Monday, December 22, 2008

Belum Tuntas Kasus HAM di Papua


Tanah Papua memiliki segudang persoalan pelanggaran HAM yang belum tuntas penyelesaiannya. Walaupun ada UU Otsus, tapi pelanggaran terhadap hak-hak dasar masih terjadi. Pemerintah pun dinilai belum serius untuk memperhatikannya. Kalau pun ada, persoalan hukum ini ditangani secara politis.


ZONA damai yang didengung-dengungkan di Papua sejak 2000 hingga akhir 2007, ternyata perlu dipertanyakan kembali. Soalnya, ada masih cukup banyak penduduk di negeri ini yang rasa takut dan curiga terhadap pemerintah lantaran setumpuk persoalan pelanggaran HAM di Papua belum tuntas.

Katakan saja kasus Abepura jilid I yang terjadi 7 Desember 2000. Dalam kasus ini KPP HAM merrekomendasikan 25 pelaku tapi hanya 2 yang menjadi terdakwa yaitu Brigjen Pol Drs Jhonny Wainal Usman dan Kombes Pol Drs Daud Sihombing SH. Kedua tersangka ini tidak ditahan ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan. Bahkan pada sidangdi Pengadilan HAM di Makassar, kedua terdakwa itu dinyatakan bebas. Jaksa menyatakan naik banding, tapi nasibnya tidak jelas hingga kini.

Kemudian, kasus penculikan dan pembantaian terhadap Theys Hiyo Eluay dan sopirnya, Aristoteles Masoka pada 10 November 2001. Sejumlah anggota Kopasus dinyatakan sebagai terdakwa. Tapi pelaku pembantaian Theys, dinyatakan bebas oleh pengadilan. Sementara Aristoteles, sudah enam tahun nasibnya hingga kini tak jelas. Kalau dibunuh, di mana makamnya. Kalau masih hidup, di mana keberadaanya.

Begitupun dengan kasus Wasior di Provinsi Papua Barat dan sejumlah kasus pelanggaran HAM lainnya yang terjadi di Negeri Kasuari, Papua, hamper semuanya tidak tertangani dengan baik.

Belum lagi persoalan-persoalan masa lalu yang membuat orang asli Papua menjadi takut. Rasa takut itu muncul ketika militer Indonesia melakukan operasi penumpasan terhadap antek-antek Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dimulai tahun 1970-an. Saat itu, orang asli Papua yang dicurigai, langsung ditangkap dan dijebloskan ke tahanan, bahkan tak sedikit yang hilang, entah ke mana.

Operasi itu terus berlanjut. Bahkan kondisi Papua saat itu tambah mencekam di penghujung tahun 1983, ketika pasukan elit Kopasandha yang ditugaskan di Irian Jaya (nama Papua saat itu), berusaha membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM yang mereka curigai di kampus dan di instansi-instansi Pemerintah di Jayapura.

“Tanah Papua memiliki segudang persoalan mengenai pelanggaran HAM yang belum tuntas penyelesaiannya. Sampai sekarang belum terlihat keseriusan pemerintah dalam arti negara untuk memperhatikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua,” ungkap Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Paskalis Letsoin SH yang dijumpai Suara Perempuan Papua, Kamis 29 November lalu di ruang kerjanya.

Menurut Paskalis, soal kasus Wasior dan Wamena yang sempat dibentuk KPP HAM sampai sekarang tidak ditangani secara baik. Rupanya antara Kejaksaan dan DPR-RI bertolak pendapat mengenai definisi pelanggaran HAM berat. “Saya kira bentuk-bentuk seperti ini sebenarnya sudah dapat disimpulkan bahwa tidak ada keseriusan negara dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Papua,” ujarn Direktur LBH Papua itu.

Lebih lanjut dijelaskan, bahwa ketika munculnya otonomi Khusus, sebenarnya Provinsi Papua memiliki ruang yang cukup untuk menuntaskan segala kasus pelanggaran HAM. Namun sangat disesalkan, sampai saat ini ternyata peran dari Pemerintah, baik itu dari DPRP, MRP, maupun juga Pemerintah Daerah sendiri belum nampak keseriusan dalam penyelesaian kasus ini.

“Dikuatirkan, ketika kasus-kasus pelanggaran HAM ini tidak ditanagani secara baik, akan merembet ke wilayah politik yang kemudian ada tuntutan yang sebenarnya di luar bidang hukum. Untuk itu, kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini, mau tidak mau harus segera diproses agar masyarakat Papua merasakan keadilan,” ujar Paskalis.

Paskalis menjelaskan lagi, bahwa peran pengadilan HAM yang menyidangkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu, sebenarnya belum terlalu serius atau kemampuan hakim yang terbatas dalam mengungkapkan fakta-fakta kasus yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan. “Saya pikir, mereka masih merasa keterikatan dengan negara dan para hakim itu menganggap bahwa mereka bagian dari negara sehingga unsur subjektivitas muncul ketika proses-proses pengadilan HAM berlangsung,” unkapnya.

Soal ketidak seriusan pemerintah dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat, juga diungkapkan anggota Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey pada Selasa, 27 November lalu di Jayapura.

Selain itu ada juga pelanggaran di bidang ekonomi, sosial dan budaya dan negara belum menggunakan standar pemenuhan hak-hak itu. “kebijakan-kebijakan yang ada belum menggunakan kebijakan yang berpresfektif hak asasi,” kata Frists.
Krist ansaka

Read More......

Suara dari Tanjung Elmo Jadi Rebutan


Sedikitnya 567 orang yang punya hak pilih dalam pemilihan bupati Kabupaten Jayapura, tinggal di Lokalisasi Tanjung Elmo, Distrik Sentani Timur. Suara mereka kini menjadi rebutan dari lima pasangan calon Bupati Jayapura. Tapi lokalisasi ini dibiarkan menjadi perkapungan kumuh.


HABIS manis, sepah dibuang. Ungkapan ini mungkin cocok buat anggota DPRD Kabupaten Jayapura dan juga calon bupati Jayapura. Soalnya, ketika musim pemilihan anggota legislatif dan pemilihan bupati seperti sekarang ini, para Pegiat Seks Komersial (PSK) itu menjadi rebutan para calon. Tapi setelah menjadi anggota DPRD atau menjadi bupati, para korban perdagangan perempuan itu dibiarkan. Bahkan, fasilitas umum di sana pun, hampir tak diperhatikan.

Trik politik yang dimainkan lima calon bupati Jayapura itu nampak ketika debat publik yang disiarkan Lensa Papua dan RRI Jayapura. Dalam debat itu, kelima calon mencoba menunjukan keberpihakannya kepada para korban perdagangan perempuan yang ada di Tanjung Elmo itu. Saat itu, para calon menunjukan, seolah-olah mereka itu penyelamat dari penghuni lokalisasi Tanjung Elmo.

Program yang dijual untuk masyarakat Tanjung Elmo pun, bervariasi. Ada program pemberdayaan perempuan melalui kegiatan jahit-menjahit, kursus salon dan lain-lain. Tak ada yang menawarkan program untuk menyelamatkan mereka dari lingkaran perdagangan perempuan.

Ada kecenderungan, para calon bupati dan juga anggota DPRD Kabupaten Jayapura yang mendapat suara terbanyak dari kawasan ini, menjadikan penghuni Tanjung Elmo sebagai objek politik. ”Mas, saat kampanye, kami diperlakukan dengan baik. Ada yang membagi-bagikan uang, baju kaos, payung dan lain-lain. Tapi nanti setelah mereka memang, kami dilupakan bahkan diperlakukan tidak manusiawi,” ungkap Iyem, perempuan asal Madiun yang terjerumus ke Tanjung Elmo pada tahun 1999 saat ditemui Suara Perempuan Papua di Tanjung Elmo, Kamis, 31 Agustus lalu.

Ungkapan Iyem ini juga diakui 20 orang perempuan lainnya, seperti Darti, Ningsi dan lain-lain. Bagi mereka, para calon bupati jangan menjadikan mereka objek politik. ”Kalau sudah menang, kami pun diperas untuk membayar retribusi. Kami ini orang kecil, jadi jangan diinjak-injak terus,” ungkap Darti yang mengaku pernah duduk di kelas III SMA di Malang.

Pengakuan dari Iyem, Darti dan Ningsi itu dibenarkan Sekretaris RW Tanjung Elmo, Titin. Menurut Titin, jumlah penduduk di Tajung Elmo ada sekitar 700 jiwa. Dari jumlah itu, yang punya hak memilih sekitar 567 orang yang terdiri dari laki-laki 231 dan perempuan 336 orang. ”Kami punya kekuatan terbesar di Keluruhan Nolokla, Distrik Sentani Timur. Jadi tak heran kalau para calon bupati mencoba untuk baku rebut suara di sini. Tapi dari lima calon bupati, hanya Habel Melkianus Suwae saja yang mencoba memperhatikan kami di sini,” ungkap Titin kepada tabloid ini, Jumat, 1 Agustus lalu.

Menurut data dari KPUD Kabupaten Jayapura, bahwa untuk Kelurahan Nonokla, jumlah pemilih ada 1.408 yang terdiri dari perempuan 762 dan laki-laki 646. Dari jumlah ini, pemilih terbanyak ada di Tanjung Elmo yaitu 567 orang dan pemilih perempuan yang terbanyak, yaitu 336 orang.

Jumlah pemilih ini, tampaknya menjadi suatu kekuatan politik yang perlu diperhitungkan para calon bupati untuk meraih suara.

Menurut Titin, sejak lokalisasi Tanjung Elmo ini ada sekitar tahun 1980-an hingga kini, pemerintah tak pernah memperhatikan warga di Tanjung Elmo. ”Jalan masuk saja, baru diaspal pada Juni lalu. Selain dari itu, tak pernah ada bantuan apa pun untuk warga di sini. Padahal, dari sisi jumlah penduduk, kami ini punya kekuatan politik,” kata Titin.

Lebih kritis lagi Titin mengungkapkan, pada pemilihan anggota DPRD yang lalu, ada sejumlah orang datang ke Tanjung untuk merayu supaya warga Tanjung Elmo memilih mereka. ”Setelah kami memilih dan mereka menjadi anggota DPRD, para wakil rakyat itu tak memperhatikan warga Tajung Elmo,” tegas Sekretaris RW itu.

Sedangkan untuk calon bupati Jayapura, warga Tanjung Elmo hanya berharap, agar bupati terpilih supaya memberikan truk sampah dan membangun fasilitas air bersih untuk warga di Tanjung Elmo. ”Kami hanya memohon dua hal saja. Tidak lebih dari itu. Karena selama ini, seluruh pembangunan di Tanjung Elmo, warga yang menanggung sendiri,” kata Titin.

Tampaknya, permintaan Sekretaris RW itu tidak berlebihan. Soalnya, saat ini perkampungan dari para Pegiat Seks Komersial itu nampak kotor dan cenderung menjadi perkampungan kumuh. ”Kalau kami ini penduduk Kabupaten Jayapura, maka pemerintah harus memperhatikan kami juga,” kata Titin.

Ketika ditanya tentang retribusi yang ditagih kepada setiap kendaraan yang masuk, menurut Titin, bahwa retribusi itu adalah keputusan warga. ”Setiap kendaraan roda empat dipungut Rp 1.000. Sedanghkan roda dua atau motor, dipungut Rp 500.- Uang ini kami kumpul untuk membiayai pihak keamanan yang melakukan patroli di Tanjung Elmo,” kata Titin.

Sedangkan untuk pelayanan kesehatan, menurut pengakuan Titin, bahwa pelayanan kesehatan bagi warga Tanjung Elmo hanya dilakukan oleh LSM, yaitu Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). ”Setiap minggu, pelayanan kesehatan satu kali,” kata Iyem.

Kalau pelayanan dari Dinas Sosial, tak pernah ada. ”Petugas dari Dinas Sosial, datang hanya untuk mencatat jumlah pramuria saja. Tapi kegiatan lain, tidak ada sama sekali. Tahun 1980-an, Dinas Sosial pernah membangun satu rumah di jalan masuk Tanjung Elmo. Awalnya, rumah itu dibangun untuk tempat pembinaan warga. Tapi rumah itu sudah beralih fungsi menjadi rumah tinggal dari pegawai Dinas Sosial. Jadi, seingat saya, Dinas Sosial, tak pernah melakukan kegiatan pembinaan di Tanjung Elmo,” kata Titin.

Sementara itu, menurut penelusuran tabloid ini, tindak kekerasan terhadap perempuan sering kali terjadi di kawasan ini. Ada perempuan yang dipukul, ada bunuh, ada ditipu dan berbagai kekerasan lainnya. ”Ya, kami ini hanya perempuan yang selalu diperlakukan tidak adil. Kami selalu jadi korban dari laki-laki yang menjadi tamu,” kata Iyem.

Selain itu, dari kawasan ini ada juga sejumlah anak-anak sekolah, baik SD maupun SMP. Sedangkan anak-anak SMA, mereka lebih memilih tinggal di luar. ”Mereka sudah besar, dan mungkin ada rasa malu sehingga anak-anak itu memilih untuk tinggal di rumah saudara atau kost di luar,” kata Titin.

Bukan saja itu, dari lokalisasi ini, ada sejumlah anak yang sudah menjadi sarjana dan bekerja di pemerintah. ”Kalau tidak salah, ada sekitar empat orang sarjana dari Tanjung Elmo,” kata Sekretaris RW Tanjung Elmo itu.

Tampaknya, di sana, di Tanjung Elmo itu, ada sekitar 700 jiwa manusia. Mereka juga punya hak hidup atau hak asasi yang perlu mendapat perlindungan dari pemerintah dan organisasi non pemerintah.
Krist Ansaka



Read More......

98 Tahun Kota Jayapura


”Pak Walikota Hanya Janji Saja”

Walikota Jayapura, Menase Robert Kambu berjanji, akan menata lahan bekas Pasar Ampera sebagai taman rekreasi sekaligus jadi taman bermain anak-anak. Tapi janji itu hanya tinggal janji. Di ulang tahun ke 98 tahun atau menjelang satu abad kota Jayapura, anak-anak pun kembali bertanya, ”Pak Walikota, Mana Janjimu?”


JAMES, bocah berusia 11 tahun itu bersama dua rekannya, Derry dan Anis, sedang mencari kaleng bekas di lahan bekas Pasar Ampera, Jayapura pada Rabu, 12 Maret 2008 sekitar pukul 14.00 Waktu Papua. Kaleng almanium yang dipungut itu akan dijual di APO.

Ketika bertemu dengan jurnalis dari tabloid ini, ketiga anak itu sedang beristirahat di sebuah pohon kecil. Tak berapa lama, suasana keakrapan pun terjadi, bak seorang kakak bertemu dengan tiga orang adiknya.

Mereka pun bercerita tentang usaha mereka menjual kaleng bekas. Tiba-tiba, James bertanya, ”Kakak, tempat ini akan dibuat tempat bermain anak-anak to. Pak Walikota hanya janji saja !”

Pernyataan James pun langsung mengingkatkan jurnalis tabloid ini akan janji Walikota Jayapura Menase Robert Kambu pada tiga tahun lalu, tepatnya 10 November 2004.

Tampaknya, bagi para penguasa, janji tanpa hasil itu, adalah trik politik untuk tetap berkuasa. Apakah Walikota Jayapura, Drs Menase Robert Kambu, MSi termasuk penguasa yang suka obral janji tanpa hasil?

Mari kita mengujinya. Pada 10 November 2004, MR Kambu pernah berjanji, bahwa lahan yang tersedia di Kota Jayapura sangat terbatas. Tetapi saya sedang menata lahan bekas Pasar Ampera untuk dijadikan taman rekreasi sekaligus taman bermain anak-anak dari golongan masyarakat tidak mampu. Inilah janji MR Kambu yang kini sudah memangku jabatan untuk periode kedua sebagai Walikota Jayapura.

Saat ini janjinya begini. Pemerintah kota telah bekerjasama dengan CV Bintang Mas untuk mendatangkan alat-alat bermain anak dari Hongkong guna mengisi Papua Trade Center (PTC) yang ada di kawasan Entrop.

Bukan saja itu, tapi Pemerintah Kota juga merencanakan membangun beberapa taman terbuka di Kotaraja dan Argapura. Taman-taman ini akan menjadi ajang bermain anak-anak. Anak yang bermain mainan di PTC adalah anak yang orang tua berduait.

“Untuk anak-anak dari keluarga tak mampu, kami akan akan bangun sarana awal, seperti taman terbuka. Dari sini baru kita melihat animo masyarakat, kemudian pemerintah akan menyesuaikan permainan anak yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan ekonomi orang tuanya,” kata Kambu.

Janji itu sudah berusia 40 bulan (3 tahun, 4 bulan) sejak 10 November 2004. Tapi belum ada tanda-tanda sedikit pun untuk merealisasi janji kepada anak-anak dari golongan ekonomi lemah yang dikomandangkan oleh orang nomor satu di kota ini.

Hal itu pernah juga diungkapkan tabloid ini pada edisi 9, tahun 2004: ”Saya Orang Miskin, Tak Bisa Main di Saga.” tapi tampaknya, belum berubah. Soalnya, pada Rabu, 12 Maret 2008, ketika mentari mulai bersembunyi di balik pepohonan di atas perbukitan Kota Jayapura, ada sejumlah anak dengan riangnya berlari-lari di Taman Imbi yang diapit sejumlah bangunan di Pusat Kota Jayapura. Ada yang bermain bola, dan ada yang berkejar-kejaran mengelilingi Tugu Yos Sudarso yang ada tengah taman itu.

Sementara itu, di atas bangku-bangku yang terbuat dari beton itu, ada sejumlah orang tua yang duduk sambil memantau anakanya bermain. Sedangkan di pojok taman yang letaknya tak jauh dari Gedung Sarina, nampak sejumlah laki-laki sedang menenggak minuman beralkohol. Tak ketinggalan para pedagang jagunng bakar, minuman ringan dan makanan kecil terus berusaha menawarkan dagangannya kepada pengunujng taman itu.

Kalau dibandingkan jumlah anak-anak (usia 1 – 16 tahun) dengan orang dewasa yang memanfaatkan taman itu, tampak lebih banyak orang dewasa. Sedangkan jumlah anak-anak dapat memanfaatkan taman itu untuk bermain sangat sedikit.

“Saya main di sini karena ikut mama jualan pinang. Tapi biasanya pada malam minggu atau hari libur, saya bermain di sini,” kata Petrus, anak berusia 8 tahun yang ditemui Suara Perempuan Papua di sela-sela keasyikannya bermain bola dengan teman-teman sebayanya di Taman Imbi, saat itu.

Ketiaka ditanya, apakah Petrus perna bermain di Taman bermain di PTC Entrop atau Dea Deo di Saga Mall di Abepura, ia mengatakan, “Saya tidak punya uang untuk bermain di Saga. Mama saya hanya jual pinang dan sayur. Mama bilang, saya ini orang miskin, tidak bisa main di Saga. Jadi jangan tuntut yang tinggi-tinggi seperti orang kaya,” ujarnya.

Lain lagi dengan Alfian (10 thn) dan Raqwel (9). Mereka dua mengaku, biasa bermain di Taman bermain Dea Deo Saga Mall. Setiap kali bermain, harus membayar Rp 5.000. “Kalau di Taman Imbi, kita mau main apa?” Tanya Raqwel

Tampaknya, Taman Imbi bisa dimanfaatkan semua anak dari berbagai strata masyarakat, seperti Petrus dan lain-lain. Sedangkan Taman Bermain di PTC dan di Dea Deo di Saga Mall, hanya untuk anak-anak yang orang tuanya berduit, seperti Alfian dan Raqwel.

Kalau sinyalemen itu benar, tampaknya pemerintah Kota Jayapura atau Provinsi Papua perlu menyediakan taman bermain untuk anak-anak. Hal ini ditegaskan, Ema Kafiar, seorang Ibu rumah tangga yang ditemui Suara Perempuan Papua di dalam taksi jurusan Dok IX – Jayapura.

“Sebenarnya Taman Imbi sudah tepat sebagai tempat bermain. Hanya saja, perlu ada perhatian dari pihak pemerintah Kota Jayapura untuk menata lebih baik dan layak, sehingga taman itu diperuntukkan khusus untuk anak-anak. Dan di taman itu, anak-anak bisa mengembangkan dirinya dan bebas bermain. Apalagi, Taman Imbi letaknya di tengah jantung kota dan mudah dijangkau,” kata Ema Kafiar.

Selain itu, Ester, penjual pinang dan sayur-sayuran di Perumnas III, Waena mengatakan, ia belum tahu persis tempat bermain yang baik untuk anak. “Kami ini masyarakat biasa yang tidak tahu soal tempat bermain yang baik sesuai keinginan anak. Hanya saja, kalau mereka melihat temannya bermain, anak saya biasa minta uang untuk ikut main, entah bermainan apa? Kata Ester.

Ester meyarankan, perlu ada Taman Bermain Anak yang kalau digunakan, tak perlu membayar. “Untuk itu, pemerintah perlu membangun taman bermain untuk anak-anak,” kata Ester.

Lain lagi dengan Mama Helena yang sehari-hari biasa berjualan pinang. Menurutnya, sebagai orang kecil, uang hasil jualannya hanya untuk anak bersekolah dan keperluan sehari-hari. “Anak saya tidak boleh bermain yang kasih keluar uang. Anak saya harus sekolah. Saya ini seorang janda, jadi saya harus berusaha agar anak saya dapat bersekolah dengan baik,” kata Mama Helena yang sehari-hari berjualan di Expo, Waena.

Dari kenyataan ini dan dikaitkan dengan janji Walikota Jayapura, tampaknya pembangunan tempat bermain anak-anak yang sudah ada, seperti di Saga dan di PTC, hanya untuk anak-anak yang orang tuanya mampu.

Tapi bagaimana dengan James, Petrus, dan anak-anak lain dari golongan ekonomi lemah? Mereka juga butuh taman bermain. Tapi Walikota hanya janji dan pihak DPRD Kota tak pernah memikirkan hal itu. Padahal, pemerintah diwajibkan oleh sejumlah undang-undang untuk memperhatikan hak-hak anak, termasuk kewajiban menyediakan taman bermain bagi anak-anak di Indonesia pada umumnya, dan di Jayapura atau Papua, pada khususnya.

Undang-undang yang mewajibkan pemerintah untuk memperhatikan hak-hak anak dalam bidang hukum perdata diatur secara haris besar, yaitu: UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, UU No. 1 tahun 2000 tentang pelanggaran dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 tahun 1988 tentang usaha kesejahteraan anak bagi anak-anak yang mempunyai masalah, PP No. 73 tahun 1991 tentang pendidikan luar sekolah, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang orang.

Bukan hanya pemerintah Kota Jayapura, tapi juga Pemerintah di Provinsi Papua belum berpihak kepada anak. Hal ini nampak dari belum dilaksanakannya hak-hak secara optimal. Bahkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), belum ada dana khusus untuk anak-anak.

Untuk itu, perlindungan terhadap anak perlu dioptimalkan. Untuk itu, perlu dibentuk suatu lembaga yang independent untuk kepentingan anak, seperti Lembaga Perlindungan Anak (LPA). Lembaga ini diperlukan untuk mengimplementasikan konvensi hak-hak anak, sehingga anak-anak jalanan, anak-anak terlantar, anak-anak cacat, anak-anak korban diskriminasi, anak-anak tereksploitasi, dan pekerja atau buruh anak, mereka merasa terlindungi.
Krist Ansaka

Read More......

Ketika Saya Tak Mau Jadi Anggota MRP

PAPUA, Negeri Kasuari yang penuh misteri. Gara-gara misterinya itu, tiba-tiba saya merasa telah diusung oleh komunitas adatku untuk menjadi salah satu anggota Mejelis Rakyat Papua (MRP) dari perwakilan adat.

Saat itu, saya merasa tersanjung dan terheran-heran. Soalnya, dukungan yang diberikan itu, tanpa saya minta-minta atau menyogok -- seperti yang saat ini sedang dan akan terjadi terus.

Sebagai salah satu anak asli Papua, saya punya hak dan pantas untuk menjadi anggota MRP, sehingga dukungan yang diberikan itu wajar. Sebab MRP itu lembaga resmi dalam struktur dan sistem pemerintahan di Provinsi Papua seperti yang diamanatkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua.

Untuk pelaksanaan UU otonomi khusus, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2004 tentang MRP. Dari PP itu kemudian dijabarkan lagi dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2005 tentang tata cara pemilihan anggota MRP.

Saya berasal dari rumpun dan ras Melanesia, dan saya termasuk salah satu suku asli di Papua. Sehingga saya mempunyai hak sesuai dengan pasal 19 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus dan pasal 4 point a PP No. 54 Tahun 2004 tentang MRP. Kedua ketentuan ini menyebutkan, bahwa syarat menjadi anggota MRP adalah orang asli Papua.

Saya bukan orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat di Papua. Jadi, keaslian saya sebagai orang asli Papua itu bukan “dipolitisir,” seperti yang tertuang dalam pasal 2 ayat b yaitu: orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat di Papua.

Jadi, wajar saja kalau saya bangga mendapat dukungan dari komunitasku untuk duduk di salah satu lembaga bergengsi di Negeri Kasuari. Apalagi menjadi anggota MRP akan mendapat gaji besar dan menjadi publik figur, sehingga menjadi salah satu orang terpandang. Mungkin akan mendapat jatah mobil dan berbagai fasilitas lainnya. Belum lagi, mendapat bonus-bonus tak terduga yang bernuansa politik dari berbagai pihak dalam rangka suatu peristiwa politik atau yang dipolitisirkan. Bo… sa hebat sampe. Tarada yang blok. (Maaf, saya memuji diri sendiri)

Soal persyaratan lainnya, mungkin sudah saya penuhi, seperti yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua, PP No. 54 Tahun 2004 tentang MRP dan Perda No. 4 Tahun 2005 tentang tata cara pemilihan anggota MRP.

Kalau sudah memenuhi syarat dan diusung oleh komunitasku, lalu mengapa saya tak mau jadi anggota MRP? Apakah saya beridiologi anti-kemapanan, sehingga menolak jadi anggota MRP? Atau mungkin saya anak asli Papua, tapi sudah kehilangan identias? Jawabannya, Tidak. Saya tidak beridiologi anti-kemapanan. Saya pun tidak kehilangan identitas

Saya tak cocok menjadi anggota MRP karena antara definisi dan tugas lembaga ini, rasanya tak sejalan. Dalam Pasal 1 ayat 6 PP No. 54 Tahun 2004 tentang MRP disebutkan, bahwa MRP adalah lembaga representatif kultural orang asli Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budayanya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

Tapi ketika saya membaca dan memahami tugas-tugas MRP seperti yang tertuang dalam Pasal 20 UU No. 21 Tahun 2001, maka saya menilai bahwa lembaga representatif kultural ini hanya lipstik politik karena dari tugasnya, MRP itu juga lembaga politik. Apalagi pelaksanaan tugasnya itu akan diatur dengan peraturan daerah khusus (Perdasus) seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat 2.

Benar atau tidak, tapi yang pasti itu, hampir setiap peraturan yang dibuat tidak menghasilkan rasa keadilan bagi rakyat kecil atau masyarakat adat asli Papua dan peraturan itu cenderung untuk mengamankan sistem politik dari penguasa, baik di Jakarta maupun di Provinsi Papua.

Untuk menilai MRP sebagai lembaga politik, mari kita sama-sama mencermati tugas-tugas MRP seperti yang tercantum dalam Pasal 20 UU No. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua.

Ada enam tugas. Pertama: Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRP (ini tugas politik).

Kedua, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota MPR RI utusan daerah yang diusulkan oleh DPRP (ini tugas politik).

Ketiga, Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan gubernur (ini tugas politik).

Keempat, memberikan saran, pertimbangan, dan persetujuan terhadap rancangan perjanjian kerjasama yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khususnya yang menyangkut hak-hak asli orang Papua (ini tugas politik yang punya kandungan ekonomis. Hak-hak orang asli Papua hanya sebagai lipstik).

Kelima, memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.

Keenam, memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan hak-hak orang asli Papua.

Tugas kedua seharusnya sudah dihapus atau direvisi sebab MPR RI dong su hapus. Yang ada sekarang ini Dewan Pertimbangan Daerah. Tapi, yang menjadi anggota DPD pun dipilih langsung oleh rakyat dan DPRP tidak punya wewenang untuk mengusulkan anggota dari Papua. Itu berarti, tugas ini harus dihapus.

Mencermati keenam tugas ini, tampaknya MRP itu lembaga politik. Sedangkan tugas yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, rasanya hanya sebagai lipstik politik. Katakan saja, demi pembangunan, hak-hak orang asli Papua akan dikalahkan.

Kalau begitu, MRP bakal menjadi macan ompong yang selalu mengaung-ngaung atas nama hak-hak orang asli Papua.

Nah, kalau sinyalemen itu benar, maka MRP tidak bakal menjadi lembaga representatif kultural. Mungkin persoalan inilah yang membuat saya mengurunkan niat untuk menjadi anggota MRP. Saya tak mau lagi membodohi saudara-saudaraku sendiri.

Selain itu, dasar lain yang membuat saya menolak jadi anggota MRP adalah karena saya mau bergabung dengan kelompok orang asli Papua yang tetap berada di luar sistem dan selalu bersikap kritis serta terus melakukan kontrol kepada MRP, DPRP dan Gubernur, dan lembaga-lembaga resmi lainnya. Kalau saya jadi anggota MRP, ada kekuatiran, saya sudah tak bisa bersikap kritis karena berada dalam sistem dan saya sudah “dibeli.”

Untuk itu, kepada komponen yang telah memberikan dukungan, saya menyatakan mohon maaf, kalau saat ini saya belum bersedia menjadi anggota MRP. Tapi kalau ada yang mau menjadi anggota MRP, saya mempersilahkan. Tapi harus ingat, jangan menjadikan rakyat sebagai objek politik dan jangan selalu mengatas-namakan hak-hak orang asli Papua.

Penulis adalah Jurnalis Tabloid Suara Perempuan Papua


Read More......

Tuesday, December 9, 2008

Anak Balita itu Berperut Buncit



Melalui Rencana Stratageis Pembangunan Kampung bidang kesehatan, Gubernur Papua berharap, agar di kampung bisa tercipta gizi makanan yang lebih baik, kesehatan, pendidikan dan perumahan yang lebih baik, serta lingkungan yang bersih dan sehat. Buktinya ? Ikutilah potret pemberdayaan kampung bidang kesehatan berikut ini.


DI BAWAH sorotan terik mentari, pada awal Maret 2008, sebagian anak-anak di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya, bersandar di samping kandang babi. Perut mereka buncit. Bocah-bocah itu ikut orang tua mereka untuk mendengarkan pengarahan dari petugas kesehatan.

Sebagian dari anak-anak itu, berlindung di bawah pohon pisang atau pohon lainnya. Ada yang mengenakan koteka, tapi ada juga yang bercelana pendek tanpa baju atau mengenakan baju dengan celana pendek yang warna aslinya sudah pudar tertutup keringat dan kotoran bergumpal-gumpal akibat tanah yang melekat berhari-hari. Ingus pun terus meleleh dari hidung mereka.

Kebanyakan dari anak-anak itu, tidak mengenakan alas kaki. Mereka hampir tidak pernah mengenal sabun dan mandi secara rutin tiap hari. Keterbatasan pengetahuan mengenai sanitasi dan kebersihan membuat mereka tidak berupaya memperbarui pola hidup, perbaikan rumah tinggal, apalagi perbaikan di bidang sanitasi lingkungan.

Kenyataan itu bukan hanya terjadi di pedalaman saja, tapi juga di kawasan pesisir dan juga wilayah yang tak jauh dari pusat ibukota provinsi, seperti anak-anak di kampung-kampung di Kabupaten Jayapura, Keerom, bahkan di Kota Jayapura seperti di Kampung Mosso, Distrik Muara Tami.

Menurut penelusuran tabloid ini dari berbagai sumber, tampaknya sejak 1970 hingga kini, pelayanan kesehatan di Papua merosot. Disiplin pegawai menurun. Tidak ada kasih dalam pelayanan. Para dokter lebih mementingkan prakek di luar jam kerja.

Hal itu terbukti karena belum ada tanda-tanda penurunan Angkat Kematian Ibu (AKI) di Papua. Menurut hasil survey tahun 2001 yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia bersama Dinas Kesehatan Provinsi Papua, diperkirakan terjadi 7000-an kematian persalinan setiap tahunnya di Papua. Sedangkan untuk 2002 – 2007, belum ada datanya. Tapi ada kecenderungan, jumlah AKI terus meroket.

“Ini salah satu indikator, bahwa pelayanan kesehatan di Papua sangat merosot bila dibandingkan dengan pelayanan kesehatan periode tahun 1961 – 1969. Kemerosotan ini terjadi karena tidak ada kasih dari para dokter dan perawat dalam menjalankan tugas pelayanan. Apalagi, para dokter lebih mementingkan prakteknya dari pada pelayanan kesehatan bagi orang-orang di kampung-kampung,” ungkap petugas PMI Mimika yang juga mantan Kepala Seksi Penyuluhan Lansung Dinas Kesehatan Provinsi Irian Jaya tahun 1999, John Pattiata, belum lama ini.

Sementara itu, data dari Dinas Kesehatan (Januari 2006) menyebutkan, kesehatan anak balita di Papua tak hanya ditentukan dinas kesehatan, tapi juga tergantung dari berbagai aspek pembangunan di Papua. Misalnya ekonomi keluarga, transportasi, pertanian, sanitasi, informasi dan komunikasi, serta pendidikan.

Sebagai pembanding, status kurang gizi di Papua tahun 2005 sebanyak 14,3 persen, sementara gizi buruk 13,7 persen sehingga total gizi kurang dan gizi buruk 18,0 persen. Namun tidak banyak balita meninggal karena kurang gizi. Kalaupun ada, hal itu akibat komplikasi dengan penyakit lain, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), TB Paru, cacing dan malaria.

Sampel yang diambil untuk mengetahui keadaan gizi anak balita di Papua melibatkan 9.000 orang dari bebera kabupaten di pesisir pantai, seperti Jayapura, Sorong, Biak dan Timika. Kondisi gizi yang paling memprihatinkan adalah daerah pedalaman seperti Puncak Jaya, Paniai, Yahukimo, Tolikara, Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Jayawijaya.

Tampaknya, anak balita yang perut buncit, kaki dan tangan kecil bukan karena gizi buruk tapi akibat cacingan. Usus mereka besar karena mengkonsumsi umbi-umbian. Gas yang ada dalam perut menyebabkan susus mereka membesar sehingga perut pun kelihatan membesar. Kondisi ini tidak bisa diatasi selama umbi-umbian tidak dikelola untuk menjadi makanan pokok.

Meski begitu, angka kamatian anak balita pun sangat tinggi. Data di Dinas Kesehatan tahun 2003 menunjukan, kematian anak balita di enam kabupaten setiap tahun lebih dari 9.000 orang atau sekitar 156 per 1.000 kelahiran hidup.

Kematian bayi sekitar 6.078 per tahun atau sekitar 112 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu 578 per tahun atau sekitar 1.161 per 100.000 kelahiran hidup.

Menanggapi kondisi anak-anak di pedalaman, anggota Komisi E DPRP Papua, John Manansang mengatakan, bahwa pemerintah daerah, termasuk dinas kesehatan, memahami kondisi kondisi gizi di Papua dari sisi asal perut kenyang. Umbi-umbian seperti singkong tidak termasuk katagori gizi bagi kesehatan.

“Berepa pun kilogram umbi-umbian yang dikonsumsi anak balita, tidak berpengaruh bagi kesehatan secara keseluruhan, kecuali menghasilkan megagaster yang pada akhirnya membuat perut kembung dan melebar. Selama unsur-unsur gizi tidak memenuhi standar kesehatan, kebutuhan perut mendesak, sehingga orang tetap merasa lapar dan terus makan,” kata Manansang belum lama ini di ruang kerja Komisi R DPRP Papua.

Dokter yang sudah malang melintang di sejumlah kawasan pedalaman Papua menuturkan, hampir semua anak balita di Papua mengalami kekurangan protein, karbohidrat dan gizi.

Manangsang tidak setuju dengan data Dinas Kesehatan Papua yang menyebutkan, kurang gizi dan gizi buruk hanya 18 persen. Sebab hampir seluruh anak balita di Papua, terutama di daerah terpencil, seperti Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Puncak jaya, Tolikara dan Pania masuk dalam katagori gizi buruk dan kurang gizi.

Data dan informasi kesehatan di Papua lebih bernilai politis dibandingkan dengan menyampaikan kasus sesungguhnya di masyarakat. Banyak kasus tapi terkesan sengaja disembunyikan.

Manangsang menunjukan kasus kelaparan di Kabupaten Yahukimo yang membuat sejumlah warga di sana meninggal meski warga yang meninggal itu akibat komplikasi kelaparan dengan TB paru atau penyakit lainnya.

Dijelaskan, kahadiran cacing, TB paru ISPA dan malaria dalam tubuh balita, justru menunjukan kekuarangan gizi dalam tubuh anak balita itu. Gizi buruk membuat sistem imunologi dalam tubuh hancur (lemah) sehingga mereka mudah terserang berbagai penyakit.

Jadi perbaikan gizi makanan merupakan jalan keluar untuk mengatasi kondisi gizi buruk di Papua. Ini bukan tanggungjawab dinas kesehatan saja, pertanian dan tanaman pangan, dinas pekerjaan umum, perkebunan, permukiman dan kependudukan, serta dinas pendidikan.

“Perlu pemetaan wilayah gizi dari terparah, sedang, dan normal lalu diambil jalan keluar penanganan,” kata John Manansang.

Berasarkan kondisi ini, apakah dana yang melimpah di dinas kesehatan, pertanian dan tanaman pangan, dinas pekerjaan umum, perkebunan, permukiman dan kependudukan, serta dinas pendidikan dapat mampu mendongkrak kondisi gizi anak balita di Papua?

Seperti pernah ditulis dalam tabloid ini edisi 20 tahun 2004, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Dr. Tigor Silaban mengatakan, angka kematian ibu (AKI) untuk Papua pada tahun 2001 adalah 1161 per 100.000 kelahiran hidup.

“Yang terbesar adalah Kabupaten Yapen Waropen dengan AKI 1313 per 100.000 kelahiran hidup, dan terendah adalah Kabupaten Nabire dengan AKI 750 per 100.000 kelahiran hidup, angka angka diatas masih tergolong tinggi dibanding AKI Nasional, ” ungkapnya.

Semua data itu dari hasil survey tahun 2001. Lalu bagaimana dengan tingkat kematian ibu pada tahun 2002 – 2004? Menurut Tigor, untuk tahun 2002 sampai dengan 2004, Dinas Kesehatan belum mendapat angka yang pasti, karena belum dilakukan survey dalam tiga tahun terakhir ini. “Untuk melakukan survey, kita butuh biaya yang sangat mahal dan juga perlu informasi,” ujarnya.
.
“Ketika kita menanyakan jumlah AKI kepada bidan desa di kampung-kampung, mereka mengatakan bahwa tidak ada ibu yang mati, oleh sebab itu kemungkinan AKI akan mengalami perubahan dalam tiga tahun belakang ini.untuk tahun tahun kedepan kami akan lihat untuk melakukan survey lagi, ” kata Tigor.

Untuk itu, kata Tigor, saat ini pihaknya sudah meminta kepada dinas kesehatan di kota maupun Kabupaten untuk menghitung jumlah angka kematian ibu sehingga bisa mendapatkan AKI tingkat provinsi.

“Cuma sekarang tergantung dari dinas kesehatan di kabupaten dan kota saja. Apakah mereka punya uang untuk melakukan survey itu, karena AKI sangat terkait dengan data. Kalau data dari kabupaten (Puskesmas) saja tidak ada, maka sangat susah untuk melihat jumlah angka AKI secara keseluruhan, “ ujarnya.

Selain itu, rendahnya akses ibu terhadap pelayanan kesehatan juga satu faktor utama. Pertolongan terhadap ibu hamil dapat dilihat dari dua aspek yaitu; ibu yang belum memanfaatkan fasilitas kesehatan, dan fasilitas kesehatan yang kurang proaktif menjangkau ibu dan masyarakat lainnya.

Diakui Tigor, akses ibu terhadap fasilitas kesehatan sangat kurang sehingga mempengaruhi terjadinya kematian Ibu. “Ibu hamil seharusnya punya akses kepada puskesmas, tetapi sekarang banyak puskesmas sudah tidak aktif lagi. Polindes (poliklinik desa) tidak jalan, bidan tidak ditempat. Sehingga si ibu sulit untuk mendapat akses terhadap fasilitas kesehatan. Dan ini permasalahan yang terjadi di kabupaten dan kota di Papua. Karena polindes, pustu, puskesmas semuanya milik kabupaten dan kota, bukan provinsi. Kita hanya menghimbau agar dinas kesehatan kabupaten dan kota, segera fungsikan puskesmas, supaya ibu hamil bisa mendapat akses di fasilitas kesehatan tersebut dan itu merupakan masalah utama, ”ujarnya.

Hal lain kata Tigor, yang menghalangi akses ibu terhadap pelayanan kesehatan adalah persoalan geografis dan transportasi. Fakta menunjukan bahwa sebagian besar ibu masih berdomisili di daerah terpencil dan membutuhkan waktu bahkan sampai berhari hari untuk bisa mencapai fasilitas kesehatan. “Padahal untuk suatu penyelamatan ibu, rentang waktunya adalah 2 jam, disamping itu, alat transportasi umum belum tersedia setiap kampung atau kampung, ” ungkap Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua itu.
Krist Ansaka



Read More......

Kemana Larinya Rp 23 Miliar?


Pembahasan 23 Raperdasi dan Raperdasus membutuhkan proses yang panjang. Biaya pun besar. Kabarnya, Rp 1 miliar pun tak cukup untuk satu peraturan. Benarkah?


CINCIN emas itu meningkar di jari manisnya. Pemakai cincin itu adalah salah satu anggota Panitia Legislasi DPR Papua. Ketika ditanya harga barang itu, dia mengelak. “Ah, cincin ini tak ada kaitannya dengan pembahasan Raperdasi dan Raperdasus,” katanya singkat.


Anggota dewan yang enggan disebut namanya itu mengaku, punya banyak teman di eksekutif. Apakah cicin emas itu hadiah hadiah dari teman-teman di eksekutif? Dia menjawab, “Ah, mau tahu saja.”

Maklum, anggota dewan seperti pemakai cincin emas itu – sering mendapat honor tambahan atau uang tip (angpau) dari setiap pembahasan materi yang diajukan ekskutif atau dari pihak swasta yang ingin menggolkan usulan proyeknya di ajukan ke pemerintah.

Ketika ditemui beberapa waktu silam itu, Pak Dewan ini selalu blak-blakan kalau bicara, termasuk kebiasaan teman-temannya berburu dan menerima angpau dari pemegang proyek di pemerintah maupun mitra kerjanya. “Pamali kalau ditolak,” kata Pak Dewan kala itu. Kini sulit sekali untuk mengorek soal penggunaan dana Rp 23 miliar untuk pembahasan Raperdasi dan Raperdasus. Bahkan berbagai pendekatan sudah dilakukan, tapi Pace yang satu ini sulit buka mulut, termasuk anggota Panitia Legislasi lainnya, maupun sekretaris dewan

Sikap menutup diri macam itu menyebar di kalangan anggota dewan. Hampir semua anggota dewan yang ditemui mingguan ini tak mau mengeluarkan satu patah kata pun ketika ditanya. Tapi anehnya, para anggota dewan sendiri baku tuduh ketika Gubernur Papua mengungkapkan, bahwa pemerintah provinsi telah mengucurkan dana yang cukup besar untuk pembahasan Raperdasi dan Raperdasus.

Lalu, Ketua DPRP, John Ibo pada 27 Oktober lalu tampil memberikan keterangan pers, bahwa tidak benar isu soal penyalahgunaan dana miliaran rupiah itu dan semuanya sudah diklarifikasi dalam pertemuan dengan panitia anggaran eksekutif, panitia legislasi dan panitia anggaran dewan.

Sampai di sinikah persoalan selesai? Mingguan terus melakuan penelusuran. Tapi hasilnya belum maksimal. Semua data yang diterima hanya datar-datar saja dan sangat diplomatis.

Katakan saja keterangan dari Ketua harian Panita Legislasi David Demas Patty dan Sekretaris Panitia Legislasi, Adul Hakim Aitarauw.

“Panitia legislasi tidak pegang uang. Kami hanya tahu kerja. Segala yang berkaitan dengan uang, silahkan tanya kepada Sekwan (sekertaris dewan,Red.) karena semua diatur dari sana,” kata David Demas Patty.

Lain lagi dengan Adul Hakim Aitarauw yang menjelaskan soal proses pembahasan Raperdasi dan Raperdasus secara umum. Ia mengakui, dana pembahasan Raperdasi dan Raperdasus sebesar Rp 23 miliar, sempat menjadi sorotan.

“Tapi masyarakat harus paham, apakah dalam proses pembahasan satu peraturan daerah khusus bisa dibiayai dengan Rp 1 miliar?” Tanya Hakim, nama yang akrap disapa dari Adul Hakim Aitarauw.

Hakim menjelaskan, proses pembahasan satu Raperdasi atau Raperdasus dimulai dari pembahasan di dewan sendiri, kemudian peraturan-peraturan itu dikonsultasikan ke staf ahli lalu dilakukan konsultasi publik ke seluruh kabupaten dan kota di Tanah Papua.

Masukan dari konsultasi publik itu dibahas lagi di dewan. Lalu, untuk melengkapi data dalam pembahasan, dilakukan studi banding ke Aceh, Bali, DKI Jakarta, Daerah Khusus Yogyakarta, Jawa Barat, dan Toraja di Sulawesi Selatan. “Deangan proses panjang seperti ini, apakah untuk satu Raperdasi atau Raperdsus cukup Rp 1 miliar?” Tanya Hakim.

Dijelaskan juga, dana yang diberikan eksekutif untuk membiayai 34 orang anggota Panitia Legislasi dengan proses yang panjang ini, pastilah kurang. “Tapi teman-teman anggota dewan cukup tahan banting. Kalau biaya perjalanan kurang untuk pergi ke daerah-daerah terpencil, mereka terpaksa menggunakan uang makan untuk sewa pesawat atau speedbod,” ungkap Hakim.

Dikatakan, untuk bahas hak kekayaan intelektual orang asli Papua, tanah adat, hukum adat, dan lain-lain, kita harus ke pelosok-pelosok, seperti Asmat supaya kita dapat mendengar dan melihat kondisi yang sebenarnya

Tentang studi banding dijelaskan, sebelum Aceh punya Otsus, mereka studi banding ke Papua yang sudah lebih dulu punya UU Otsus. Tapi begitu Aceh punya UU Otsus, langsung ada DPR Aceh dan mereka punya peraturan daerah khusus atau kanon. Untuk itu, kini Papua harus studi banding ke Aceh.

“Selain itu, panitia legislasi harus mengetahui sistem pemerintahan di Aceh, Jawa Barat, DKI Jakarta, Yogyakarta dan Bali. Sedangkan untuk masalah ekonomi kerakyatan, dilakukan studi banding ke Sulawesi Selatan sampai ke Toraja karena di sana masalah pengembangan ekonomi kerakyatan cukup bagus,” kata Hakim.

Selain itu Adul Hakim Aitarauw menjelaskan, Panitia Legislasi terdiri dari tiga kelompok kerja (pokja) yang ditetapkan melalui surat keputusan pimpinan DPRP Nomor 06/PIM-DPRP/2007 tentang penetapan ketua harian, sekertaris dan tim pokja. Ketua Harian Panitia legislasi DPR Papua yaitu Demas David Patty. Sekertarisnya Abdul Hakim Achmad Aitarauw.

Sedangkan untuk setiap pokja ada seorang pendamping. Pokja satu, pendampingnya Komaruddin Watubun. Ketua Pokja satu, Yulianus Rumbayrusi, sekertaris Idrus Khalwani. Anggotanya: Ir Waynand B Watory, Yance Kayame, Heny Arobaya, Bob Yacobus Pattipawae, Haryanto, Yoshepina Pigay, Zakarias Yappo dan Yohanes Kunewara. Asistennya; Ellyas Ansanay sebagai asisten produk hukum/ perda, Drs Ruben, Cornelius Suli, Ampi Ereguai sebagai staf administrasi/risala, Irianto Rachman, Davith L Waroy, Fandalen Waimbo, dan Mince Kruake.

Pokja dua, pendampingnya EV Yop Kogoya. Ketua Pokja, A Hakim Achmad Aitarauw dan sekertarisnya Longginus Sanggur. Anggota: Jan L Ayomi, Benny Renyaan, Yusak Atanay, H Djoko Aryanto, H Baharudin Usman dan Alberth Yogi. Assisten; Hiskia R, Erikson Siallagan, Natalen Dirk, Muksin, Daniel M Sinangke, Maklon Marahabia, Paulina C Kailahu, Rony Andius, Ismail dan Jefry Robaha.

Pokja tiga, pendampingnya Paskalis Kossay. Ketua Pokja, Demas David Patty dan sekertarisnya Frans Koromat. Anggota: Paulus Sumino, Miriam Ambolon, Obet Albert Sroyer, John Manangsang, H Ismail Rahakbauw, Jubelina Watopa, Marthen R Marey, Eliezer Mundoni dan Yanuarti Widyah. Asisten John Martuty, Duta Mutajab, Elly Waroy, Suparji SIP, Frengky M, wiwiek Helen Roria, Roertus Ramngenur dan Freddy Ansanay.

Ketika ditanya soal lambannya Panitia Legislasi bekerja padahal uang yang diberikan cukup banyak? Hakim menjelaskan, bahwa proses pembahasan Reperdasi dan Raperdasus, tidak semudah membalik telapak tangan.

“Memang rakyat sudah menunggu cukup lama tapi sekarang baru kita bekerja. Semua itu terjadi karena MRP baru disahkan tahun 2005, sehingga tahun 2006 MRP baru bisa memberikan persejutuan kepada DPR. Lalu tahun 2007 pemerintah mulai mempersiapkan peraturan-perturan, tapi saat itu, gubernur baru dilantik. Lalu gubernur tarik lagi semua Raperdasi dan Raperdasus ke eksekutif untuk dikonsep ulang. Dan pada 15 September 2008, barulah gubernur menyerahkan kembali untuk dibahas di DPRP,” kata Hakim

Dijelaskan juga, setelah Raperdasi dan Raperdasus masuk ke dewan, lalu Panitia Legislasi menentukan nomor urut pembahasan. Berdasarkan nomor urut itulah, dewan membahas. Hasilnya, telah disahkan dua Perdasus dan lima Perdasi.

Walau proses panjang yang dijelaskan itu, tapi berbagai komponen masyarakat Papua masih mempertanyakan kinerja dewan dan juga kemana larinya Rp 23 miliar yang diberikan pemerintah provinsi untuk pembahasan Raperdasi dan Raperdasus itu.***
Krist Ansaka



Read More......

Mereka Masih Takut Militer Indonesia

Sebagian pengungsi yang berada di Vanimo, belum mendengar rencana dari 600 orang yang akan pulang ke Papua.Ada yang masih takut militer Indonesia.

TERIK mentari terasa cukup menyengat kulit. Sementara itu, ada tiga orang perempuan dan dua lelaki asal PNG terus membersihkan rumput di halaman rumah yang akan mereka tempati di Kampung Mosso, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura.

Mereka adalah satu dari dua keluarga yang sudah memilih untuk kembali ke kampung asalnya di Mosso, sejak akhir Januari 2008 dari Vanimo. Kini mereka menempati dua rumah yang dibangun pemerintah Indonesia. “Sejak 1969 kami lari ke Nyao Kofo di Vanimo, PNG karena kampung kami dibakar militer Indonesia. Setelah kami dengar dan melihat, bahwa kampung kami sudah aman, lalu kami mau kembali ke Mosso,” ungkap seorang perempuan setengah baya yang enggan menyebutkan namanya dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah.

Menurut pengakuan mereka, bahwa selama berada di PNG, pemerintah di sana tidak memberikan kesempatan kepada anak-anak mereka untuk bersekolah. Walau begitu, pelayanan kesehatan sangat baik. “Kami dengar dan lihat, di Mosso, semua anak bisa bersekolah tapi sayangnya tidak ada guru. Rumah sakit (puskesmas, Red.) ada, tapi petugasnya tidak ada. Di Vanimo, kami dengar, orang di kampung Mosso hidupnya lebih baik. Jadi kami ingin pulang ke Mosso,” ungkap perempuan setengah baya itu.

Lain lagi dengan Alex yang mengaku warga Kampung Nyao Nemo, Vanimo, PNG. Ketika ditemui tabloid ini di tapal batas RI – PNG, pada Jumat, 29 Februari 2008. Menurutnya, sebagian besar warga di sana masih takut dengan militer Indonesia. “Kami belum berani kembali ke Papua karena militer Indonesia jahat,” kata Alex.

Alex hanyalah salah satu dari sekian banyak pengungsi yang belum mau kembali ke Papua. Tapi ketika ditanya tentang kabar, bahwa ada sekitar 600 orang pengungsi yang akan pulang ke Papua, menurut Alex, ia tidak tahu dengan informasi itu. “Kami di Vanimo, tidak tahu, kalau ada pengungsi yang mau kembali,” ungkap Alex yang mengaku berasal dari Kampung Mosso yang mengungsi bersama keluarganya tahun 1969.

Menurut pengakuannya, ketika militer Indonesia masuk ke Kampung Mosso sekitar tahun 1969 – 1970-an, rumah-rumah warga di baker. Kebun-kebun dihancurkan. Penduduk di kampung itu dikira OPM sehingga di kejar dan ditempak.

“Kami jadi takut dan lari ke PNG dan menetap di sana sampai saat ini. Kalau kondisi sudah baik, dan militer Indonesia tidak jahat lagi, kami mau pulang untuk membangun kampung bersama saudara-saudara yang lain,” kata Alex.

Setelah 39 tahun meninggalkan Mosso, para pengungsi itu satu per satu mulai kembali ke kampungnya.
Suku yang mendiami Kampung Mosso adalah suku Nyao yang bermarga Wepafoa, Syau, Nuta, Hinoke, Sumu, dan Yehuwe. Keenam marga ini terpisah menjadi dua. Ada yang tinggal di PNG dan ada pula yang tinggal di Indonesia.

Pada umumnya mata pencaharian dari masyarakat di Mosso adalah berkebun, berburu, dan mencari ikan di telaga. Kebanyakan dari hasil yang diperoleh tak dijual, melainkan dikonsumsi sendiri mengingat sulitnya transportasi yang menghubungkan kampung ini dengan pasar di perbatasaan RI-PNG (wutung), maupun di Koya dan Abepura.

Kampung Mosso dulu dikenal kerana potensi alam yang diperjual belikan di sini seperti, kulit buaya, kulit kayu masohi, dan tali rotan. Namun saat ini jenis-jenis hasil tadi tidak lagi dijual oleh masyarakat, karena kebanyakan dari pemilik hutan tersebut masih berada di PNG.

Kampung Mosso memiliki kisah tersendiri. Pada tahun 1969 penduduk di sini secara serentak mengungsi ke PNG dikarenakan oleh situasi politik.

Pada tahun 1999 mereka kembali, namun itu pun dikarenakan hutan mereka mau di garap oleh PT Bamuli Agro Sejahterah yang bergerak dibidang perkayuan. Walau demikian, jumlah keluarga yang kembali saat itu hanya berjumlah 4 kepala keluarga.

“Keempat keluarga ini datang untuk memenuhi permintaan PT Bamuli Agro Sejahterah sekaligus memastikan apakah keadaan aman atau tidak untuk kembali. Kalau memang aman maka yang lain juga akan turut serta pindah kemari,” kata Agus Wepafoa, salah satu kepala suku di Mosso.

Setelah tahu keadaan di Kampung Mosso aman-aman saja dan tidak seperti dulu lagi, lalu satu persatu kepala keluarga mulai pindah dari PNG ke Mosso.

Bukan hanya itu, ada warga masyarakat yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai warga negara Indonesia. Hanya saja masih ada perasaan was-was dalam diri mereka karena ada Pos militer yang terletak di Kampung Mosso.

Kampung yang dihuni mantan pelintas batas ini kini mulai berbenah diri. Pada tahun 2007 ini, ada bantuan sosial untuk pembangunan rumah-rumah penduduk dan jembatan yang dikerjakan oleh oleh Tentara Manunggal Masuk Desa. Masing-masing 10 buah rumah dan 1 buah jembatan. Selain itu, ada juga sekolah dasar (3 kelas), 2 rumah guru dan 5 buah sumur air bersih serta 4 buah WC umum.

Selain pembangunan beberapa fasilitas tadi, Kampung Mosso juga mendapatkan bantuan dana pemberdayaan kampung dari Gubernur dan Walikota yang masing-masing berjumlah 100 juta. Hanya sayang pengelolaannya tak berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Selain itu, masalah keamanan di Mosso sangat kondusif dan tidak ada tekanan dari pihak aparat keamanan. Buktinya, masyarakat di sini bebas beraktifitas tanpa harus melapor dahulu pada pos TNI. Semua pemeriksaan pelintas batas hanya di daerah Wutung kecuali ada orang baru yang hendak masuk di Mosso, harus melapor ke RT tentang berapa orang yang tinggal dan berapa lama berada di daerah Mosso.
Krist Ansaka



Read More......

Betulkah Inpres itu untuk Dongkrak Otsus?

Walaupun sudah ada Otsus untuk mempercepat pembangunan di Tanah Papua, tapi Jakarta kembali meluncurkan Inpres Nomor 5 tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Betulkah Inpres itu untuk mendongkrak pelaksanaan Otsus atau hanya sebagai “gula-gula” politi?

PAPUA, negeri yang pernah terlupakan. Tapi ketika rakyat menuntut untuk pisah dari Indonesia, lalu Jakarta menjawab dengan pemberian otonomi khusus yang diundangkan 21 November 2001 dan mulai berlaku sejak 2002. Kemudian, ketika Dewan Adat Papua menolak Otsus, terus rakyat mengusulkan Bintang Kejora jadi lambang daerah, lalu diduga, Jakarta menjawab dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Menurut Dewan Adat Papua, pelaksanaan Otsus dengan program perioritas yaitu peningkatan pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan pembangunan infratruktur yang sudah dilakukan sejak 2002 hingga 2007, belum memberikan perubahan peningkatan bagi rakyat asli Papua. Padahal, uang yang dikucurkan terus meningkat dari Rp 1,2 triliun dan kini menjadi Rp 3,2 triliun.

Kini Jakarta meluncurkan lagi Rp 17 Triliun melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Program perioritasnya ada lima yaitu : Pertama, pemantapan ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan. Kedua, peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan. Ketiga, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Keempat, peningkatan infrastruktur dasar guna aksesibilitas di wilayah terpencil, pedalaman dan perbatasan Negara. Dan kelima; perlakukan khusus (affirmativ action) bagi pengembangan kualitas sumber daya manusia putra-putri asli Papua.

Tampaknya, program perioritas dari Inpres itu, tak jauh berbeda dengan program Otsus dan juga agenda pembangunan dari Gubernur Barnabas Suebu.

Menurut siara pers Foker LSM Papua pada Selasa, 7 Agustus 2007, bahwa pelaksanaan Inpres harus diintegrasikan di bawah kendali UU NO 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan. Penggunaan anggaran Inpres harus diperjelas antara alokasi dana yang disiapkan APBN dan APBD untuk lima program perioritas itu.

Menurut anggota Steering Committee Foker LSM Papua, Paskalis Letsoin.SH, bahwa dengan adanya Inpres itu, Pemerintah daerah tidak boleh mengabaikan kewajibannya untuk membuat Perdasi dan Perdasus seperti yang diamanatkan UU NO 21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus, pasal 35 dan pasal 36. Misalnya, pasal 36 ayat 1 disebutkan, “perubahan dan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja Provinsi Papua harus ditetapkan dengan perdasi.”


Paskalis juga mengingkatkan, walaupun ada Inpres, tapi pemerintah provinsi harus tetap konsisten serta bertanggung jawab terhadap pelaksanaan RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) pada tingkat kabupaten atau Provinsi yang sudah ditetapkan. Bahkan pemerintah juga harus tetap menjalankan Rencana Pembangunan Kampung (RESPEK) yang sudah dicanangkan untuk lima tahun kedepan.

Persoalan sekarang, untuk pengucuran dana Otsus per tahun anggaran saja, Jakarta tampaknya tak serius. Hal itu terbukti dengan lambatnya pengucuran dana Otsus sehingga cukup banyak program yang terbengkalai. “Kalaupun ada kegiatan pembangunan yang jalan, itu pun hanya untuk mengejar target tanpa memenuhi kualitas yang baik,” kata Paskalis Lesoin.

Kalau tak ada integrasi program dan pembiayaan antara Otsus dan Inpres, maka dikuatir Inpres itu hadir bukan untuk menyelesaikan masalah tapi membuat masalah di Papua bertambah runyam. Padahal dalam Inpres itu disebutkan, bahwa lima prioritas percepatan pembangunan sebagai lima prioritas “penyelesaian masalah” yang dalam pelaksanaannya difokuskan pada pembangunan infrastruktur transportasi.

Inpres itu diinstruksikan kepada 11 mentri, Gubernur Provinsi Papua dan Gubernur Papua Barat, serta para bupati/walikota se-Tanah Papua untuk melaksanakan dan mengatur tentang lima prioritas kebijakan baru.

Kemudian gubernur ditugaskan menyusun Rencana Induk dan Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Provinsi sebagai penjabaran dari prioritas itu. Sedangkan untuk 11 menteri yang dilibatkan bertugas mendukung dan memfasilitasi kedua gubernur dalam menjalankan kegiatan pembangunan sesuai bidang perhatian dari setiap menteri bersangkutan.

Dalam Inpres itu dilampirkan pula Rencana Aksi Pembangunan Infrastruktur Dalam Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2007-2009, seperti pembangunan jalan raya, pelabuhan dan bandar udara yang harus dibangun dalam tempo dua tahun itu.

Fasilitas yang mau dibangun umumnya dipusatkan pada sembilan wilayah yang ditetapkan menjadi pusat pengembangan kawasan industri dengan spesifikasi kegiatannya dari pertambangan, pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan hingga pariwisata.

Program itu akan dicanangkan oleh Menko Perekonomian Boediono selaku Ketua Tim Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Papua dan Irian Jaya Barat.

"Kami telah membahas rencana induk percepatan pembangunan papua. Menurut Inpres No 5/2007, pelaksanaannya ditugaskan kepada Gubernur Papua, maupun Papua Barat," kata Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta kepada wartawan di Jakarta, belum lama ini.
Paskah mengatakan, gubernur sudah siap dengan rencana ini dan dalam action plannya juga telah disiapkan oleh para menteri terkait yang ditugasi sesuai Inpres No 5/2007 untuk melakukan percepatan pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.

Pemerintah akan memadukan rencana induk dengan program yang dialokasikan melalui APBN maupun program APBD serta dana-dana lainnya seperti Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU). Dana-dana itu kata Paskah, tinggal disinkronisasikan. “Program percepatan pembangunan infrastruktur di Papua akan menyentuh masyarakat karena Inpres yang ada telah disiapkan secara matang,” kata Paskah.

Menurut rencana, tanggal 8 Agustus 2007, Inpres ini akan dimulai. Tapi kenyataanya molor juga.

Tentang pengawasan, Direktur Eksekutif ICS, Budi Setyanto SH menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat di Papua untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan maupun pemanfaatan dana sehingga mengoptimalkan hasil yang ingin dicapai sekaligus meminimalisir kebocoran dana yang digunakan.

“Selain itu evaluasi terhadap pelaksanaan Inpres wajib dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan masyarakat Papua dan hasilnya harus disampaikan kepada publik sebagai bentuk pelaksanaan prinsip transparansi dan akuntanbilitas,” kata Budi
Krist Ansaka


Read More......

Baku Rebut Nikel di Raja Ampat


Sejak 2004 hingga 2007, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat telah mengeluarkan ijin kepada 10 perusahaan pertambangan yang akan mengelola nikel di real seluas 164.642 hektar atau 1.646,42 kilometer persegi dari luas wilayah 46.108 kilometer persegi.


SUDAH 45 tahun yang lalu, kandungan nikel ditemukan di perut bumi Raja Ampat ketika PT Nikel Gak melakukan penelitian di kepulauan itu tahun 1962. Penemuan nikel itu ditandai dengan penempatan batu (tugu) peringatan di atas Gunung Fokfak Timur. Kini kandungan nikel itu menjadi rebutan dari 10 perusahaan yang mendapat ijin dengan keputusan bupati dan dua perusahaan yang beroperasi secara illegal.
Menurut penelusuran Suara Perempuan Papua, bahwa areal yang sudah dikapling 10 perusahaan itu luasnya mencapai 164.642 hektar atau 1.646,42 kilometer persegi (lihat tabel). Selain itu, ada dua perusahaan yang beroperasi tanpa ijin sehingga sulit diketahui luas areal pertambangannya.

Dari 10 persusahaan yang mendapatkan ijin berupa keputusan bupati tentang pemberian kuasa pertambangan eksploirasi, ada sembilan perusahaan yang mendapat satu surat keputusan degan masa berlaku antara 1 sampai 3 tahun. Tapi ada satu perusahaan yaitu PT Bumi Makmur Selaras (BMS) yang mendapat tiga surat keputusan di wilayah yang sama tanpa masa berlaku.

Sebelumnya, BMS mendapat ijin penyelidikan umum dengan nomor 540/045/2005 tentang ijin mengadakan kegiatan penyelidikan umum di bidang pertambangan yang ditandatangani oleh Bupati Marcus Wanma, tertanggal 17 Maret 2005.

Menurut penelusuran Suara Perempuan Papua, Marcus Wanma dilantik menjadi Penjabat Bupati Raja Ampat pada 10 April 2003 dan baru melaksanakan tugas pada 9 Mei 2003. Ia bertugas hingga tahun 2005 mengundurkan diri karena Wanma mencalonkan diri untuk menjadi bupati definitif.

Selama Marcus Wanma bertugas sebagai penjabat Bupati Raja Ampat, ia telah mengeluarkan ijin berupa Surat Keputusan kepada enam perusahaan untuk melakukan penambangan nikel di Raja Ampat.

Ketika penjabat bupati dilanjutkan oleh Jack Kapisa, lalu Kapisa mengeluarkan ijin kepada PT Bumi Makmur Selaras (BMS) untuk melakukan penambangan di wilayah di Pegunungan Fokfak Timur dan Fokfak Barat.

BMS beroperasi di wilayah di Pegunungan Fokfak Timur dan Fokfak Barat dengan tiga surat ijin tahun 2005 dari penjabat bupati, Drs Jack Kapissa dengan total areal garapan seluas 88.306 hektar (lihat tebel). Tiga surat keputusan itu disertai dengan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi PT BMS.

Sementara itu, Bupati Kabupaten Raja Ampat, Drs Marcus Wanma mengekuarkan SK No. 34 Tahun 2005 tertanggal 29 November 2005 tentang pemberian kuasa pertambangan eksplorasi kepada kepada PT Giri Delta Mining (GDM) dengan areal tambangnya seluas 10.000 hektar di lokasi yang sama.

Akibatnya, terjadi tumpang tindih dalam satu wilayah konsesi di Pegunungan Fokfak Timur dan Fokfak Barat, Kampung Kapadiri, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.

Sedangkan delapan perusahaan lainnya mendapat satu ijin atau SK tentang pemberian kuasa pertambangan eksplorasi dari bupati definitif.

Persoalan tumpang tindi lokasi pertambangan antara PT Bumi Makmur Selaras (BMS) dengan PT Giri Delta Mining (GDM) serta kewenangan mengeluarkan ijin atau surat keputusan inilah yang membuat pemerintah kabupaten Raja Ampat melalui bupati definitifnya, Drs Marcus Wanma diajukan ke meja hijau di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.

Hasilnya, gugatan BMS ditolak dan Drs Marcus Wanma memang. BMS tidak puas karena mendapat dukungan dari seluruh komponan masyarakat adat, terutama pemilik hak atas tanah adat sehingga BMS nyatakan naik banding ke PTUN di Makasar. Hasilnya, BMS kalah juga. BMS belum merasa ada keadilan sehingga perusahaan yang dikomandani oleh Tadjudin Hidayat mengajukan kasasi ke Mahkama Agung sekitas Juli 2007. “Sampai saat ini, belum ada keputusan dari Mahkama Agung,” ungkat kuasa hokum BMS Usman Lusuli yang dihubungi Suara Perempuan Papua melalui telepon pada Kamis, 15 November 2007.

Menurut Anggota Majelis Rakyat Papua dari Daerah Pemilihan I, Frida T. Kelasin, bahwa tumpang tindih lokasi dan ijin yang diberikan karena ada konflik kewenangan dalam tubnuh Pemerintah Kabupaten Raja Ampat pascah Raja Ampat menjadi kabupaten definitif.

“Tapi konflik ini dikelola dengan tidak mempertimbangkan rasa keadilan, maka terjadilah mis komunikasi yang mengarah kepada sikap saling menyalahkan,” ungkap Frida T. Kelasin.



Read More......

Kampung itu Bernama Kapadiri


Penduduk asli Papua yang mendiami sebelah barat laut, pesisir Pulau Papua, tepatnya di Kampung Kapadiri, Distrik Waigeo Utara, kini sedang gunda gulana lantaram kandungan nikel di Gunung Fokfak Timur, Fokfak Barat dan dan Pulau Mauram hendak dikelola perusahaan yang tidak menghargai hak-hak masyarakat adat.


TERIAKAN protes yang terlontar dari penduduk asli Papua di Kampng Kapadiri, Distrik Waigeo Utara, Provinsi Papua Barat, berhasil menggugah Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk melihat dan merasakan penderitaan rakyat yang dilego ke MRP melalui Lembaga Masyarakat Adat Ambel Maya. Untuk itulah, lembaga kultural ini mengirim anggota, Frida T, Kelasin.

Bagaimanakah sehingga Frida bisa sampai ke Kampung Kapadiri? Berikut ini, ikutilah kisahnya yang diungkapkan kepada Suara Perempuan Papua melalui laporan kunjungan kerja.

Kampung Kapadiri terletak di Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Kabupaten ini berada di sebelah barat laut, pesisir Pulau Papua.

Untuk sampai ke Kampung Kapadiri, hanya bisa dilakukan dengan menggunakan alat transportasi laut. Jarak tempuh dari Kota Sorong, berfariasi, tergantung jenis alat transportasi laut.

Umumnya, masyarakat menggunakan alat transportasi yang disebut Body, yaitu perahu yang menggunakan motor tempal. Dengan Body untuk sampai ke Kabupaten Raja Ampat, lamanya antara 6 – 8 jam dari Kota Sorong.

Tak ada pilihan lain, perempuan yang penuh idealisme itu menggunakan Body menantang ombak. Menyeberang laut ini, penuh resiko. Apalagi, mesin motor temple yang digunakan itu, tiba-tiba rusak di laut.

Perjalanannya pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit lantaran harga BBM terus melambung sementara daya beli masyatakat, tak pernah sangat terbatas.

Kampung Kapadiri terletak dalam teluk yang dihiasi dengan gunung-gunung yang mengandung nikel di dalamnya. Sementara itu, nampak dari cela-cela bebatuan mengalir air yang terus membasahi tanah dan tanaman di sekitarnya.

Ketika memasuki kampung Kapadiri, nampaknya juga gunung Fofak Timur, Fofak Barat dan Pulau Manuram yang menjadi rebutan sejumlah perusahaan lantaran kandungan nikel di dalamnya.

Dalam dalam laporan kunjungan kerjanya, Frida T. Kelasin mengungkapkan, bahwa di atas Gunung Fofak Timur terdapat batu atau tugu peringatan temuan bahan nikel oleh PT Nikel Gak yang diteliti tahun 1962. Tugu peringatan itu dirawat dengan baik oleh masyarakat adat di Kampung Kapadiri. Dan marga Wakaf adalah pemilik hak atas tanah terbesar di Kampung Kapadiri.

Sementara Pulau Manuram disebut masyarakat setempat sebagai “Putri Laut” Distrik Waigeo Utara. Ibukota Kabare, merupakan Waigeo Utara, yang juga merupakan pintu masuk Kampung Kapadiri. Pulau Manuram ini memiliki pasir putih dan air laut yang jernih. Dari atas gunung di Pulau Manuram, kita dapat melihat sejumlah kampung yang menghadap langsung dengan Pulau Manuram.

Kampung Kapadari telaknya cukup jauh dari ibukota Kabupaten Raja Ampat di Waisai. Bahkan sangat jauh dari Kota Sorong. Walau begitu, penduduk di kampung ini sangat paham tentang fungsi MRP. Hal itu terbukti dengan penjemputan yang dilakukan aparat kampung dan masyarakat adat di Kapadiri.

Tanggal 27 Maret 2007 ketika senja tiba, anggota MRP, Frida Kelasin tiba di Kampng Kapadiri. “Saya tiba di jembatan kayu, langsung disambut Kepala Kampung, Kapolsek Waigeo Utara, Tokoh Agama dan juga masyarakat Kampung Kapadiri,” ungkap Frida T. Kelasin.

Saat itu, terdengan alunan musik suling tambur dan Frida pun menerima pengalungan bunga dari masyarakat Kapadiri. Bersama Frida, ikut pula utusan Danramil Waigeo Utara, staf sekretaris distrik, dan pihak PT Bumi Makmur Selaras yang memfasilitasi perjalanan dengan menyiapkan spreed yang menggunakan mesin dalam.

Saat itu, nampak betul masyarat Kampng Kapadiri menghadapkan MRP supaya berperan untuk ikut membela hak-hak adatnya yang hendak diserahkan oleh Bupati Raja Ampat kepada pengusaha nikel yang tak disukai masyarakat adat di sana.

Penyambutan anggota MRP itu, berbeda dengan penyambutan di Ibukota Distrik. Bahkan di Kota Ibukota Distrik Waigeo Utara, Frida tidak diperkenangkan melanjutkan perjalanan ke Kampung Kapadiri. Alasan mereka, harus melapor dulu ke Kabupaten Raja Ampat. Namun setelah diberikan penjelasan yang memakan waktu, akhirnya, anggota MRP itu pun dipersilahkan melanjutkan perjalanan ke Kampung Kapadiri.

Distrik Waigeo Utara terdiri dari sembilan kampung, yaitu: Kampung Kabare, Bonsayor, Andei, Asukweri, Rauki, Kapadiri, Bone, Warwaney, dan Mnier. Kepala Distrik Waigeo Utara adalah Yunus Burdam. Sedangkan Kepala Kampung Kapadiri adalah Yonas Kein.

MRP melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Raja Ampat lantaran permintaan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Ambel Maya. Harapan LMA itu agar, MRP dapat memberikan rekomendasi kepada PT Bumi Makmur Selaras yang melakukan kegiatan penambangan di wilayah adat masyarakat Waigeo Utara, khususnya di Kampung Kapadiri.

Rekomendasi MRP itu diperlukan karena hamper setahun, masyarakat adat terus “berperang” alias beda pendapat soal keberadaan PT Bumi Makmur Selaras. Apalagi Pemerintah Kabupaten telah mengeluarkan surat keputusan bupati No. 249/2006 tertanggal 12 Juni 2006, tentang pembatalan pemberian kuasa pertambangan kepada PT Bumi Makmur Selaras.


Kapadiri hanya sebuah kampung di Kabupaten Raja Ampat yang terletak disebelah barat laut, pesisir Pulau Papua. Kabupaten ini merupakan kawasan yang memiliki keaneka ragaman hayati yang sangat tinggi serta habitat laut dan darat yang mengagumkan.

Raja Ampat terletak di dekat jantung “Coral Triangle” sebuah kawasan yang mencakupi bagian utara Australia, Filipina, Indonesia, dan Papua New Guinea yang memiliki keaneka ragaman karang tertinggi di dunia.

Kepulauan Raja Ampat ini merupakan salah satu kawasan yang mengandung fauna ikan karang terkaya di dunia yang terdiri dari paling sedikit 1,074 spesies serta merupakan areal pembesaran bagi sebagian besar jenis penyu yang terancam punah.

Kabupaten Raja Ampat terdiri dari empat pulau besar yaitu: Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool serta ratusan pulau-pulau kecil lainnya.

Meskipun sebagian besar penduduk masih hidup dalam pola perekonomian yang sub sistem, tapi pola perekonimian moderen yang meggunakan uang sebagai alat tukar juga merupakan fenomena yang tumbuh dengan sangat cepat.

Masyarakat kampung merasa tidak berdaya dan tidak diikutkan oleh pendatang dari luar yang menguras sumber daya alam di areal milik adat setempat, kecuali PT Bumi Makmur Selaras yang melibatkan masyarakat Kampung Kapadiri.

Untuk pemerintahan di sana, berdasarkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2002 telah dilantik Penjabat Bupati Raja Ampat berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.81 – 172 tahun 2003 tanggal 10 April 2003 tentang pengangkatan Pejabat Bupati Raja Ampat, maka secara efektif Penjabat Bupati Raja Ampat melaksanakan tugas pada tanggal 9 Mei 2003 di Waisai Ibukota Kabupaten Raja Ampat yang ditandai dengan pembukaan selubung papan nama kantor Bupati Kabupaten Raja Ampat oleh Gubernur Provinsi Papua (saat itu belum ada Provinsi Papua Barat).

Kabupaten Raja Ampat secara geografis sangat menguntungakan karena terletak Sebelah utara berbatasan dengan samudra pasifik. Sebelah selatan berbatasan dengan laut seram Provinsi Maluku. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sorong. Sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Maluku Utara

Luas Kabupaten Kabupaten Raja Ampat, 46,108 kilometer persegi yang terdiri dari luas daratan 6,000 kilometer persegi dan luas lautan 40,108 kilometer persegi.

Kabupaten Raja Ampat merupakan salah satu kabupaten yang terdiri dari pulau-pulau sehingga jarak antara pulau yang satu dengan pulau lainnya berfariasi.

Ada 10 distrik dan 88 kampung di kabupaten ini dan total jumlah penduduk 37.107 jiwa. Ke 10 distrik itu adalah Distrik Ayau, Distrik Waigeo Utara, Distrik Waigeo Timur, Distrik Waigeo Selatan, Distrik waigeo Barat, Distrik Teluk Manyailibit, Distrik Samate, Distrik Kofiau, Distrik Misool dan Distrik Misool Timur Selatan.

Kabupaten Raja Ampat memiliki bahan galian yang cukup besar seperti Krikil, Batu Gunung dan Batu Kali Selam. Beberapa bahan galian secara potensial dapat digali dalam skala besar antara lain granit, Nikel, Batu Bara, Emas, Perak, Limestone, Marmer, Batu gamping, Pasir Kuarsa dan tanah Liat.

Disamping bahan galian itu, ada juga bahan tambang minyak dan gas bumi yang dikelola oleh Pertamina, dan sejak tahun 1887 oleh Pemerintah Hindia Belanda bersamaan dengan pegoperasian minyak bumi yang diexploitasi di Pulau Seram Maluku terdapat beberapa Perusahaan swasta yang telah melirik beberapa jenis bahan galian untuk diadakan exploitasi.



Read More......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com