Tuesday, June 16, 2009

Bekal Hati Demi Sebuah Perubahan

KRIST- Menjadi seorang pendamping distrik tidaklah cukup hanya berbekal ijasah sarjana. Seorang Pendamping mutlak memiliki jiwa sosial yang tinggi dan terlebih memiliki hati untuk melayani.

Akhir bulan lalu, Uly Mariani dari Media Papua mendapatkan kesempatan meninjau lokasi mata air serta instalasi air bersih yang dikerjakan warga masyarakat lewat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Respek di Kampung Asei Kecil Distrik Sentani Timur.

Siang itu Jumat (24/4), ditemani dua orang warga, peserta pelatihan wartawan bersama pelatih meniti jalan setapak menuju lokasi bak penampung air bersih yang telah rampung dikerjakan warga sejak 3 bulan yang lalu. Setibanya ditempat itu, perlahan, tanpa dikomando, Tenri Leleang lalu memungut daun-daun yang berserakan disekitar bak penampung air bersih milik warga kampung Asei Kecil Distrik Sentani Timur. ”ditelaga ria, bertahun-tahun lamanya kami mengalami kesulitan mendapatkan air bersih”,ujar Toni Losal, ketua RW II, yang turut serta mendampingi kami, mengenang apa yang terlintas dibenaknya saat-saat dulu.

Sesekali, Tenri bercerita bagaimana warga kampung itu dengan swadaya melakukan pembangunan bak penampung sekaligus instalasinya, hal yang telah lama didam-idamkan oleh mereka. ”pengadaan air bersih ini merupakan program PNPM Respek tahun 2007 lalu yang merupakan usulan warga lewat musyawarah kampung,”jelas Tenri, dengan dialek papuanya yang cukup kental.

Tidak mudah bagi Tenri ketika pertama kali masuk dalam kultur masyarakat Sentani Timur yang memiliki karakter yang sangat keras dan kritis. Apalagi wilayah kampung dipinggiran kota, sangat mempengaruhi gaya hidup dan kebiasaan orang tua dulu.
”kebiasaan gotong royong hampir punah, warga cenderung individualis,”ungkap Esther Ansaka, warga setempat yang direkrut menjadi pendamping kampung oleh PNPM Mandiri Respek.

Namun, berkat pendekatan yag gigih serta semangat yang kuat, kehadiran Tenri dan kawan-kawan, yang memang dipersiapkan untuk mendampingi warga kampung memanfaatkan dana otonomi khusus membawa angin segar bagi sebuah jawaban atas pergumulan warga selama ini. ”Kaka Tenri mantap....,kata Ester sambil mengancungkan jempolnya
Wanita keturunan Bugis kelahiran Nabire 32 tahun silam ini memang luar biasa. Berbekal pengalaman serta niat hati yang tulus untuk melayani masyarakat, Tenri mampu beradaptasi dengan cepat ditengah-tengah masyarakat. ”sa su tiga tahun jadi pendamping distrik,”kata wanita lulusan Tekhnik Informatika salah satu perguruan tinggi di Jayapura.

Tenri tidak pernah lupa sebuah kejadian yang hampir menciderai kepalanya ketika mengikuti rapat distrik. Persoalan yang menjadi ujung pangkal perdebatan warga dan kepala distrik sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan materi rapat yang diagendakan, tanpa ada yang mampu melerai, suasana semakin memanas dan akhirnya sebuah kursi melayang diatas kepala Tenri yang saat itu sedang duduk diam mengamati pola tingkah mereka. ”ditentang, dilecehkan oleh beberapa orang yang tidak senang atas kehadiran kami pun kami hadapi dengan tenang,”katanya.

”kaka Tenri bilang ke kitong semua supaya jaga kepercayaan yang dikasih. Baru harus ikut deng aturan yang sudah disepakati sama-sama,”,kata Korlina Ansaka, Bendahara TPKK Kampung Asei Kecil sambil memperlihatkan dua buah buku pertanggungjawaban keuangan yang dipegangnya. Bagi Korlina, Tenri merupakan sosok perempuan yang gigih dan tidak gampang menyerah dengan keadaan. ”dimarah-marah, tetap saja kaka Tenri datang ke kampung. ”Kalau tong orang Papua sama-sama mungkin de su tra mau injak ini kampung lagi ka pa,”kata mama Etha, pengurus Posyandu dikampung tersebut. Sambil duduk-duduk dipondok pinang, Mama Etha bertutur bagaimana tiap kali Tendri turun ke kampung tersebut tanpa sungkan langsung menuju dapur masyarakat menikmati makanan yang dimasak oleh mama-mama disitu. ”mau pisang ka, keladi ka, gabus ka, kaka makan saja.,”timpal nene Yoku yang juga turut bersama-sama dengan mama Etha.

Gilda Naibey, rekan seprofesi Tendri pun merasakan hal yang sama. Kepada Media Papua ketika ditemui disekertariat PNPM Mandiri Kantor Distrik Sentani Timur, Gilda mengakui Tenri banyak memberikan masukan baginya mengenai tugas mereka sebagai pendamping. Apalagi Tenri juga merupakan orang yang cukup lama bergelut dalam bidang ini. ”perbedaan pendapat juga sering terjadi, namun dengan komitmen melayani, akhirnya kami kembali menyatukan perbedaan itu,”,kata Gilda yang baru setahun menjadi pendamping distrik.

Rupanya, kegigihan dan kerja keras Tenri juga tidak lepas dari dukungan suami tercinta. Pengertian yang besar atas pekerjaan sang istri, menjadikan Luis FS Fatunlibit sadar betul yang dilakukan sang istri merupakan bagian dari pelayanan kepada Tuhan. ”tanpa dukungan dan pengertian, dia tidak akan bekerja maksimal”,kata Luis yang juga bekerja di Papua Knowlege Center yang masih ada kaitannya dengan program PNPM Mandiri Respek.

Bagi warga kampung Asei kecil yang sulit percaya terhadap sesuatu yang baru bagi mereka, kehadiran Tenri manjadi bukti bahwa program PNPM Mandiri Respek yang nyata lebih dari sekedar kata-kata. Pola pendekatan yang menyatu lewat kebiasaan dan budaya menjadikan Tenri diterima oleh masyarakat.. ”Tenri salah satu pendamping terbaik yang kami miliki”,ujar Arnold Lopulalan, perwakilan Bank Dunia untuk wilayah Papua.



Read More......

Sang Eksekutor Belum Tersohor

*Lewat PNPM Mandiri, Warga Puay Menggapai Mimpi

KRIST- Tidak ada prestasi khusus yang dikantongi Carlos Suebu. Tidak juga menduduki jabatan penting. Dia hanya warga biasa, tak ada yang istimewa. Carlos Suebu adalah satu dari puluhan warga Kampung Puay, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, yang tak menyangka bisa menjadi eksekutor pembangunan di kampungnya. Sepanjang umurnya, sudah 62 tahun, sepanjang itu juga Carlos seperti bayi dalam pembangunan. Hanya mampu menerima suapan makanan, walaupun pedis yang harus dirasakan. Apa yang didambakan warga Kampung Puay, sering kali jauh panggang dari api.

Tapi kini mereka sudah bukan lagi bayi. Tetapi eksekutor pembangunan yang bisa menentukan kemana kampung yang berada di pinggiran Danau Sentani ini akan berlabuh. Warga setidaknya tak lagi hanya bisa bermimpi, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Respek Provinsi Papua, membantu warga untuk merubah mimpi menjadi nyata. Keinginan warga tak lagi terkubur dalam lumpur hidup di kedalaman Danau Sentani.

Namun sang eksekutor belumlah tersohor. Program pekerjaan jalan rabat beton (sebutan warga : penimbunan jalan) yang menjadi salah satu impian, belum menjadi nyata. Walaupun proposal kegiatan sudah dirampungkan sejak 8 bulan lalu, namun hingga kini belum juga ada pencairan dana. Bukan warga yang dikepalai Kepala Kampung Balsazar Doyapo yang tak punya nyali untuk membangun sendiri. Tetapi aba-aba siap bekerja dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Jayapura belum berkumandang. Belum ada jawaban dari kantor berpelat merah (BPMD, red) terhadap proposal warga. Ruas jalan kampung yang tak becek di musim penghujan, hingga kini masih menjadi bunga tidur.

Tak hanya Mama Esther yang setiap hari berjualan ke pasar yang hingga kini masih saja dengan keluhannya. Tetapi seluruh warga, mengeluhkan hal serupa. Saat jalan kampung becek, Yohanis, siswa SD Puay kelas 3 yang mengaku terkadang memilih berdiam diri di rumahnya yang sepi tanpa hiburan televisi, dari pada duduk di bangku kelasnya. Demikian juga langkah Mama Esther menuju Pasar Yoka - sekitar 20 Km dari Kampung Puay - menjadi lebih berat. Ada keengganan menghinggapi dirinya untuk melakukan kegiatan rutin dan wajib yang sudah dilakukannya puluhan tahun itu. Namun akhirnya dengan terpaksa, pekerjaan satu-satunya sebagai sumber kehidupan keluarga, harus dijalaninya.

“Berjalan hingga mata jalan depan kampong berbeban jualan ini jadi beban berat buat saya sebagai perempuan. Tapi beban ini akan ringan saat jalan tak becek, dan angkutan parkir dekat rumah,” turut Mama Esther yang sering kali membawa sagu puluhan kilo untuk dipasarkan di Pasar Yoka.

Mobil angkutan umum memang sudah terbiasa melayani warga, bahkan hingga dekat pemukiman mereka. Saat kondisi jalan normal, tak becek, barang jualan yang berlimpah pun tak menjadi beban. Cukup beberapa depa, beban di gendongan pun sudah berpindah ke dalam mobil angkutan. Terkadang tak perlu lagi seorang Mama Esther meminta uluran tangan sang suami untuk memuat barangnya ke mobil angkutan. Namun cerita ini akan berubah saat kucuran hujan menyulap jalan desa itu menjadi kubangan becek. Semangat pun terkadang berubah.

Penimbunan jalan kampung selebar sekitar 4 meter, sangat penting bagi warga. Tetapi entah untuk pemerintah yang sudah terbiasa ‘memaksakan’ jenis model pembangunan kepada rakyatnya ? Memang penting bagi warga, tak hanya Hendrik Yomo sebagai Ketua Tim Pengelola Kegiatan Kampung (TPKK) yang mau meluangkan berjam-jam waktunya untuk bermusyawarah. Yakob, seorang pemuda yang sebelumnya tak hoby kumpul bermusyawarah, saat itu punya pilihan baru, ikut berkumpul di Balai Kampung Puay untuk bermusyawarah. Kepala Kampung Puay Balsazar Doyapo saat itu juga tidak dengan tongkat kekuasaannya, memaksakan program pembangunan ciptaan pemerintah. Tetapi justeru harus mendengarkan dan menerima apa yang diusulkan oleh warganya.

Semangat 101 KK dengan 533 jiwa warga yang mendiami kampung seluas 147,2 Km dengan 19 meter di atas permukaan air laut ini, masih butuh ‘kesadaran’ pemerintah. Kesadaran bahwa impian warga yang sudah tertuang dalam proposal program kerja yang telah dirampungkan sejak 23 September 2008, namun hingga April 2009 belum juga ada jawaban. Delapan bulan menanti tentu sangat membosankan bagi warga, terlebih saat menanti melalui jalan kampung yang berlumpur. Mama Esther masih harus sering kali mengalami kemalasan untuk mengais rejeki di Pasar Yoka, sementara keluarga menanti kabar baik sang mama dengan jualan yang ludes terjual. Juga dengan Yohanis, anak kelas 3 SD Puay. Apakah buku raportnya harus dihiasi dengan deretan alpa, imbas kumpulan keengganan melintas di jalan becek menuju sekolah.

Mimpi masih sebatas mimpi, bukan salah warga yang sudah terbangun dari tidurnya. Juga bukan salah tenaga pendamping, seperti Ibnu Nugroho, yang mendampingi masyarakat Kampung Puay. Kewajiban serta tahapan proses yang menjadi jatah warga dan tenaga pendamping sudah sekian lama tuntas. Proposal yang telah diverifikasi di tingkat distrik telah dilayangkan ke meja Badan Pemberdaya Masyarakat Desa. Tak serta merta ditindaklanjuti instansi plat merah ini (BPMD, red). Proposal masih harus mengendap cukup panjang di meja BPMD. Entah apa yang menyebabkan dana pekerjaan jalan rabat beton yang merupakan program pembangunan tahun 2008 ini, belum juga ditransfer. Pihak BPMD sempat memberitahukan jika pada bulan Desember proses pencairan dana tidak bisa dilakukan. Alasannya, Desember dipenuhi dengan hari besar keagamaan. Desember telah berlalu, namun mimpi masih menjadi mimpi walaupun warga sedari subuh telah terbangun.

Para eksekutor pembangunan yang tidak lain adalah para warga Kampung Puay, memang belum tersohor. Buah manis dari mimpi memiliki jalan tanpa kubangan becek saat musim penghujan, belum juga dinikmati. Kebanggaan warga yang masih tertunda. Menunggu hingga kaki tak perlu lagi dibasuh dengan air danau yang tak sebersih dulu. Saat lumpur tak lagi melekat pada telapak kaki warga, para eksekutor akan tersohor. Dengan keterbatasan, akhirnya mampu untuk merubah mimpi menjadi kenyataan.

“Semangat warga dalam membangun daerahnya, perlu dijaga. Bukan mengendorkan dengan perilaku lama, yang sudah bukan jamannya lagi,” tutur tenaga pendamping asli Jawa kelahiran Nabire yang kini berbaur dengan warga Puay, Ibnu Nugroho. (Suroso)

Read More......

Berawal dari “Rhona Wali Khabam”

KRIST- PUAY, nama sebuah kampung yang berada di sudut Timur Danau Sentani. Sekarang, kampung ini dihuni oleh 101 KK atau 533 jiwa.

Terbentuknya Kampung Puay ini bermula ketika satu suku pengembara yang berasal dari Timur (PNG) mengembara hingga ke Danau Sentani. Nenek moyang mereka bernama “Rhona Wali Khabam“ yang berasal dari timur (Naujo-Waijo).

Moyang ini mempunyai dua orang istri. Istri pertama melahirkan seorang anak yang diberi nama “Feibero (Feobetauw). Sedangkan istri kedua, juga melahirkan dua orang anak yaitu Awoito atau Awoitauw.

Mereka tinggal bersama di Honong Jo (O Walakau). Tapi selalu terjadi pertengkaran antara Fiobero dengan Awoito. Gara-gara pertengkaran itu, Fiobero keluar dari Honong Jo menuju ke arah barat dan sampai di di Peso yang letaknya di pinggir Danau Sentani - dekat Kampung Puay.

Pada waktu Fiobero berangkat, ia bersama adiknya, Romini dan pesuruh besar “Wahey Tobilo (Wahey). Adiknya Awoito tidak tahan tinggal sendirian di Honong Jo, maka dia mengejar mereka sampai bertemu di Peso. Ada seorang yang tinggal di Peso (Puay) yang bernama “Bhu Morrouw “ (Khandauw).

Nama “PUAY“ diberikan oleh Bhu Morrouw. Dan Bhu Morrouw mengantar mereka dari Peso sampai ke Kampung Puay, kampung kini penduduknya mencoba menata hidup melalui program PNMP Mandiri-Respek.


Read More......

Secercah Harapan di Kampung Puay

KRIS- Kehidupan di Kampung Puay yang berada di sudut Timur bibir Danau Sentani, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, kembali bergelora, setelah seluruh rumah dibakar akibat peristiwa baku rebut jabatan ondoafi. Kini, Anak-anak mulai bersekolah. Perempuan dan laki-laki sibuk mencari ikan di danau dan juga berkebun. Awal Mei lalu, Suara Perempuan Papua merekam kehidupan mereka selama dua hari.

KETIKA sengatan mentari pagi menyapu embun yang mengambang di atas Danau Sentani pada awal Mei lalu, sebagian besar penduduk di Kampung Puay, masih terlelap. Tapi Levina Mimitim–Suebu harus meninggalkan rumah lalu mendayung perahunya menuju tempat pemasangan jaring ikan yang sudah dipasang sejak malam.

Perahu bercadik yang dikemudikan Levina itu, meluncur ke Itaufili - muara pembuangan air dari danau Sentani. Satu jam kemudian, perempuan itu kembali merapat di bawah kolong rumah panggung di atas danau.

Ikan yang didapat dari jaring itu, sudah dikelompokkan menurut jenis lalu disatukan dengan ikatan tali hutan. “Ini untuk dijual di Pasar Yoka dan yang ada di dalam Waskom itu, untuk dimakan,” ujar Levina sambil menujuk 10 ekor ikan di waskom plastik berwarna merah itu.

Setelah merapihkan ikan yang akan dijual itu di depan rumahnya, Levina menuju ke dapur dengan membawa ikan dalam waskom itu. Perempuan berusia 28 tahun itu menyiapkan sarapan untuk suami dan seorang anaknya yang masih duduk di kelas III SD itu.

Sekitar pukul 07.00 Waktu Papua (WP), Levina menumpang taksi menuju Kampung Yoka yang ditempuh sekitar 30 menit. Ibu dari satu anak ini kembali ke Puay, sekitar pukul 15.00 WP. Ia membawa sejumlah kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, daun teh dan kebutuhan lainnya. “Uang dari hasil jualan ikan, ada yang saya pakai untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan ada yang saya simpan untuk dikembalikan ke SPP (Simpan Pinjam Perempuan-Red),” kata Levina.

Levina, termasuk 10 perempuan di Kampung Puay yang mendapat pinjaman uang dari SPP. Jumlahnya antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. “Saya mendapat pinjaman Rp 1 juta. Uang itu saya pakai untuk membeli jaring ikan,” ujar Levina.

Jangka waktu pinjaman satu tahun. Sudah lima bulan sejak Desember 2008, Levina mengembalikan pinjamannya. “Setiap bulan, Levina mengembalikan Rp 100.000. Dan rata-rata, ibu-ibu yang mendapat pinjaman, sudah mengembalikan setengah dari jumlah uang yang dipinjam,” kata Tim Pengelola Pemberdayaan Kampung (TPPK), Hendrik Yomo.

Ketika sejumlah wartawan yang mengikuti pelatihan wartawan untuk pengawasan pembangunan yang dilakukan SOFEI, berkunjung ke Puay pada 24 April lalu, Mama Levina dan sejumlah perempuan lainnya, hadir dalam pertemuan di Balai Kampung. Mereka semua mengungkapkan kegembiran dan harapannya terhadap Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan Rencana Strategi Pembangunan Kampung (Respek).

“Kegiatan dari PNPM-Respek seperti SPP itu, sangat membantu kami untuk peningkatan ekonomi keluarga,” ungkap Levina yang diakui juga oleh Hendrik Yomo dan sejumlah warga Kampung Puay.
*****

KAMPUNG Puay pernah dibakar tahun 1999 ketika meletus perang perebutan kekuasaan ondoafi antara Rony Febetauw dengan Yosep Awoitauw. Tapi kini penduduk kampung ini berlomba-lomba untuk menata kehidupannya.

Levina, adalah contoh dari 101 keluarga di Puay yang mencoba menata kembali hidupnya melalui program pemberdayaan kampung yang diluncurkan pemerintah, baik pemerintah pusat, Provinsi Papua dan Kabupaten Jayapura.

Untuk program pemberdayaan dari pemerintah pusat dan provinsi disatukan dan diberi nama PNPM Mandiri-Respek. Program itu, mulai dirasakan manfaatnya oleh penduduk di Kampung Puay. Hal ini terbukti ketika Levina dan ratusan warga di Kampung Puay pada pertengahan 2007, mereka berembuk membahas penggunaan uang bantuan pemerintah yang diterima di kampung melalui program PNMP Mandiri-Respek.

Pada tahun anggaran 2007, jumlah uang yang diterima warga sebanyak Rp 65.141.500. Untuk itu dipakai untuk membiayai kegiatan pembangunan satu buah Mandi Kakus, fondasi bak air bersih dan program SPP. Tahun anggaran 2008, jumlah uang yang diterima Rp 100 juta. Uang ini dipakai untuk membiayai kegiatan timbun jalan dan kelanjutan kegiatan SPP.

“Kegiatan ini diusulkan oleh masyarakat melalui musyawarah kampung. Lalu diperimtimbangkan oleh TPPK. Setelah dana turun langsung ke TPPK, lalu program itu dikerjalan oleh masyarakat sendiri,” kata Ketua TPPK, Hendrik Yomo.

Menurut Yomo, kegiatan PNPM Mandiri -Respek ini baru berjalan dua tahun, tapi hasilnya mulai dirasakan manfaatnya. “Contohnya, program Simpan Pinjam Perempuan. Uang yang dipinjam itu untuk usaha jualan bensin, membeli jaring ikan, dan buka kios. Dari pendapatan yang diperoleh dari usaha itu, dipakai juga untuk membiayai anak sekolah dan membeli segala kebutuhan hidup setiap hari,” kata Yomo.

Walau begitu, Agnes Deda (25), salah satu warga Kampung Puay belum merasa puas dengan program pemberdayaan kampung . Pasalnya, untuk Kampung Puay saja, dana program pemberdayaan masyarakat itu bersumber dari dari berbagai lembaga dan masing-masing lembaga berjalan sendiri-sendiri.

“Program pembrdayaan masyarakat dari Kabupaten Jayapura berjalan sendiri dan dikelola langsung oleh kepala kampung. Sementara PNPM Mandiri Respek dikelola langsung oleh masyarakat melalui TPKK. Kedua program ini berjalan sendiri-sendiri,” tegas Agnes.

Pernyataan Agnes itu dibenarkan juga oleh Kepala Kampung Beltazar Doyamo. “Untuk penyusunan program pemberdayaan masyarakat yang bersumber dari pemerintah Kabupaten Jayapura itu, diajukan melalui musyawarah di tingkat distrik dan programnya ditentukan dan dikelola oleh aparat pemerintahan kampung,” kata Beltazar.

Bagi Agnes dan Hendrik Yomo, sebaiknya seluruh program pemberdayaan masyarakat kampung itu dibicarakan dan disusun oleh masyarakat sendiri. Kemudian, pengelolaan kekuangannya juga oleh masyarakat dengan tuntutan satu atau dua orang pendamping.
Hendrik Yomo memberikan contoh. “Untuk program PNPM Mandiri Respek, mulai dari perencanaan program sampai dengan melakukan kegiatannya, ditangani oleh masyarakat sendiri. “Inilah bukti, bahwa PNPM itu telah membawa sedikit harapan untuk perubahan di Kampung Puay.

Beltazar sendiri tidak mengelak, kalau antara program pemberdayaan dari Kabupaten Jayapura dan PNPM Mandiri-Respek, berjalan sendiri-sendiri. “Di Kampung ini, kegiatan pemberdayaan yang dirasakan langsung oleh masyarakat yaitu kegiatan yang dibiayai dari PNPM Mandiri – Respek.


Read More......

Saturday, January 10, 2009

Mosso, Potret Kampung Mantan Pelintas Batas


Pemerintahan Kampung Mosso di Distrik Muara Tami tak berfungsi. Kepala Pemerintahan Kampung menghilang. Sekolah tak ada guru, petugas Puskesmas Pembantu tak ada dan pelayanan tak berjalan. Dana pemberdayaan kampung juga tak jelas. Masyarakat minta, KPK dan Sekretaris Kampung diganti.


MOSSO, sebuah kampung yang berada di Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Kampung ini terletak di tapal batas RI – PNG. Ada sekitar 60 Kepala Keluarga (KK) di sana dan 50 KK diantaranya adalah mantan pelintas batas.

Mereka pernah meninggalkan kampung halamannya lantaran Pemerintah Indonesia menempatkan militernya untuk menjaga daerah perbatasan, termasuk di Kampung Mosso. Saat itulah pemusnahan rumah-rumah dan tanaman penduduk berlangsung. Masyarakat Nyao Mosso ketakutan, lari meninggalkan kampung halaman mereka ke pengungsian di PNG dan menetap di Kampung Nyao Nemo dan Nyao Kofo yang berada di PNG. Dua kampung yang warganya punya hubungan sanak sangat erat.

Pada 1999, mereka kembali dan bermukim di Kampung Nyao Mosso Dan baru pada Mei 2007 pemerintah Kota Jayapura menetapkan kampung ini sebagai kampung terakhir di daerah perbatasan. Dengan demikian, bukan lagi Kampung Skouw yang merupakan kampung paling akhir dari Kota Jayapura yang berbatasan langsung dengan PNG.

Tapi persoalan yang dihadapi saat ini yaitu sudah enam bulan, sejak Agustus 2007 hingga kini (Februari 2008), Kepala Pemerintahan Kampung (KPK) dan Sekretarisnya, tak pernah bertugas dan menetap di Kampung Mosso. Kedua pejabat kampung itu, lebih memilih tinggal di Skouw. Akibatnya, kegiatan pemerintahan di kampung itu, tak berjalan.

“Kami yang tinggal di Mosso ini seperti hidup tanpa kepala. Bagaimana kami mau maju kalau KPKnya tak pernah bertugas. Untuk itulah, pada 25 Februari 2008, kami warga Mosso melalui tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh perempuan, dan tokoh pemuda membuat surat ke Walikota Jayapura untuk meminta perhatian terhadap kondisi pemerintahan dan pembangunan sekaligus meminta agar KPK dan sekretarisnya diganti,” ungkap salah satu tokoh adat Mosso, Agus Wepafoa kepada Suara Perempuan Papua di kediamannya di Kampung Mosso pada 29 Februari 2008.

Pernyataan Agus itu bukan isapan jempol. Soalnya, pada September 2007 ketika tabloid ini melakukan ekspedisi selama dua hari di kampung itu, hampir semua warga yang ada di sana mengeluh soal keberadaan KPK. Bahkan pada 29 Februari 2008, ketika wartawan tabloid kembali meliput di Mosso, kantor pemerintahan kampung sudah ditumbuhi rumput dan kantornya ditutupi debuh yang cukup tebal.

Berdasarkan pernyataan masyarakat dan copy surat dari masyarakat ke walikota, tabloid ini berusaha mengkonfirmasikan persoalan kampung Mosso kepada KPK Mosso, Robby Foa di Kampung Skwouw Yambe, tapi KPK tidak berada di tempat dan anaknya mengatakan, “Bapak ke Koya.” Sedangkan Sekretaris Kampung, Hengky Foa di Skouw Mabo, juga tak berada di tempat. Kabarnya, ia sedang ke kota.

Dalam surat tertanggal 25 Februari itu disebutkan, “KPK dan sekretarisnya tak pernah bersama-sama dengan kami masyarakat. Hal ini sudah kami sampaikan, tapi tidak ditanggapi Walikota Jayapura. Kami menyadari, kami masyarakat bodoh akan tetapi, kapan lagi, kami dapat diberikan kepercayaan untuk memimpin kampung kami. Selama ini, KPK dan sekretaris hanya menggunakan kesempatan dan jabatan untuk kepentingan pribadi dengan menggunakan dana kampung. Jadi kami masyarakat bagaikan kehilangan induk.”

Ketika tabloid ini menengok ke rumah KPK di Mosso, tampaknya rumah itu tak terurus. Dalam salah satu kamar, penuh dengan oli berserahkan di lantai dan ada berbagai alat kendaraan roda dua. Kamar itu bak sebuh bengkel. Di ruang tamunya, penuh dengan kayu. Kabarnya, rumah itu dijaga oleh dua orang pemuda.

Untuk itu, masyarakat Mosso memohon kepada walikota melalui Kepala Distrik Muara Tami agar memanggil dan menegur KPK dan sekretaris agar dua pejabat kampung ini dapat tinggal dan menetap bersama masyarakat. Begitulah isi surat ke walikota itu.

Sedangkan dana pemberdayaan kampung yang sudah dikucurkan tahap pertama tahun 2007 sebesar Rp 30 juta, menurut data yang dihimpun dari masyarakat, bahwa dana itu dibagikan kepada 10 orang staf kantor pemerintahan kampung, termasuk RT/RW, masing-masing Rp 700.000. Tapi dua orang staf, mengembalikan uang itu karena dianggap uang Rp 1.400.000 itu adalah hak masyarakat. Itu beerarti, dana pemberdayaan kampung sebesar Rp 24.400.000 (Rp 30 juta – Rp 5.600.000), raib entah kemana?

Menurut penelusuran tabloid ini di kampung mantan pelintas batas itu, tampaknya tak pernah dilakukan musyawarah perencanaan pembangunan (Murembang) dan ada kegiatan apa pun yang dibiayai dengan dana pemberdayaan kampung atau Rencana Strategi Pembangunan Kampung (Respek). Kelompok masyarakat yang dibentuk untuk menanam kakao pun, tak berjalan. Padahal, kampung ini menerima dana pemberdayaan kampung.

PUSTU
Bukan hanya kegiatan pemerintahan yang tak berjalan di kampung itu. Tapi juga Puskesmas Pembantu (Pustu). Gedung Pustu berkaca gelap yang ditutupi debuh itu, seperti tak penah dipakai. Menurut pengakuan masyarakat, bahwa pemerintah sudah memberikan gedung dan peralatan kesehatan. Tapi pelayanan kesehatan hampir tak pernah ada. Bahkan tenaga kesehatan yang di tempatkan di sana, Mantri B. Murib jarang berada di tempat. Pustu selalu tutup. “Jadi kalau ada masyarakat yang sakit, mereka berobat ke Puskesmas di Koya Barat atau ke Vanimo, PNG,” begitulah pengaduan masyarakat yang disampaikan kepada walikota Jayapura.

Untuk itu, masyarakat meminta agar Walikota segera menggantikan petugas kesehatan di Mosso. Masyarakat mengusulkan agar Jack Kuamuli diangkat menjadi petugas kesehatan di Mosso karena mantri yang satu ini telah menyelesaikan pendidikan keperawatan di Papua New Guinea (PNG).

TAK ADA GURU
Begitu juga tenaga pengajar di SD di Kampung Mosso. “Kami kembali ke Indonesia karena kami ingin anak-anak kami bisa bersekolah dengan baik. Anak-anak di Kampung Mosso sangat merindukan sekolah. Tapi, sayangnya, Walikota Jayapura belum memberikan perhatiannya.

Ketika warga Kampung Mosso hijrah ke wilayah PNG, pendidikan anak-anak mereka terlantar. Kini mereka sudah kembali ke kampung asalnya di Mosso, Distrik Muara Tami, Kotamadya Jayapura, sejak tahun 1999. Tapi pemerintah baru membuka tiga kelas SD di kampung itu pada 1 Maret 2007.

Awalnya SD Negeri Mosso itu bermula dari sekolah kecil yang dibuat oleg Gereja Kristen Injili (GKI) di Mosso. “Sebelum ada SD, saya buka sekolah kecil. Semua fasilitas, saya buat sendiri. Mulai dari papan tulis hingga alat peraga. Tapi ketika SD itu dibuka, lalu sekolah kecil ditutup dan murid-murid sekolah kecil dipindahkan ke SD,” ungkap guru jemaat GKI, Thomas Manufandu.

Kini hampir satu tahun SD itu berjalan, tapi tak ada satu pun buku bacaan atau buku cetakan yang dimiliki. Bahkan kepala sekolah pun, tak ada di tempat. Guru yang pernah aktif pun, yaitu Alfonsina Motan, kini sudah pulang atau kembali ke Kampung Skow. Sekolah ini, sekarang tak ada guru.

Selain itu, sekolah ini pun, sejak dibuka hingga kini, tak pernah mendapat Biaya Operasional Sekolah (BOS). Kondisi proses belajar mengajar di SD Negeri Mosso, sangat memperihatinkan. Bahkan dana Otsus yang digembar gemborkan itu, tak pernah dirasakan murid-murid SD Mosso. Padahal, Kampung Mosso itu dapat ditempuh dengan kendaraan paling lambat tiga jam dari kantor Walikota di Entrop, Jayapura.

Kalau jumlah murid yang terdaftar ada 57 anak yang terdiri dari kelas satu 24 orang, kelas dua 13 orang dan kelas tiga 20 orang. Kini, murid-murid SD itu sudah enggan ke sekolah lantaran tak ada guru.

Ketika SD ini menerima murid baru, bagi yang belum bisa baca dan tulis, ditempatkan di kelas satu. Yang sudah bisa baca tulis ditempatkan di kelas dua. Kalau ada murid yang sudah bisa baca, tulis dan berhitung, ditempatkan di keas tiga.

Rata-rata, murid yang sudah bisa baca, tulis dan bisa berhitung, berasal dari PNG. Mereka terpaksa sekolah di Mosso, karena ada kabar, bahwa sekolah Mosso atau di Indonesia itu, guru dan alat bantu untuk proses belajar mengajar, cukup lengkap. Kabar itu ternyata hanya isapan jempol belaka. SD di kampung mantan pelintas batas itu, nyaris tak penah di perhatikan.
Orang tua yang membawa anak-anaknya dari PNG untuk bersekolah di SD Negeri Mosso itu, cukup kecewa. Soalnya, murid yang bersekolah di SD itu, bukan hanya anak-anak Indonesia saja, tapi ada juga anak-anak PNG. Murid-murid yang berasal dari PNG ini tinggal di rumah saudara-saudaranya di Kampung Mosso ini.

“Kami orang tua tidak sekolah. Kami ini korban politik tahun 1969. Jadi kami berharap supaya anak-anak kami bisa sekolah di Mosso dengan baik. Tapi, ternyata, di SD itu, tidak ada guru dan tidak ada buku pelajaran. Ya, saya masih menunggu. Kalau tidak ada perubahan, terpaksa saya bawa kembali anak-anak untuk kembali ke PNG,” ungkap Elias Wepafoa, Kepala Kampung Nyao di PNG.

Elias Wepafoa membawa empat anaknya untuk bersekolah di SD Negeri Mosso. Di PNG, keempat anaknya itu, ada yang kelas delapan, tujuh, dan enam. “Kami di PNG dengar, sekolah di Indonesia sudah maju jadi saya bawa anak-anak dari PNG untuk sekolah di Mosso. Anak-anak itu perlu belajar dan mengetahui bahasa Indoensa dan pelajaran PPKN. Kalau pelajaran lain, sudah didapat di PNG. Tapi mengapa, Indonesia tidak memperhatikan SD di Mosso?” ungkap Elias keheranan.

“Pak Walikota, Ibu Kepala Dinas P dan P serta anggota DPRD Kota Jayapura, jangan biarkan anak-anak kami terlantar, tanpa mendapat pendidikan yang baik. Kami juga ingin, agar-anak dari Mosso bisa belajar sampai ke sekolah lanjutan, baik SMP, SMA, bahkan sampai ke universitas,” ungkap salah satu tokoh adat Mosso, Agus Wepafoa.

Kalau nasib anak-anak SD Mosso, dibiarkan terlantar tanpa diperhatikan, pasti mereka akan hidup dan belajar dari alam dan mereka tak pernah mengejam pendidikan di sekolah formal. Apalagi sampai saat ini masyarakat Kampung Mosso masih hidup meramu, berkebun, dan berburu. Mereka terus berupaya meningkatkan pola hidup mereka untuk setara dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Mereka berharap pemerintah bisa memperhatikan kehidupan masyarakat mantan pelintas batas yang kini berada garda depan RI yang berhadapan langsung PNG.
Krist Ansaka






Read More......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com