-anak juga saya tak pernah mengeluh soal kontrak atau rumah saya yang belum bayar. Saya tak pernah mengatakan itu ke mereka, karena saya tetap menyerahkan kehidupan saya kepada Allah. Saya sudah lupa perkara ini (pemukulan dirinya), tapi isu ini berjalan karena satu pihak tidak mau menyelesaikan masalah.

Jika kasus pemukulan ini ditindaklanjuti, bagaimana menurut Anda?
Tuhan ini maha kaya dan dia memilih orang untuk suatu masalah dan ini menjadi ujian buat saya, bagaimana saya meyelesaikan masalah ini. Sebab ini ujian buat saya, seandainya saat itu saya emosi, saya bisa berteriak bicara macam-macam, saya ada kontrak dan lain-lain. Tapi itu bukan pelatih, saya hidup kepelatihan sesuai dengan budaya negara itu dan tidak ada masalah buat saya. Saya menerima masalah itu dan sudah ditentukan oleh Tuhan.

Saya terserah saja jika ada lembaga lain yang akan memproses kasus ini. Saya tetap sayangkan sepakbola Indonesia dan saya sayangkan orang Papua. Kalau saya lapor ke jalur hukum, saya sama saja mejelekkan orang Papua, jelas saya menghina mereka, walau isunya hanya sepakbola Indonesia. Terus kenapa harus saya menjelekkan orang? Saya tidak akan mengambil proses hukum, karena Tuhan ada dan maha mengerti.

Informasinya Anda bakal dipecat, bagaimana tanggapan Anda?

Pemain Persipura sudah banyak berubah, hampir sekitar satu tahun delapan bulan mereka banyak mengalami perubahan, walau sedikit-sedikit, tapi mereka telah berubah. Kita menghormati keputusan yang riil, semua dalam kuasa Tuhan yang menentukan kehidupan saya. Jika (pemecatan) itu benar dan kalau ini bukan jodoh saya, sekurang-kurangnya saya telah membuktikan ke tanah Indonesia bahwa sepakbola Indonesia bagaimana seorang pelatih menghadapi situasi yang berat walaupun dia ditekan, nyawanya terancam, masih bisa melupakan kondisi dengan memperjuangkan industri sepakbola Indonesia ke depan.

Jadi untuk saya tidak masalah, yang penting industri sepakbola maju dan mungkin dua juta penduduk Papua dukung saya, tapi apa mungkin masyarakat tak menghormati walikota (Kambu)? Dalam institusi politik itu, walikota merupakan ketua masyarakat di Kota Jayapura. Jadi biarlah saya memberi pelajaran yang bagus untuk pelatih-pelatih lain bagaimana menghadapi situasi terancam walaupun hampir mati, kalaupun saya ada jantung dan umur saya 52 tahun mungkin saya sudah mati. Jadi biarlah situasi ini menjadi kenangan hidup yang manis buat saya dan saya berdoa pada Tuhan yang akan berikan jawabannya, jadi ya saya tenang saja.

Apakah cara Anda melatih Persipura dianggap tak sesuai?

Untuk masalah ini, masyarakat dan publik bisa menilai kinerja saya. Mungkin kinerja saya di mata Pak Wali (Kambu) jelek, tapi di mata publik bagus. Tapi itu kan walikota dan ketua umum, jadi ya ini kan sepakbola. Hanya gara-gara ini saya buat satu atau dua orang stress kan ngga enak. Saya ingin menyelesaikan masalah ini dengan jalan baiklah, kalau tidak ada jalan penyelesaian, ya tak masalah.

Bagaimana hubungan Anda dengan Ketua Umum Persipura?
Hubungan saya dengan Pak Wali (Kambu) baik. Saya tak pernah mempunyai masalah dengan beliau. Saya tak pernah ada kasus dengannya. Apa yang diberikan oleh saya, ya itu sudah. Saat kejadian itu, mungkin semua melupakan Tuhan sehingga ada insiden. Saya bicara sebagai seorang profesional dan saya tak membawa isu kepribadian dalam kinerja saya. Jadi terserah, ini tanah Papua yang diberkati Tuhan, kota yang beriman, ya masyarakat bisa nilai, itu saja. ***

Read More......

Arang Tempurung Menggantikan Minyak Tanah

Penduduk Kabupaten Supiori menjadikan arang tempurung sebagai pengganti minyak tanah.

NYIUR (kelapa) di pulau-pulau di Kabupaten Supiori, bukan sekadar penghias negeri itu. Buah-buah yang melimpah dari nyiur itu juga tak hanya untuk dimakan atau dibuat minyak kelapa. Kini hamparan pohon kelapa itu dikelola Kantor Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Supiori.

Hasilnya, buah kelapa dapat dijadikan minyak kelapa murni (virgin coconut oil) untuk kekebalan tubuh, minyak goreng, pelembab dan sabun. Dari serabut dan tempurung kelapa juga bisa dihasilkan perlengkapan rumah tangga. Sementara batang dan lidinya bisa dijadikan berbagai jenis kerajinan, seperti kursi, bingkai foto dan sapu.

Awal Juni lalu, harga bahan bakar minyak yang melambung mempengaruhi harga seluruh kebutuhan masyarakat dunia, termasuk di Papua. Kenaikan itu diikuti semakin langkanya bahan bakar minyak yang dampaknya sangat memukul, terutama, masyarakat kecil. Teristimewa, mereka yang menggantungkan kebutuhan rumah tangganya pada minyak tanah.

Dampak yang sama juga dirasakan masyarakat Kabupaten Supiori. Untuk kebutuhan memasak, masyarakat di daerah itu memanfaatkan arang tempurung kelapa—lazim disebut borkat— -sebagai pengganti minyak tanah.

Penggunaan borkat ini sangat membantu dan aman. Pembuatannya juga sangat mudah, karena hampir semua bahan baku disediakan alam. Bahan-bahan campuran pun mudah didapat.

“Untuk menggantikan minyak tanah atau kayu bakar, kami biasanya menggunakan borkat untuk memasak. Penggunaannya juga aman; cukup dengan meneteskan sedikit minyak tanah, lalu dibakar. Api atau bara yang dihasilkan borkat itulah yang digunakan untuk memasak; api yang…dapat bertahan satu sampai dua jam,” tutur Anike Korwa, salah seorang ibu rumah tangga yang menggunakan borkat untuk memasak.

Menjelaskan produksi borkat kepada mingguan ini, Noakh Rumere, 35 tahun, salah satu penduduk Supiori mengatakan, di Supiori kini ada program Pengolahan Kelapa Terpadu. Program yang dicanangkan untuk memanfaatkan potensi pohon kelapa di sini. Melalui program ini, telah banyak hasil kerajinan dan keterampilan yang dihasilkan—borkat salah satunya.

Borkat dibuat dengan cara, terlebih dulu buah-buah kelapa kering dikuliti, lalu tempurung kelapa-kelapa itu dibakar kurang-lebih lebih 24 jam. Arang tempurung dikeluarkan, kemudian digiling hingga halus. Lalu, dicampur dengan perekat—bisa juga dengan papeda. Arang-arang tersebut kemudian dicetak atau dipadatkan. Setelah itu, dijemur di bawah terik matahari hingga benar-benar kering. Borkat siap digunakan.

Bukan hanya itu, uap (air yang dihasilkan asap) dari pembakaran dapat digunakan sebagai pengawet ikan atau daging. Caranya, asap dari dari proses pembakaran ditampung dalam wadah yang tertutup rapat dan didiamkan hingga menjadi air. Air tersebut siap untuk digunakan dengan mencampurkan 2 cc ke dalam satu liter air. Ikan atau daging siap untuk diawetkan dengan menggunakan campuran air itu.

“Semua kerajinan dari pohon kepala itu bernilai ekonomi tinggi,” kata Noakh Rumere, yang ikut program Pengolahan Kelapa Terpadu.
Potensi masyarakat Supiori itu perlu mendapat dukungan, baik dari pemerintah maupun swasta. Selain dimanfaatkan masyarakat, kelestarian pohon-pohon kelapa itu juga tidak dikorbankan.

*** Kris ansaka, Adolvina Rumbewas

Read More......

Meresmikan Lapangan Terbang Senggi

GUBERNUR Papua, Barnabas Suebu, pada Jumat, 25 Juli lalu melakukan kunjungan (’turkam’) ke Kampung Waley, Distrik Senggi, Kabupaten Keerom. Ikut dalam rombongan Wakil Ketua II MRP, Kapolda Papua, Wakil Ketua PKK Provinsi Papua dan para SKPD Provinsi Papua. Sementara dari kabupaten, turut hadir bupati Kabupaten Keerom serta seluruh jajarannya.

Gubernur sekaligus meresmikan penggunaan lapangan terbang yang baru saja selesai diaspal. Dengan menggunakan pesawat Twin Otter milik Susi Air, gubernur beserta rombongan mendarat di lapangan terbang senggi pada pukul 09.30.

Setelah istirahat sejenak di ruang tunggu airport, rombongan kemudian melanjutkan perjalanan menuju lokasi pembangunan jalan dari titik nol yang direncanakan sebagai lokasi ibu kota Kabupaten Keerom.

Gubernur juga langsung meninjau proyek air bersih di Kampung Senggi yang dibangun dengan dana Rp 100 juta pada tahun anggaran 2007 lalu. Dari Kampung Senggi, gubernur juga meninjau salah satu kebun kakao seraya berbincang dengan pemilik kebun.

Dari kebun kakao, rombongan langsung menuju ke Kampung Waley. Rombongan disambut dengan tarian adat oleh masyarakat setempat. Penyambutan luar biasa itu berlangsung saat rombongan memasuki halaman Sekolah Dasar Negeri 1 Waley yang menjadi pusat kegiatan ‘turkam.’

Acara penyambutan dilanjutkan dengan ibadah singkat. Gubernur kemudian menyampaikan kebijakan dan program-program yang sedang dijalankan pemerintah. Terakhir, gubernur berdialog dengan masyarakat yang berlangsung kurang-lebih dua Jam.

*** Krist Ansaka, Yosias Wambrauw

Read More......

Pesan dari Kampung

Dana Respek Rp 100 juta dari provinsi dirasakan kurang. Sejumlah kepala kampung di Kabupaten Keerom, minta dinaikkan.

KECEWA. Begitu kata yang terlontar dari kepala kampung dan warga yang hadir ketika Gubernur Papua, Barnabas Suebu, ‘turkam’ di Kampung Waley, Distrik Senggi, Kabupaten Keerom pada 25 Juli lalu.

Mereka kecewa lantaran waktu yang disediakan panitia untuk berdialog dengan gubernur hanya dua jam. Padahal, untuk menghadiri acara ‘turkam,’ mereka harus menempuh jarak yang jauh dari kampung mereka.

“Kami ini datang dari jauh untuk melihat wajah gubernur; kami hendak menanyakan sejumlah persoalan pembangunan di kampung. Tapi waktu yang disediakan sangat terbatas. Hanya lima orang yang sempat bertanya; kami benar-benar kecewa,” kata Frans Abar, Kepala Kampung Wambes, Distrik Arso.

Walau kecewa, rasa bangga tersirat dalam diri mereka terhadap perhatian gubernur pada mereka. Sejumlah kepala kampung menyampaikan aspirasi, atau tepatnya, unek-unek mereka-yang pada garis besarnya sama-pada mingguan ini. Mereka ingin dana Rp 100 juta ditambah.

Tobias Tekam, Kepala Kampung Sawya, Tami, misalnya. Ia berharap ada penambahan hingga Rp 200 juta. Ia merasakan dana Rp 100 juta selama ini tidak memadai untuk kebutuhan 300 wargannya (67 kepala keluarga).

Menurut Tobias, merujuk petunjuk penggunaan yang diberikan, dana Rp 100 juta tidak memadai. Tobias memberikan alasan: kenaikan harga barang yang mengiringi melejitnya harga bahan bakar minyak.

Ia mengatakan, walau sangat mendukung program ‘turkam’ gubernur ke kampung-kampung, ia mengharapkan ada perhatian serius dari bupati dan kepala distrik terhadap pembangunan masyarakat di daerahnya.

Sebagaimana warga kampung pada umumnya, Tobias mau menyaksikan dan “memetik” langsung hasil dari “pembangunan dari kampung.” Ia menyebutkan, misalnya, penyiapan rumah-rumah untuk penduduk asli di setiap kampung. “Agar masyarakat turut merasakan dan menikmati apa itu pembangunan,” katanya.

Tobias menambahkan, dana Respek tahun 2007 yang diterima warga kampungnya telah digunakan untuk pengembangan kebun kakao, ternak babi, ayam dan ikan. Ia berharap gubernur yang langsung turun ke kampung bisa menyaksikan sendiri capaian tersebut.

Hal senada juga diungkapkan Kepala Kampung Kali Bo, Lukas Maunda. Ia memandang positif turne gubernur. Hal itu memungkinkan gubernur dapat melihat langsung berhasil-tidaknya pembangunan kampung. Melalui turne itu juga gubernur bisa mendengarkan langsung keluhan masyarakat.

Ia pun memohon perhatian dari pemerintah provinsi terhadap rumah-rumah dan kebun kakao warga-dua hektare per kepala-terobosan Bupati Kabupaten Keerom.

Tapi, dari semua itu, yang paling penting soal komunikasi antara pemerintah kabupaten, distrik dan kampung, yang menurutnya, selama ini tidak lancar. “Saya berharap ada komunikasi yang baik, sehingga pembangunan di kampung dapat berjalan,” tandasnya.

Lukas juga menuturkan, bagian dana pemberdayaan kampung tahun 2007 untuk Kampung Kali Bo tidak cukup untuk semua program yang telah direncanakan. Sama dengan Kampung Sawya, Kampung Kali Bo yang dimukimi 672 warga (174 kepala keluarga) ini rupanya tidak menentukan prioritas pembangunan. Wajarlah, jika kekurangan biaya seperti terus membayangi.

Untuk bidang kesehatan, bantuan difokuskan pada biayai pengobatan bagi warga tak mampu. Untuk pendidikan, bantuan disalurkan dalam bentuk biaya anak-anak sekolah. Sementara pengembangan ekonomi, di-ada-kan bibit kakao. Selanjutnya untuk bidang sosial, dilengkapi sarana olahraga.

Kepala Kampung Wambes Distrik Arso Timur, Frans Abar mengatakan hal yang sama, di tempat yang berbeda. Dana Rp 100 juta memang masih sangat kurang. Ia juga mendambakan gubernur bisa menambahkan dana tersebut. Misalnya, menjadi Rp 200 juta.

Dana Respek Rp 100 juta untuk Kampung Wambes pada tahun 2007, sudah digunakan untuk pembangunan kantor kampung yang menghabiskan dana sebanyak Rp 90 juta.

Frans juga mempertanyakan perusahaan kepala sawit milik PT Rajawali Grup yang diresmikan gubernur pada 2007, namun hingga kini belum berfungsi. Juga HPH yang banyak merugikan pemilik lahan adat.

“HPH sudah hancurkan hutan rakyat; sekarang rakyat tinggal miskin di atas hutannya,” kata Frans. Ia ingin pemerintah provinsi bisa segera menuntaskan persolan ini. “Kami punya hutan sudah dibabat habis, tapi kesejahteraan masyarakat tidak diperhatikan. Mohon gubernur lihat hal ini,” tutur Frans.

Frans juga memohon pemerintah provinsi dan kabupaten bisa memperhatikan tenaga untuk Kantor Distrik Arso Timur dan Towe Hitam yang hingga saat ini belum ada.

Kepala kampung Arso Swakarsa, Distrik Arso, R.R Moniyung juga turut mengiyakan minimnya dana Rp 100 juta. “Di kampung saya, ada 208 jiwa, itu belum termasuk tentara yang bertugas di sana. Kampung ini biasa dilanda banjir. Dana Rp 100 juta yang kami terima lebih banyak terserap untuk pembangunan jembatan dan drainase,” kata kepala kampung Asyaman Swakarsa, Distrik Arso ini.

Ia juga meminta gubernur segera mengambil langkah-langkah kongkret guna membongkar bendungan di Koya, mengingat selama ini bendungan tersebut telah banyak mengakibatkan banjir di Arso. (ansaka)

Read More......

“Kami Belum Terima Buku Petunjuk”

SEPUCUK undangan dari Kepala Distrik Pantai Timur Barat Kabupaten Sarmi, masih digenggam erat Beneditus Tonjau, 43 tahun, ketika mengikuti arahan Wakil Gubernur Papua, Alex Hessegem saat “turun kampung” (Turkam) di Distrik Bonggo, Kabupaten Sarmi, pada 26 Juli 2008.

Beneditus hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendesis, “Wah.” Kepala Kampung Vinyambor itu tampaknya lagi bingung. Dalam kesempatan tanya-jawab, Beneditus belum berani mengungkapkan kebigungannya soal petunjuk pelaksanaan Program Pemberdayaan Kampung.

Namun, ketika ditemui mingguan ini, Beneditus seolah bangkit, lalu “memuntahkan” persoalan seputar pelaksanaan program pemberdayaan di kampung yang dipimpinnya.

“Wagub bilang, honor kepala kampung tidak bisa diambil dari Rp 100 juta yang diberikan pemerintah provinsi. Tapi, kami dapat kabar dari kabupaten, dana Rp 100 juta itu, sudah termasuk honor kepala kampung,” ungkap Beneditus.

Sementara, menurut pihak provinsi dana tersebut digunakan untuk pembangunan kampung. Insentif kepala kampung hanya bisa diperoleh dari dana pemberdayaan distrik. “Kami harus ikuti petunjuk yang mana?” tanya Beneditus Tonjau, Kepala Kampung Vinyambor, Distrik Pantai Timur Barat di Kabupaten Sarmi. “Kami tidak tahu harus mengikuti petunjuk yang mana?”

Kebigungan Beneditus mengesankan, ada perbedaan petunjuk dari provinsi dan kambupaten tentang pelaksanaan Program Pemberdayaan Kampung. Konsep Respek yang diinginkan para petinggi di provinsi tidak gandeng dengan yang ada di benak para kepala kampung dan warga mereka.

“Mana yang benar? Sedangkan buku petunjuk pelaksanaan teknis Respek belum kami terima,” kata Beneditus.

Walau begitu, dengan pemahamannya terbatas, ia bisa menerjemahkan kebutuhan rakyatnya. Dana pemberdayaan kampung dari provinsi Papua dan Kabupaten Sarmi sebesar Rp 200 juta bisa “disalurkan.”

Beneditus menjabarkan, untuk usaha kecil (seperti, pembuatan minyak kelapa) diberikan 15 persen untuk 30 orang. Beasiswa untuk sekolah menengah pertama, masing-masing Rp 100.000 untuk 19 pelajar. Siswa sekolah menengah atas dan sederajat Rp 150.000. “Kami juga beli mesin pembangkit listrik (genset),” kata kepala Kampung Vinyambor itu.

Beneditus Tonjau hanya contoh dari sekian banyak kepala kampung di Papua yang belum paham benar pelaksanaan Program Pemberdayaan Kampung. Inilah tantangan dalam setahun pelaksanaan Respek yang perlu dievaluasi. Semoga.(ansaka)


Read More......

Ada Kelebihan Dana Block Grant

28 kampung dari 84 kampung di Sarmi belum terima dana pemberdayaan kampung. Padahal, masih ada saldo di bank.

SARMI, sebuah kota tua di utara Kota Jayapura. Sejak 2002 sudah menjadi ibu kota Kabupaten. Pusat pemerintahan kota ini bukan lagi di kota tua, Holmafen, tapi di kota baru, Petam.

Tidak seperti kabupaten-kabupaten yang baru dimekarkan, penataan pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten Sarmi potensial untuk pesat. Pasalnya, kabupaten inipernah dijadikan pangkalan-tepatnya Pulau Wakde–oleh tentara sekutu pada Perang Dunia II. Juga pusat pengolahan dan ekspor kopra. Itu sebabnya, Bupati Sarmi, Eduard Fonataba, optimis, bahwa Sarmi yang kini terus berbenah menuju “Sarmi baru yang mandiri dan bermartabat” bisa “tinggal landas.”

Untuk menggapai cita-cita, Kabupaten Sarmi memfokuskan pengembangan sumber daya manusia, kapasitas kelembagaan aparatur pemerintah dan masyarakat, kesejahteraan, dan produksi. Pemerintah di Kabupaten ini pun mengarahkan seluruh perhatian ke para warga di 84 kampung di sana.

Kabupaten Sarmi mendapatkan alokasi dana pemberdayaan kampung (block grant) dari provinsi sebesar Rp 6.300.000.000 (enam miliar tiga ratus juta). Dana ini disalurkan ke 56 kampung dari 84 kampung, 5 distrik dari 10 distrik dan kelurahan. “Itu berarti ada 28 kampung dan distrik yang belum mendapatkan dana tersebut. Dana tersebut disalurkan melalui Bank Papua Cabang Pembantu Sarmi,” ungkap Bupati Sarmi, Eduard Fonataba dalam laporannya kepada Wakil Gubernur Papua, Alex Hessegem saat turkam di Distrik Bonggo pada 26 Juli lalu.

Dana block grant itu-disesuaikan dengan program setiap kampung sesuai petunjuk umum pemerintah provinsi–disalurkan sejak Februari 2008. Sesuai petunjuk umum itu, posisi saldo dana pemberdayaan kampung Kabupaten Sarmi sejak 17 Juli 2008 adalah Rp 1.254.694.520 (satu miliar dua ratus lima puluh empat juta enam ratus sembilan puluh empat ribu lima ratus dua puluh). (Rinciannya di tabel).

Penggunaan Dana Pemberdayaan Kampung

No. Keterangan Jumlah Dana (Rp)
1. Dana yang diterima 6.300.000.000
2. Dana yang disalurkan 5.045.305.480
3. Sisa saldo di bank 1.254.694.520
Sumber: Laporan Bupati Sarmi, 26 Juli 2008

Bupati mengatakan, penyaluran dana itu diarahkan untuk sembilan bidang, yakni: pendidikan, kesehatan, pemenuhan makanan dan gizi, pengembangan ekonomi masyarakat, pembangunan infrastruktur kampung, pengelolaan hutan berkelanjutan, pemberdayaan aparat kampung, pengarusutamaan gender, penegakan hukum, keadilan dan hak asasi manusia.

“Dana Rp 100 juta yang disalurkan dari provinsi sejak tahun 2007 telah menambah dana di tingkat kampung, yang memungkinkan perubahan hidup dan kesejahteraan,” kata Fonataba.

Menurutnya, Pemerintah Kabupaten Sarmi sejak tahun 2004 sampai 2008, juga menyediakan dana pemberdayaan bagi setiap kampung. Pada tahun 2007 dan 2008, dana yang disalurkan ke setiap kampung berjumlah Rp 100 juta.

“Jadi, dana pemberdayaan kampung atau dana Respek dari Provinsi Papua dan Kabupaten Sarmi yang disalurkan ke setiap kampung berjumlah Rp 200 juta,” kata Fonataba.

Dari dana Rp 100 juta dari Kabupaten Sarmi, Rp 20 juta digunakan khusus untuk pos pelayanan terpadu (Posyandu) yang dikelola PKK, dan Rp 80 juta untuk program pembangunan kampung.

Selain itu, ada juga program sektoral yang diturunkan ke kampung. Tapi program ini berupa kegiatan yang dikelola oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang hanya dipusatkan di kampung-kampung tertentu sesuai sasaran dan target pemerintah provinsi, kabupaten dan distrik.

Setiap SKPD di Kabupaten Sarmi diberikan tugas dan tanggungjawab untuk melakukan pembinaan di setiap kampung. SKPD ini untuk mendampingi masyarakat melaksanakan program-program pembangunan kampung yang dibiayai melalui block grant dan dana program pembangunan sektoral (specific grant).

Kegiatan pendampingan meliputi: pemberian motivasi dan inovasi, partisipasi dalam perencanaan program pembangunan kampung, dan partisipasi dalam kegiatan swadaya masyarakat.

Selain penyuluhan, SKPD juga bertanggung jawab untuk membekali warga kampung dengan keterampilan yang dibutuhkan.

Untuk kegiatan pembinaan kampung, pemerintah Kabupaten Sarmi menyalurkan dana penunjang setiap SKPD Rp 10 juta. Dana ini untuk transportasi dan kebutuhan lainnya. “Tidak tertutup kemungkinan SKPD dapat menggunakan biaya operasional dan perjalanan dinas dari masing-masing SKPD untuk kegiatan pembinaan di kampung,” kata Bupati Sarmi, Eduard Fonataba.

Menurut Fonataba, setiap triwulan, setiap SKPD diwajibkan membuat laporan kegiatan yang telah dilakukan di setiap kampung binaan. Laporan itu lalu diserahkan kepada bupati melalui sekretaris daerah Kabupaten Sarmi.

Tampaknya, Eduard Fonataba cukup serius menangani program pemberdayaan kampung. “Semua ini kami lakukan demi “Sarmi baru yang mandiri dan bermartabat,” kata bupati yang mencoba mempromosikan visi Kabupaten Sarmi."(ansaka)



Read More......

Diberondongi Permintaan

Di Kabupaten Keerom, gubernur diberondongi sejumlah permintaan warga kampung. Mulai dari penambahan dana Respek, tenaga guru, bidan kampung. Atau keluhan seputar perusahaan kayu PT Rajawali Grup, usulan pencabutan izin penjulalan miuman keras dan pembongkaran bendungan di Tami.

LAGU boleh sama, tapi nada dan irama bisa berbeda, jika dibawakan penyanyi dan musisi yang berbeda. Hal ini analog dengan program pemberdayaan kampung yang sedang digulirkan saat ini.

Walaupun Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, menginstruksikan semua jajaran pemerintahannya mengordinasikan dan menyinkronkan program pemerintah provinsi hingga ke kampung, tak semua capaian yang diraih identik.

Alegori kesamaan lagu itu dikemukan Bas sendiri, misalnya, saat ‘turkam’ di Kampung Waley, Distrik Senggi, Kabupaten Keerom pada 25 Juli lalu. Apa lagu yang sama itu? Ya, “Bangun mulai dari Kampung,” kata Bas.

Tanpa kordinasi dan sinkronisasi, “lagu” yang “dilantunkan” bisa berbeda nadanya dari yang dinyanyikan gubernur.

‘Turkam’ gubernur kali ini memang lebih untuk menilai pelaksanaan program Respek yang sudah berjalan setahun sebelumnya. Gubernur hendak mengecek klop-tidaknya perwujudan dana Respek yang dikucurkan ke setiap kampung dengan usulan program.

Gubernur mengatakan, dana Respek atau dana apa pun yang turun dari pusat akan terus dilanjutkan, bahkan akan ditingkatkan. “Ini pekerjaan yang berlanjut hingga kiamat… sampai Tuhan Yesus datang kembali,” lanjutnya.

Karena upaya ini berkelanjutan, kata Bas, siapa pun gubernur dan bupati kelak, pekerjaan memperbaiki diri, membangun kesejahteraan tidak akan pernah berhenti. Jalan ini yang sedang ditempuh. “Saya minta supaya kita memahami hal ini dengan baik… pekerjaan ini harus kita laksanakan secara berencana, bertahap dan berkesinambungan,” tandas Bas.

Saat berdialog dengan warga di berbagai kampung di Keerom, gubernur diberondongi sejumlah usulan dan permintaan. Ada yang minta dana Respek dinaikkan, karena tidak mencukupi kebutuhan. Ada pula yang mengeluhkan guru yang tidak betah di tempat tugas. Tak lupa pula usulan penambahan guru bagi wilayah terpencil, tenaga bidan dan posyandu di tiap kampung.

Soal peredaran minuman keras di Papua juga dicurahkan kepada gubernur. Perusahaan Rajawali Grup yang hingga kini belum beroperasi turut dikeluhkan. Terakhir, warga meminta pembongkaran segera bendungan di Tami yang selama ini menimbulkan banjir bila turun hujan.

Menyangkut kelangkaan tenaga guru, Suebu mengakui, hal itu masih menjadi kendala. Hampir di setiap kampung, terutama di daerah terpencil di Provinsi Papua, soal tenaga guru sudah lama “diratapi.”

Agar mendapatkan guru yang berkarakter dan berjiwa pengabdian dipersyaratkan pendidikan guru yang lebih baik. Itu yang memungkinkan guru bisa betah di tempat tugas. “Karena itu, pendidikan guru perlu dibenahi,” kata Bas.

Ia berpendapat, guru yang berkarakter akan menghasilkan guru yang juga berkarakter pula. Tak sekadar pengetahuan, tapi juga semangat pengabdian dan pengasihan kepada anak didik. “Ini yang harus ditanamkan dalam pendidikan guru, tutur Bas.

Tapi, itu tidak bisa berlangsung tanpa perhatian pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Bas mencontohkan, tunjangan daerah terpencil yang sudah ditetapkan dan beasiswa bagi putra-putri guru di daerah terpencil yang belajar di kota. “Supaya guru betah tinggal dan bekerja di daerah-daerah terpencil,” ungkap Bas.

Gubernur juga mengakui, ada guru yang sampai lima tahun tidak pernah bekerja dan hanya tinggal kota, tapi menerima gaji. “Guru seperti itu akan dipecat; jatah pegawai mereka dialihkan kepada guru-guru yang rajin,” tegas Gubernur. Mereka, entah guru honorer atau guru kontrak yang mungkin pernah mengikuti seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS), tapi tidak tembus karena ditutup oleh guru-guru yang malas itu.

Tentang peredaran minuman keras di Papua, gubernur mengatakan, pemerintah daerah telah mengambil kebijakan pengawasan dan pengetatan. Tantangannya, sementara minuman alkohol dari luar diperketat, masyarakat meracik sendiri minuman alkohol dari spirtus. Sebagian malah mengakibatkan kematian. Karena itu, masyarakat juga harus berdisiplin, tidak tergoda minuman “api” itu. Perizinan minuman keras sudah dibahas; di beberapa tempat malah sudah dilarang sama sekali.

Lalu, soal kehadiran PT Rajawali Grup di Distrik Arso Timur. Perusahaan yang sudah resmikan pada 2007 ini memang belum beroperasi. Bas menuturkan, perusahaan yang termasuk salah satu yang terbesar di dunia ini terbentur oleh belum adanya izin dari Departemen Kehutananan RI. “Tapi, sebagai gubernur, saya sudah katakan kepada mereka untuk mulai bekerja,” kata Bas.

Bas menjelaskan, PT Rajawali Grup perusahaan kelapa sawit terbesar di dunia, bukan seperti PTPN II Arso yang berskala kecil. “Sayang, belum mulai bekerja, karena terbentur masalah hutan yang berakibat perusahaan ini mau menarik diri,” ungkap Bas.

Bas mengatakan, PT ini juga nanti menyediakan lahan sawit untuk rakyat; tidak seperti PTPN II. Setiap kepala keluarga akan mendapatkan empat hektare lahan sawit dengan pendapatan per bulan kurang-lebih Rp 5 juta. Setiap kampung pun akan dibangun perusahaan.

Berkaitan dengan bendungan di Kali Tami, Bas menjawab, saat pertemuan di Kampung Workwana, Distrik Arso tahun 2007 lalu, dampak bendungan memang sudah pernah dibicarakan. Gubernur sudah menindaklanjutinya dengan melakukan pertemuan dengan penanggung jawab proyek, Dinas Pekerjaan Umum (PU) yang menjalankan proyek dari Departeman PU di Jakarta. Jalan keluarnya? Dinas ini perlu membongkar dan membuat sistem pengairan dengan teknologi lain.

*** Krist Ansaka, Yosias Wambrauw

Read More......

Hati, Telinga, dan Mulut Bagi Kaum Tertindas

Kebijakan pembangunan saat ini belum berpihak kepada kaum perempuan. Untuk mendorong adanya perubahan kebijakan yang berpihak kepada kaum marginal, maka perempuan harus dapat mengisi kouta 30 persen di legislatif, baik yang ada di provinsi, kabupaten dan kota. Hal inilah yang diungkapkan Wakil Ketua II MRP, Dra. Hana S. Hikoyabi yang kini diakui sebagai hati, telinga dan mulut bagi kaum tertindas di Papua, termasuk perempuan asli Papua.

KESEDERHANAAN dan taat akan Yesus yang selalu mewarnai kehidupannya setiap hari. Bahkan dengan kesederhanaanya itu pula menjadi berkat bagi orang lain, terutama kaum yang tak bersuara alias kaum yang tertindas. Begitulah sekilas gambaran dari Wakil Ketua II MRP, Dra. Hana S. Hikoyabi

Bagi politisi di Papua atau di Indonesia secara umum, Hana adalah salah satu contoh figur dari sekian banyak pemimpin masa depan bagi rakyat di Negeri Kasuari, Papua. Tapi kenyataan ini justru menjadi tantangan baginya untuk mendorong terciptanya perubahan kebijakan pembangunan yang berpihak kepada kaum perempuan atau kaum yang tertintas, baik yang ada di bukit, lerang, lembah, rawa, pantai, hutan belukar dan juga di perkotaan di Papua.

Hal ini juga diungkapkan para mama-mama yang berjualan di pasar-pasar, baik di Kota Jayapura maupun di Kabupaten Jayapura. Bukan itu saja, sejumlah tokoh senior LSM perempuan di Papua mengakui, bahwa Hana Hikoyabi adalah figur pemimpin bagi rakyat di negeri ini. Pengakuan itu tak membuat Hana besar kelapa. Tapi justru bagi dia, ungkapan itu adalah panggilan dari Yesus untuk berbuat lebih baik bagi kaum yang tertindas.

Sikap dan keberpihakan inilah yang membuat Hana menjadi inceran partai politik untuk meraup suara dalam pemilihan umum tahun 2009 nanti. Lirikan dari partai itu bagi seorang Hana, hanyalah dinamika politik. Tapi bagi dia, saat ini, hampir semua kebijakan tak berpihak kepada kaum perempuan. Untuk itulah, Hana S. Hikoyabi angkat bicara dalam seminar perempuan dan partai politik, khususnya, peluang mengisi kuota 30 persen di lembaga legislatif yang diselenggarakan Yayasan Santo Antonius (Yasanto) Merauke bekerjasama dengan Foker LSM Papua di Merauke pada 30 Mei 2008.

“Untuk kuota 30 persen bagi perempuan di parleman dan perlunya perubahan kebijakan yang berpihak kepada kaum perempuan, sudah sering saya sampaikan dalam berbagai pertemuan. Baik dalam pertemuan kaum perempuan di kampung-kampung, pertemuan dengan Himpunan Wanita Karya (HWK) Provinsi Papua, kaum perempuan di Merauke dan berbagai pertemuan, baik di tingkat Provinsi, kabupaten dan kota hingga ke dusun-dusun terpencil,” ungkap Hana.

Menurut penelusuran mingguan ini, bahwa sikap tegas Hana untuk mendukung perubahan kebijakan yang berpihak bagi kaum perempuan itu, bukan karena kepentingan politik. Tapi, sebagai anak adat asli Papua yang juga anak seorang guru yang selalu menjujung tinggi nilai-nilai adat, agama, kebersamaan dan kesederhanaan. Jadi bukan karena kepentingan politik, Hana “berteriak” soal perlunya perubahan kebijakan, pemberdayaan perempuan asli Papua dan keberpihakan terhadap kaum marginal. Untuk itu, wajar saja kalau Hana disebut sebagai “Hati, Telingan, dan Mulut Bagi Kaum Tertindas.”

Kenyataan ini, bukan hanya di Jayapura. Tapi ketika ia berkunjung melihat dan merasakan getirnya perjuangan kaum perempuan di di berbagai kampung dan kota di Papua.

Seperti ketika ia tampil dalam seminar politik di Yasanto Merauke itu. Hana mengungkapkan bahwa untuk memperjuangkan kuota 30 persen kaum perempuan di perleman, maka perempuan harus menyiapkan diri untuk mendongkrak kapasitasnya. “Saya tidak tekankan soal 30 persen perempuan di parleman tapi, bagaimana perempuan bersikap untuk mendorong adanya perubahan kebijhakan yang berpihak pada perempuan dan kaum marginal,” kata Hana yang ditemui mingguan ini dalam wawancara eksklusif di ruang kerjanya, Kantor MRP di Korataja, Jayapura.

Sedangkan porsi 30 kaum perempuan di parlemen yang diamanatkan oleh undang-undang itu, bagi seorang Hana, porsi itu hanyalah wadah agar lebih banyak perempuan masuk menjadi anggota parlemen dan dapat memperjuangkan adanya perubahan kebijakan yang berpihak pada perempuan secara khusus dan kaum tertindas pada umumnya.

“Saya hanya mendorong agar kuota 30 di perleman itu harus diisi. Tapi ketika perempuan yang berkapasitas dan berhasil ke parleman (legislatif), baik di provinsi, Kabupaten atau kota, maka perempuan itu harus dapat mendorongnya adanya perubahan kebijakan yang berpihak kepada perempuan. Inilah yang menjadi visi bersama,”.

Pernyataan Hana itu muncul lantaran saat ini, kebijakan pemerintah selalu mengabaikan perempuan. Bahkan adanya sikap pembiaran yang menyebabkan munculnya tindakan kekerasan negara terhadap perempuan. “Untuk itu, kaum perempuan harus didorong agar dapat mengisi kouta 30 persen di parlemen sehingga mereka dapat membawa perubahan dalam arti dapat mendorong berbagai kebijakan yang berpihak kepada perempuan, baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, legislasi dan lain-lain,”.

Bagi Hana, perubahan itu diperlukan karena ada sejumlah kebijakan yang cenderung menjadi peluang tindakan kekerasan terhadap perempuan. “Kekerasan itu bukan hanya fisik saja. Tapi adanya kekerasan psikis yang dilakukan negara terhadap perempuan seperti kebijakan yang tidak berpihak kepada kaum perempuan,” ungkap perempuan yang kini menjadi hati, telinga dan mulut kaum tertindas di Papua.

Sebagai anggota sekaligus Wakil Ketua II MRP, Hana menyatakan, bahwa Kelompok Kerja Perempuan Papua (Pokja MRP) bekerja keras untuk mendorong agar tercapainya kuota 30 persen di parlemen.

“Saya berharap agar dengan banyaknya kaum perempuan di parlemen, maka kehadiran mereka bisa membawa perubahan kebijakan bagi perempuan., khusunya perempuan asli Papua,” ujar istri dari Merthen Sarwom itu.

Menurut perempuan yang baru saja merayakan HUTnya ke 42 pada Sabtu, 7 Juni 2008 itu, bahwa kehadiran perempuan yang ada di parlemen itu harus dapat mendongkrak kehidupan kaumnya yang ada tinggal di kampung-kampung, di lobang-lobang batu, di pohon-pohon dan juga yang ada di kota-kota di Papua.

“Saya bermimpi, kaum perempuan yang masuk ke parlemen itu bisa menolong kaumnya. Sekarang ini kita sedikit. Tapi kalau kuota 30 persen itu terpenuhi, maka kita akan membawa suatu perubahan kebijakan yang berpihak pada perempuan, bukan hanya di provinsi, tapi juga di kabupaten, kota, di kampung-kampaung bahkan di dusun-dusun terpencil di Papua,” Ungkap perempuan yang kini menjadi hati, telinga dan mulut bagi kaum perempuan asli Papua.

Menurutnya, perjuangan kaum perempuan untuk perubahan kebijakan yang berpihak itu harus ditularkan kepada kaum lelaki. “Kasmi harus tularkan kepada kaum lekaki supaya mereka juga ikut bekerja untuk membawa perubahan bagi perempuan. Jadi kita mendorong agar laki-laki dapat bekerja sama dengan perempuan untuk membawa perubahan kebijakan yang berpihak pada perempuan,”.

Saat ini, kaum perempuan hanya berjuang sendiri. Untuk itu, visi kaum perempuan harus ditularkan ke kaum lelaki sehingga perempuan dan laki-laki dapat duduk dan berjuang setara untuk memperjuangkan perubahan kebijakan yang berpihak kepada perempuan secara khusus dan kaum marginal, secara umum.

Begitulah garis besar dari meteri yang disampaikan Hana di Merauke. Tapi kehadiran Hana di sana itu bukan hanya sekedar untuk seminar tapi ia juga terpanggil untuk melihat, berbicara dan mencoba merasakan penderitaan para pengindap HIV/AIDS yang kini menjadi asuhan Yayasanto Merauke itu.

Kepada Hana, para pengidap hanya meminta agar rakyat Papua jangan mengucilkan mereka lantaran virus yang kini belum ada obatnya itu. Tapi dengan iman yang teguh, perempuan Sentani ini berkata: “Bagi manusia, HIV/AIDS itu tidak ada obatnya. Tapi bagi Tuhan, tidak ada yang mustahil. Untuk itu, marilah kita serahkan diri kita untuk kemuliaan bagi Tuhan. Amin.”

Read More......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com