Tuesday, June 16, 2009

Sang Eksekutor Belum Tersohor

*Lewat PNPM Mandiri, Warga Puay Menggapai Mimpi

KRIST- Tidak ada prestasi khusus yang dikantongi Carlos Suebu. Tidak juga menduduki jabatan penting. Dia hanya warga biasa, tak ada yang istimewa. Carlos Suebu adalah satu dari puluhan warga Kampung Puay, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, yang tak menyangka bisa menjadi eksekutor pembangunan di kampungnya. Sepanjang umurnya, sudah 62 tahun, sepanjang itu juga Carlos seperti bayi dalam pembangunan. Hanya mampu menerima suapan makanan, walaupun pedis yang harus dirasakan. Apa yang didambakan warga Kampung Puay, sering kali jauh panggang dari api.

Tapi kini mereka sudah bukan lagi bayi. Tetapi eksekutor pembangunan yang bisa menentukan kemana kampung yang berada di pinggiran Danau Sentani ini akan berlabuh. Warga setidaknya tak lagi hanya bisa bermimpi, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Respek Provinsi Papua, membantu warga untuk merubah mimpi menjadi nyata. Keinginan warga tak lagi terkubur dalam lumpur hidup di kedalaman Danau Sentani.

Namun sang eksekutor belumlah tersohor. Program pekerjaan jalan rabat beton (sebutan warga : penimbunan jalan) yang menjadi salah satu impian, belum menjadi nyata. Walaupun proposal kegiatan sudah dirampungkan sejak 8 bulan lalu, namun hingga kini belum juga ada pencairan dana. Bukan warga yang dikepalai Kepala Kampung Balsazar Doyapo yang tak punya nyali untuk membangun sendiri. Tetapi aba-aba siap bekerja dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Jayapura belum berkumandang. Belum ada jawaban dari kantor berpelat merah (BPMD, red) terhadap proposal warga. Ruas jalan kampung yang tak becek di musim penghujan, hingga kini masih menjadi bunga tidur.

Tak hanya Mama Esther yang setiap hari berjualan ke pasar yang hingga kini masih saja dengan keluhannya. Tetapi seluruh warga, mengeluhkan hal serupa. Saat jalan kampung becek, Yohanis, siswa SD Puay kelas 3 yang mengaku terkadang memilih berdiam diri di rumahnya yang sepi tanpa hiburan televisi, dari pada duduk di bangku kelasnya. Demikian juga langkah Mama Esther menuju Pasar Yoka - sekitar 20 Km dari Kampung Puay - menjadi lebih berat. Ada keengganan menghinggapi dirinya untuk melakukan kegiatan rutin dan wajib yang sudah dilakukannya puluhan tahun itu. Namun akhirnya dengan terpaksa, pekerjaan satu-satunya sebagai sumber kehidupan keluarga, harus dijalaninya.

“Berjalan hingga mata jalan depan kampong berbeban jualan ini jadi beban berat buat saya sebagai perempuan. Tapi beban ini akan ringan saat jalan tak becek, dan angkutan parkir dekat rumah,” turut Mama Esther yang sering kali membawa sagu puluhan kilo untuk dipasarkan di Pasar Yoka.

Mobil angkutan umum memang sudah terbiasa melayani warga, bahkan hingga dekat pemukiman mereka. Saat kondisi jalan normal, tak becek, barang jualan yang berlimpah pun tak menjadi beban. Cukup beberapa depa, beban di gendongan pun sudah berpindah ke dalam mobil angkutan. Terkadang tak perlu lagi seorang Mama Esther meminta uluran tangan sang suami untuk memuat barangnya ke mobil angkutan. Namun cerita ini akan berubah saat kucuran hujan menyulap jalan desa itu menjadi kubangan becek. Semangat pun terkadang berubah.

Penimbunan jalan kampung selebar sekitar 4 meter, sangat penting bagi warga. Tetapi entah untuk pemerintah yang sudah terbiasa ‘memaksakan’ jenis model pembangunan kepada rakyatnya ? Memang penting bagi warga, tak hanya Hendrik Yomo sebagai Ketua Tim Pengelola Kegiatan Kampung (TPKK) yang mau meluangkan berjam-jam waktunya untuk bermusyawarah. Yakob, seorang pemuda yang sebelumnya tak hoby kumpul bermusyawarah, saat itu punya pilihan baru, ikut berkumpul di Balai Kampung Puay untuk bermusyawarah. Kepala Kampung Puay Balsazar Doyapo saat itu juga tidak dengan tongkat kekuasaannya, memaksakan program pembangunan ciptaan pemerintah. Tetapi justeru harus mendengarkan dan menerima apa yang diusulkan oleh warganya.

Semangat 101 KK dengan 533 jiwa warga yang mendiami kampung seluas 147,2 Km dengan 19 meter di atas permukaan air laut ini, masih butuh ‘kesadaran’ pemerintah. Kesadaran bahwa impian warga yang sudah tertuang dalam proposal program kerja yang telah dirampungkan sejak 23 September 2008, namun hingga April 2009 belum juga ada jawaban. Delapan bulan menanti tentu sangat membosankan bagi warga, terlebih saat menanti melalui jalan kampung yang berlumpur. Mama Esther masih harus sering kali mengalami kemalasan untuk mengais rejeki di Pasar Yoka, sementara keluarga menanti kabar baik sang mama dengan jualan yang ludes terjual. Juga dengan Yohanis, anak kelas 3 SD Puay. Apakah buku raportnya harus dihiasi dengan deretan alpa, imbas kumpulan keengganan melintas di jalan becek menuju sekolah.

Mimpi masih sebatas mimpi, bukan salah warga yang sudah terbangun dari tidurnya. Juga bukan salah tenaga pendamping, seperti Ibnu Nugroho, yang mendampingi masyarakat Kampung Puay. Kewajiban serta tahapan proses yang menjadi jatah warga dan tenaga pendamping sudah sekian lama tuntas. Proposal yang telah diverifikasi di tingkat distrik telah dilayangkan ke meja Badan Pemberdaya Masyarakat Desa. Tak serta merta ditindaklanjuti instansi plat merah ini (BPMD, red). Proposal masih harus mengendap cukup panjang di meja BPMD. Entah apa yang menyebabkan dana pekerjaan jalan rabat beton yang merupakan program pembangunan tahun 2008 ini, belum juga ditransfer. Pihak BPMD sempat memberitahukan jika pada bulan Desember proses pencairan dana tidak bisa dilakukan. Alasannya, Desember dipenuhi dengan hari besar keagamaan. Desember telah berlalu, namun mimpi masih menjadi mimpi walaupun warga sedari subuh telah terbangun.

Para eksekutor pembangunan yang tidak lain adalah para warga Kampung Puay, memang belum tersohor. Buah manis dari mimpi memiliki jalan tanpa kubangan becek saat musim penghujan, belum juga dinikmati. Kebanggaan warga yang masih tertunda. Menunggu hingga kaki tak perlu lagi dibasuh dengan air danau yang tak sebersih dulu. Saat lumpur tak lagi melekat pada telapak kaki warga, para eksekutor akan tersohor. Dengan keterbatasan, akhirnya mampu untuk merubah mimpi menjadi kenyataan.

“Semangat warga dalam membangun daerahnya, perlu dijaga. Bukan mengendorkan dengan perilaku lama, yang sudah bukan jamannya lagi,” tutur tenaga pendamping asli Jawa kelahiran Nabire yang kini berbaur dengan warga Puay, Ibnu Nugroho. (Suroso)

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com