Saturday, January 10, 2009

Mosso, Potret Kampung Mantan Pelintas Batas


Pemerintahan Kampung Mosso di Distrik Muara Tami tak berfungsi. Kepala Pemerintahan Kampung menghilang. Sekolah tak ada guru, petugas Puskesmas Pembantu tak ada dan pelayanan tak berjalan. Dana pemberdayaan kampung juga tak jelas. Masyarakat minta, KPK dan Sekretaris Kampung diganti.


MOSSO, sebuah kampung yang berada di Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Kampung ini terletak di tapal batas RI – PNG. Ada sekitar 60 Kepala Keluarga (KK) di sana dan 50 KK diantaranya adalah mantan pelintas batas.

Mereka pernah meninggalkan kampung halamannya lantaran Pemerintah Indonesia menempatkan militernya untuk menjaga daerah perbatasan, termasuk di Kampung Mosso. Saat itulah pemusnahan rumah-rumah dan tanaman penduduk berlangsung. Masyarakat Nyao Mosso ketakutan, lari meninggalkan kampung halaman mereka ke pengungsian di PNG dan menetap di Kampung Nyao Nemo dan Nyao Kofo yang berada di PNG. Dua kampung yang warganya punya hubungan sanak sangat erat.

Pada 1999, mereka kembali dan bermukim di Kampung Nyao Mosso Dan baru pada Mei 2007 pemerintah Kota Jayapura menetapkan kampung ini sebagai kampung terakhir di daerah perbatasan. Dengan demikian, bukan lagi Kampung Skouw yang merupakan kampung paling akhir dari Kota Jayapura yang berbatasan langsung dengan PNG.

Tapi persoalan yang dihadapi saat ini yaitu sudah enam bulan, sejak Agustus 2007 hingga kini (Februari 2008), Kepala Pemerintahan Kampung (KPK) dan Sekretarisnya, tak pernah bertugas dan menetap di Kampung Mosso. Kedua pejabat kampung itu, lebih memilih tinggal di Skouw. Akibatnya, kegiatan pemerintahan di kampung itu, tak berjalan.

“Kami yang tinggal di Mosso ini seperti hidup tanpa kepala. Bagaimana kami mau maju kalau KPKnya tak pernah bertugas. Untuk itulah, pada 25 Februari 2008, kami warga Mosso melalui tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh perempuan, dan tokoh pemuda membuat surat ke Walikota Jayapura untuk meminta perhatian terhadap kondisi pemerintahan dan pembangunan sekaligus meminta agar KPK dan sekretarisnya diganti,” ungkap salah satu tokoh adat Mosso, Agus Wepafoa kepada Suara Perempuan Papua di kediamannya di Kampung Mosso pada 29 Februari 2008.

Pernyataan Agus itu bukan isapan jempol. Soalnya, pada September 2007 ketika tabloid ini melakukan ekspedisi selama dua hari di kampung itu, hampir semua warga yang ada di sana mengeluh soal keberadaan KPK. Bahkan pada 29 Februari 2008, ketika wartawan tabloid kembali meliput di Mosso, kantor pemerintahan kampung sudah ditumbuhi rumput dan kantornya ditutupi debuh yang cukup tebal.

Berdasarkan pernyataan masyarakat dan copy surat dari masyarakat ke walikota, tabloid ini berusaha mengkonfirmasikan persoalan kampung Mosso kepada KPK Mosso, Robby Foa di Kampung Skwouw Yambe, tapi KPK tidak berada di tempat dan anaknya mengatakan, “Bapak ke Koya.” Sedangkan Sekretaris Kampung, Hengky Foa di Skouw Mabo, juga tak berada di tempat. Kabarnya, ia sedang ke kota.

Dalam surat tertanggal 25 Februari itu disebutkan, “KPK dan sekretarisnya tak pernah bersama-sama dengan kami masyarakat. Hal ini sudah kami sampaikan, tapi tidak ditanggapi Walikota Jayapura. Kami menyadari, kami masyarakat bodoh akan tetapi, kapan lagi, kami dapat diberikan kepercayaan untuk memimpin kampung kami. Selama ini, KPK dan sekretaris hanya menggunakan kesempatan dan jabatan untuk kepentingan pribadi dengan menggunakan dana kampung. Jadi kami masyarakat bagaikan kehilangan induk.”

Ketika tabloid ini menengok ke rumah KPK di Mosso, tampaknya rumah itu tak terurus. Dalam salah satu kamar, penuh dengan oli berserahkan di lantai dan ada berbagai alat kendaraan roda dua. Kamar itu bak sebuh bengkel. Di ruang tamunya, penuh dengan kayu. Kabarnya, rumah itu dijaga oleh dua orang pemuda.

Untuk itu, masyarakat Mosso memohon kepada walikota melalui Kepala Distrik Muara Tami agar memanggil dan menegur KPK dan sekretaris agar dua pejabat kampung ini dapat tinggal dan menetap bersama masyarakat. Begitulah isi surat ke walikota itu.

Sedangkan dana pemberdayaan kampung yang sudah dikucurkan tahap pertama tahun 2007 sebesar Rp 30 juta, menurut data yang dihimpun dari masyarakat, bahwa dana itu dibagikan kepada 10 orang staf kantor pemerintahan kampung, termasuk RT/RW, masing-masing Rp 700.000. Tapi dua orang staf, mengembalikan uang itu karena dianggap uang Rp 1.400.000 itu adalah hak masyarakat. Itu beerarti, dana pemberdayaan kampung sebesar Rp 24.400.000 (Rp 30 juta – Rp 5.600.000), raib entah kemana?

Menurut penelusuran tabloid ini di kampung mantan pelintas batas itu, tampaknya tak pernah dilakukan musyawarah perencanaan pembangunan (Murembang) dan ada kegiatan apa pun yang dibiayai dengan dana pemberdayaan kampung atau Rencana Strategi Pembangunan Kampung (Respek). Kelompok masyarakat yang dibentuk untuk menanam kakao pun, tak berjalan. Padahal, kampung ini menerima dana pemberdayaan kampung.

PUSTU
Bukan hanya kegiatan pemerintahan yang tak berjalan di kampung itu. Tapi juga Puskesmas Pembantu (Pustu). Gedung Pustu berkaca gelap yang ditutupi debuh itu, seperti tak penah dipakai. Menurut pengakuan masyarakat, bahwa pemerintah sudah memberikan gedung dan peralatan kesehatan. Tapi pelayanan kesehatan hampir tak pernah ada. Bahkan tenaga kesehatan yang di tempatkan di sana, Mantri B. Murib jarang berada di tempat. Pustu selalu tutup. “Jadi kalau ada masyarakat yang sakit, mereka berobat ke Puskesmas di Koya Barat atau ke Vanimo, PNG,” begitulah pengaduan masyarakat yang disampaikan kepada walikota Jayapura.

Untuk itu, masyarakat meminta agar Walikota segera menggantikan petugas kesehatan di Mosso. Masyarakat mengusulkan agar Jack Kuamuli diangkat menjadi petugas kesehatan di Mosso karena mantri yang satu ini telah menyelesaikan pendidikan keperawatan di Papua New Guinea (PNG).

TAK ADA GURU
Begitu juga tenaga pengajar di SD di Kampung Mosso. “Kami kembali ke Indonesia karena kami ingin anak-anak kami bisa bersekolah dengan baik. Anak-anak di Kampung Mosso sangat merindukan sekolah. Tapi, sayangnya, Walikota Jayapura belum memberikan perhatiannya.

Ketika warga Kampung Mosso hijrah ke wilayah PNG, pendidikan anak-anak mereka terlantar. Kini mereka sudah kembali ke kampung asalnya di Mosso, Distrik Muara Tami, Kotamadya Jayapura, sejak tahun 1999. Tapi pemerintah baru membuka tiga kelas SD di kampung itu pada 1 Maret 2007.

Awalnya SD Negeri Mosso itu bermula dari sekolah kecil yang dibuat oleg Gereja Kristen Injili (GKI) di Mosso. “Sebelum ada SD, saya buka sekolah kecil. Semua fasilitas, saya buat sendiri. Mulai dari papan tulis hingga alat peraga. Tapi ketika SD itu dibuka, lalu sekolah kecil ditutup dan murid-murid sekolah kecil dipindahkan ke SD,” ungkap guru jemaat GKI, Thomas Manufandu.

Kini hampir satu tahun SD itu berjalan, tapi tak ada satu pun buku bacaan atau buku cetakan yang dimiliki. Bahkan kepala sekolah pun, tak ada di tempat. Guru yang pernah aktif pun, yaitu Alfonsina Motan, kini sudah pulang atau kembali ke Kampung Skow. Sekolah ini, sekarang tak ada guru.

Selain itu, sekolah ini pun, sejak dibuka hingga kini, tak pernah mendapat Biaya Operasional Sekolah (BOS). Kondisi proses belajar mengajar di SD Negeri Mosso, sangat memperihatinkan. Bahkan dana Otsus yang digembar gemborkan itu, tak pernah dirasakan murid-murid SD Mosso. Padahal, Kampung Mosso itu dapat ditempuh dengan kendaraan paling lambat tiga jam dari kantor Walikota di Entrop, Jayapura.

Kalau jumlah murid yang terdaftar ada 57 anak yang terdiri dari kelas satu 24 orang, kelas dua 13 orang dan kelas tiga 20 orang. Kini, murid-murid SD itu sudah enggan ke sekolah lantaran tak ada guru.

Ketika SD ini menerima murid baru, bagi yang belum bisa baca dan tulis, ditempatkan di kelas satu. Yang sudah bisa baca tulis ditempatkan di kelas dua. Kalau ada murid yang sudah bisa baca, tulis dan berhitung, ditempatkan di keas tiga.

Rata-rata, murid yang sudah bisa baca, tulis dan bisa berhitung, berasal dari PNG. Mereka terpaksa sekolah di Mosso, karena ada kabar, bahwa sekolah Mosso atau di Indonesia itu, guru dan alat bantu untuk proses belajar mengajar, cukup lengkap. Kabar itu ternyata hanya isapan jempol belaka. SD di kampung mantan pelintas batas itu, nyaris tak penah di perhatikan.
Orang tua yang membawa anak-anaknya dari PNG untuk bersekolah di SD Negeri Mosso itu, cukup kecewa. Soalnya, murid yang bersekolah di SD itu, bukan hanya anak-anak Indonesia saja, tapi ada juga anak-anak PNG. Murid-murid yang berasal dari PNG ini tinggal di rumah saudara-saudaranya di Kampung Mosso ini.

“Kami orang tua tidak sekolah. Kami ini korban politik tahun 1969. Jadi kami berharap supaya anak-anak kami bisa sekolah di Mosso dengan baik. Tapi, ternyata, di SD itu, tidak ada guru dan tidak ada buku pelajaran. Ya, saya masih menunggu. Kalau tidak ada perubahan, terpaksa saya bawa kembali anak-anak untuk kembali ke PNG,” ungkap Elias Wepafoa, Kepala Kampung Nyao di PNG.

Elias Wepafoa membawa empat anaknya untuk bersekolah di SD Negeri Mosso. Di PNG, keempat anaknya itu, ada yang kelas delapan, tujuh, dan enam. “Kami di PNG dengar, sekolah di Indonesia sudah maju jadi saya bawa anak-anak dari PNG untuk sekolah di Mosso. Anak-anak itu perlu belajar dan mengetahui bahasa Indoensa dan pelajaran PPKN. Kalau pelajaran lain, sudah didapat di PNG. Tapi mengapa, Indonesia tidak memperhatikan SD di Mosso?” ungkap Elias keheranan.

“Pak Walikota, Ibu Kepala Dinas P dan P serta anggota DPRD Kota Jayapura, jangan biarkan anak-anak kami terlantar, tanpa mendapat pendidikan yang baik. Kami juga ingin, agar-anak dari Mosso bisa belajar sampai ke sekolah lanjutan, baik SMP, SMA, bahkan sampai ke universitas,” ungkap salah satu tokoh adat Mosso, Agus Wepafoa.

Kalau nasib anak-anak SD Mosso, dibiarkan terlantar tanpa diperhatikan, pasti mereka akan hidup dan belajar dari alam dan mereka tak pernah mengejam pendidikan di sekolah formal. Apalagi sampai saat ini masyarakat Kampung Mosso masih hidup meramu, berkebun, dan berburu. Mereka terus berupaya meningkatkan pola hidup mereka untuk setara dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Mereka berharap pemerintah bisa memperhatikan kehidupan masyarakat mantan pelintas batas yang kini berada garda depan RI yang berhadapan langsung PNG.
Krist Ansaka






Read More......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com