Tuesday, June 16, 2009

Bekal Hati Demi Sebuah Perubahan

KRIST- Menjadi seorang pendamping distrik tidaklah cukup hanya berbekal ijasah sarjana. Seorang Pendamping mutlak memiliki jiwa sosial yang tinggi dan terlebih memiliki hati untuk melayani.

Akhir bulan lalu, Uly Mariani dari Media Papua mendapatkan kesempatan meninjau lokasi mata air serta instalasi air bersih yang dikerjakan warga masyarakat lewat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Respek di Kampung Asei Kecil Distrik Sentani Timur.

Siang itu Jumat (24/4), ditemani dua orang warga, peserta pelatihan wartawan bersama pelatih meniti jalan setapak menuju lokasi bak penampung air bersih yang telah rampung dikerjakan warga sejak 3 bulan yang lalu. Setibanya ditempat itu, perlahan, tanpa dikomando, Tenri Leleang lalu memungut daun-daun yang berserakan disekitar bak penampung air bersih milik warga kampung Asei Kecil Distrik Sentani Timur. ”ditelaga ria, bertahun-tahun lamanya kami mengalami kesulitan mendapatkan air bersih”,ujar Toni Losal, ketua RW II, yang turut serta mendampingi kami, mengenang apa yang terlintas dibenaknya saat-saat dulu.

Sesekali, Tenri bercerita bagaimana warga kampung itu dengan swadaya melakukan pembangunan bak penampung sekaligus instalasinya, hal yang telah lama didam-idamkan oleh mereka. ”pengadaan air bersih ini merupakan program PNPM Respek tahun 2007 lalu yang merupakan usulan warga lewat musyawarah kampung,”jelas Tenri, dengan dialek papuanya yang cukup kental.

Tidak mudah bagi Tenri ketika pertama kali masuk dalam kultur masyarakat Sentani Timur yang memiliki karakter yang sangat keras dan kritis. Apalagi wilayah kampung dipinggiran kota, sangat mempengaruhi gaya hidup dan kebiasaan orang tua dulu.
”kebiasaan gotong royong hampir punah, warga cenderung individualis,”ungkap Esther Ansaka, warga setempat yang direkrut menjadi pendamping kampung oleh PNPM Mandiri Respek.

Namun, berkat pendekatan yag gigih serta semangat yang kuat, kehadiran Tenri dan kawan-kawan, yang memang dipersiapkan untuk mendampingi warga kampung memanfaatkan dana otonomi khusus membawa angin segar bagi sebuah jawaban atas pergumulan warga selama ini. ”Kaka Tenri mantap....,kata Ester sambil mengancungkan jempolnya
Wanita keturunan Bugis kelahiran Nabire 32 tahun silam ini memang luar biasa. Berbekal pengalaman serta niat hati yang tulus untuk melayani masyarakat, Tenri mampu beradaptasi dengan cepat ditengah-tengah masyarakat. ”sa su tiga tahun jadi pendamping distrik,”kata wanita lulusan Tekhnik Informatika salah satu perguruan tinggi di Jayapura.

Tenri tidak pernah lupa sebuah kejadian yang hampir menciderai kepalanya ketika mengikuti rapat distrik. Persoalan yang menjadi ujung pangkal perdebatan warga dan kepala distrik sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan materi rapat yang diagendakan, tanpa ada yang mampu melerai, suasana semakin memanas dan akhirnya sebuah kursi melayang diatas kepala Tenri yang saat itu sedang duduk diam mengamati pola tingkah mereka. ”ditentang, dilecehkan oleh beberapa orang yang tidak senang atas kehadiran kami pun kami hadapi dengan tenang,”katanya.

”kaka Tenri bilang ke kitong semua supaya jaga kepercayaan yang dikasih. Baru harus ikut deng aturan yang sudah disepakati sama-sama,”,kata Korlina Ansaka, Bendahara TPKK Kampung Asei Kecil sambil memperlihatkan dua buah buku pertanggungjawaban keuangan yang dipegangnya. Bagi Korlina, Tenri merupakan sosok perempuan yang gigih dan tidak gampang menyerah dengan keadaan. ”dimarah-marah, tetap saja kaka Tenri datang ke kampung. ”Kalau tong orang Papua sama-sama mungkin de su tra mau injak ini kampung lagi ka pa,”kata mama Etha, pengurus Posyandu dikampung tersebut. Sambil duduk-duduk dipondok pinang, Mama Etha bertutur bagaimana tiap kali Tendri turun ke kampung tersebut tanpa sungkan langsung menuju dapur masyarakat menikmati makanan yang dimasak oleh mama-mama disitu. ”mau pisang ka, keladi ka, gabus ka, kaka makan saja.,”timpal nene Yoku yang juga turut bersama-sama dengan mama Etha.

Gilda Naibey, rekan seprofesi Tendri pun merasakan hal yang sama. Kepada Media Papua ketika ditemui disekertariat PNPM Mandiri Kantor Distrik Sentani Timur, Gilda mengakui Tenri banyak memberikan masukan baginya mengenai tugas mereka sebagai pendamping. Apalagi Tenri juga merupakan orang yang cukup lama bergelut dalam bidang ini. ”perbedaan pendapat juga sering terjadi, namun dengan komitmen melayani, akhirnya kami kembali menyatukan perbedaan itu,”,kata Gilda yang baru setahun menjadi pendamping distrik.

Rupanya, kegigihan dan kerja keras Tenri juga tidak lepas dari dukungan suami tercinta. Pengertian yang besar atas pekerjaan sang istri, menjadikan Luis FS Fatunlibit sadar betul yang dilakukan sang istri merupakan bagian dari pelayanan kepada Tuhan. ”tanpa dukungan dan pengertian, dia tidak akan bekerja maksimal”,kata Luis yang juga bekerja di Papua Knowlege Center yang masih ada kaitannya dengan program PNPM Mandiri Respek.

Bagi warga kampung Asei kecil yang sulit percaya terhadap sesuatu yang baru bagi mereka, kehadiran Tenri manjadi bukti bahwa program PNPM Mandiri Respek yang nyata lebih dari sekedar kata-kata. Pola pendekatan yang menyatu lewat kebiasaan dan budaya menjadikan Tenri diterima oleh masyarakat.. ”Tenri salah satu pendamping terbaik yang kami miliki”,ujar Arnold Lopulalan, perwakilan Bank Dunia untuk wilayah Papua.



Read More......

Sang Eksekutor Belum Tersohor

*Lewat PNPM Mandiri, Warga Puay Menggapai Mimpi

KRIST- Tidak ada prestasi khusus yang dikantongi Carlos Suebu. Tidak juga menduduki jabatan penting. Dia hanya warga biasa, tak ada yang istimewa. Carlos Suebu adalah satu dari puluhan warga Kampung Puay, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, yang tak menyangka bisa menjadi eksekutor pembangunan di kampungnya. Sepanjang umurnya, sudah 62 tahun, sepanjang itu juga Carlos seperti bayi dalam pembangunan. Hanya mampu menerima suapan makanan, walaupun pedis yang harus dirasakan. Apa yang didambakan warga Kampung Puay, sering kali jauh panggang dari api.

Tapi kini mereka sudah bukan lagi bayi. Tetapi eksekutor pembangunan yang bisa menentukan kemana kampung yang berada di pinggiran Danau Sentani ini akan berlabuh. Warga setidaknya tak lagi hanya bisa bermimpi, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Respek Provinsi Papua, membantu warga untuk merubah mimpi menjadi nyata. Keinginan warga tak lagi terkubur dalam lumpur hidup di kedalaman Danau Sentani.

Namun sang eksekutor belumlah tersohor. Program pekerjaan jalan rabat beton (sebutan warga : penimbunan jalan) yang menjadi salah satu impian, belum menjadi nyata. Walaupun proposal kegiatan sudah dirampungkan sejak 8 bulan lalu, namun hingga kini belum juga ada pencairan dana. Bukan warga yang dikepalai Kepala Kampung Balsazar Doyapo yang tak punya nyali untuk membangun sendiri. Tetapi aba-aba siap bekerja dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Jayapura belum berkumandang. Belum ada jawaban dari kantor berpelat merah (BPMD, red) terhadap proposal warga. Ruas jalan kampung yang tak becek di musim penghujan, hingga kini masih menjadi bunga tidur.

Tak hanya Mama Esther yang setiap hari berjualan ke pasar yang hingga kini masih saja dengan keluhannya. Tetapi seluruh warga, mengeluhkan hal serupa. Saat jalan kampung becek, Yohanis, siswa SD Puay kelas 3 yang mengaku terkadang memilih berdiam diri di rumahnya yang sepi tanpa hiburan televisi, dari pada duduk di bangku kelasnya. Demikian juga langkah Mama Esther menuju Pasar Yoka - sekitar 20 Km dari Kampung Puay - menjadi lebih berat. Ada keengganan menghinggapi dirinya untuk melakukan kegiatan rutin dan wajib yang sudah dilakukannya puluhan tahun itu. Namun akhirnya dengan terpaksa, pekerjaan satu-satunya sebagai sumber kehidupan keluarga, harus dijalaninya.

“Berjalan hingga mata jalan depan kampong berbeban jualan ini jadi beban berat buat saya sebagai perempuan. Tapi beban ini akan ringan saat jalan tak becek, dan angkutan parkir dekat rumah,” turut Mama Esther yang sering kali membawa sagu puluhan kilo untuk dipasarkan di Pasar Yoka.

Mobil angkutan umum memang sudah terbiasa melayani warga, bahkan hingga dekat pemukiman mereka. Saat kondisi jalan normal, tak becek, barang jualan yang berlimpah pun tak menjadi beban. Cukup beberapa depa, beban di gendongan pun sudah berpindah ke dalam mobil angkutan. Terkadang tak perlu lagi seorang Mama Esther meminta uluran tangan sang suami untuk memuat barangnya ke mobil angkutan. Namun cerita ini akan berubah saat kucuran hujan menyulap jalan desa itu menjadi kubangan becek. Semangat pun terkadang berubah.

Penimbunan jalan kampung selebar sekitar 4 meter, sangat penting bagi warga. Tetapi entah untuk pemerintah yang sudah terbiasa ‘memaksakan’ jenis model pembangunan kepada rakyatnya ? Memang penting bagi warga, tak hanya Hendrik Yomo sebagai Ketua Tim Pengelola Kegiatan Kampung (TPKK) yang mau meluangkan berjam-jam waktunya untuk bermusyawarah. Yakob, seorang pemuda yang sebelumnya tak hoby kumpul bermusyawarah, saat itu punya pilihan baru, ikut berkumpul di Balai Kampung Puay untuk bermusyawarah. Kepala Kampung Puay Balsazar Doyapo saat itu juga tidak dengan tongkat kekuasaannya, memaksakan program pembangunan ciptaan pemerintah. Tetapi justeru harus mendengarkan dan menerima apa yang diusulkan oleh warganya.

Semangat 101 KK dengan 533 jiwa warga yang mendiami kampung seluas 147,2 Km dengan 19 meter di atas permukaan air laut ini, masih butuh ‘kesadaran’ pemerintah. Kesadaran bahwa impian warga yang sudah tertuang dalam proposal program kerja yang telah dirampungkan sejak 23 September 2008, namun hingga April 2009 belum juga ada jawaban. Delapan bulan menanti tentu sangat membosankan bagi warga, terlebih saat menanti melalui jalan kampung yang berlumpur. Mama Esther masih harus sering kali mengalami kemalasan untuk mengais rejeki di Pasar Yoka, sementara keluarga menanti kabar baik sang mama dengan jualan yang ludes terjual. Juga dengan Yohanis, anak kelas 3 SD Puay. Apakah buku raportnya harus dihiasi dengan deretan alpa, imbas kumpulan keengganan melintas di jalan becek menuju sekolah.

Mimpi masih sebatas mimpi, bukan salah warga yang sudah terbangun dari tidurnya. Juga bukan salah tenaga pendamping, seperti Ibnu Nugroho, yang mendampingi masyarakat Kampung Puay. Kewajiban serta tahapan proses yang menjadi jatah warga dan tenaga pendamping sudah sekian lama tuntas. Proposal yang telah diverifikasi di tingkat distrik telah dilayangkan ke meja Badan Pemberdaya Masyarakat Desa. Tak serta merta ditindaklanjuti instansi plat merah ini (BPMD, red). Proposal masih harus mengendap cukup panjang di meja BPMD. Entah apa yang menyebabkan dana pekerjaan jalan rabat beton yang merupakan program pembangunan tahun 2008 ini, belum juga ditransfer. Pihak BPMD sempat memberitahukan jika pada bulan Desember proses pencairan dana tidak bisa dilakukan. Alasannya, Desember dipenuhi dengan hari besar keagamaan. Desember telah berlalu, namun mimpi masih menjadi mimpi walaupun warga sedari subuh telah terbangun.

Para eksekutor pembangunan yang tidak lain adalah para warga Kampung Puay, memang belum tersohor. Buah manis dari mimpi memiliki jalan tanpa kubangan becek saat musim penghujan, belum juga dinikmati. Kebanggaan warga yang masih tertunda. Menunggu hingga kaki tak perlu lagi dibasuh dengan air danau yang tak sebersih dulu. Saat lumpur tak lagi melekat pada telapak kaki warga, para eksekutor akan tersohor. Dengan keterbatasan, akhirnya mampu untuk merubah mimpi menjadi kenyataan.

“Semangat warga dalam membangun daerahnya, perlu dijaga. Bukan mengendorkan dengan perilaku lama, yang sudah bukan jamannya lagi,” tutur tenaga pendamping asli Jawa kelahiran Nabire yang kini berbaur dengan warga Puay, Ibnu Nugroho. (Suroso)

Read More......

Berawal dari “Rhona Wali Khabam”

KRIST- PUAY, nama sebuah kampung yang berada di sudut Timur Danau Sentani. Sekarang, kampung ini dihuni oleh 101 KK atau 533 jiwa.

Terbentuknya Kampung Puay ini bermula ketika satu suku pengembara yang berasal dari Timur (PNG) mengembara hingga ke Danau Sentani. Nenek moyang mereka bernama “Rhona Wali Khabam“ yang berasal dari timur (Naujo-Waijo).

Moyang ini mempunyai dua orang istri. Istri pertama melahirkan seorang anak yang diberi nama “Feibero (Feobetauw). Sedangkan istri kedua, juga melahirkan dua orang anak yaitu Awoito atau Awoitauw.

Mereka tinggal bersama di Honong Jo (O Walakau). Tapi selalu terjadi pertengkaran antara Fiobero dengan Awoito. Gara-gara pertengkaran itu, Fiobero keluar dari Honong Jo menuju ke arah barat dan sampai di di Peso yang letaknya di pinggir Danau Sentani - dekat Kampung Puay.

Pada waktu Fiobero berangkat, ia bersama adiknya, Romini dan pesuruh besar “Wahey Tobilo (Wahey). Adiknya Awoito tidak tahan tinggal sendirian di Honong Jo, maka dia mengejar mereka sampai bertemu di Peso. Ada seorang yang tinggal di Peso (Puay) yang bernama “Bhu Morrouw “ (Khandauw).

Nama “PUAY“ diberikan oleh Bhu Morrouw. Dan Bhu Morrouw mengantar mereka dari Peso sampai ke Kampung Puay, kampung kini penduduknya mencoba menata hidup melalui program PNMP Mandiri-Respek.


Read More......

Secercah Harapan di Kampung Puay

KRIS- Kehidupan di Kampung Puay yang berada di sudut Timur bibir Danau Sentani, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, kembali bergelora, setelah seluruh rumah dibakar akibat peristiwa baku rebut jabatan ondoafi. Kini, Anak-anak mulai bersekolah. Perempuan dan laki-laki sibuk mencari ikan di danau dan juga berkebun. Awal Mei lalu, Suara Perempuan Papua merekam kehidupan mereka selama dua hari.

KETIKA sengatan mentari pagi menyapu embun yang mengambang di atas Danau Sentani pada awal Mei lalu, sebagian besar penduduk di Kampung Puay, masih terlelap. Tapi Levina Mimitim–Suebu harus meninggalkan rumah lalu mendayung perahunya menuju tempat pemasangan jaring ikan yang sudah dipasang sejak malam.

Perahu bercadik yang dikemudikan Levina itu, meluncur ke Itaufili - muara pembuangan air dari danau Sentani. Satu jam kemudian, perempuan itu kembali merapat di bawah kolong rumah panggung di atas danau.

Ikan yang didapat dari jaring itu, sudah dikelompokkan menurut jenis lalu disatukan dengan ikatan tali hutan. “Ini untuk dijual di Pasar Yoka dan yang ada di dalam Waskom itu, untuk dimakan,” ujar Levina sambil menujuk 10 ekor ikan di waskom plastik berwarna merah itu.

Setelah merapihkan ikan yang akan dijual itu di depan rumahnya, Levina menuju ke dapur dengan membawa ikan dalam waskom itu. Perempuan berusia 28 tahun itu menyiapkan sarapan untuk suami dan seorang anaknya yang masih duduk di kelas III SD itu.

Sekitar pukul 07.00 Waktu Papua (WP), Levina menumpang taksi menuju Kampung Yoka yang ditempuh sekitar 30 menit. Ibu dari satu anak ini kembali ke Puay, sekitar pukul 15.00 WP. Ia membawa sejumlah kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, daun teh dan kebutuhan lainnya. “Uang dari hasil jualan ikan, ada yang saya pakai untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan ada yang saya simpan untuk dikembalikan ke SPP (Simpan Pinjam Perempuan-Red),” kata Levina.

Levina, termasuk 10 perempuan di Kampung Puay yang mendapat pinjaman uang dari SPP. Jumlahnya antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. “Saya mendapat pinjaman Rp 1 juta. Uang itu saya pakai untuk membeli jaring ikan,” ujar Levina.

Jangka waktu pinjaman satu tahun. Sudah lima bulan sejak Desember 2008, Levina mengembalikan pinjamannya. “Setiap bulan, Levina mengembalikan Rp 100.000. Dan rata-rata, ibu-ibu yang mendapat pinjaman, sudah mengembalikan setengah dari jumlah uang yang dipinjam,” kata Tim Pengelola Pemberdayaan Kampung (TPPK), Hendrik Yomo.

Ketika sejumlah wartawan yang mengikuti pelatihan wartawan untuk pengawasan pembangunan yang dilakukan SOFEI, berkunjung ke Puay pada 24 April lalu, Mama Levina dan sejumlah perempuan lainnya, hadir dalam pertemuan di Balai Kampung. Mereka semua mengungkapkan kegembiran dan harapannya terhadap Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan Rencana Strategi Pembangunan Kampung (Respek).

“Kegiatan dari PNPM-Respek seperti SPP itu, sangat membantu kami untuk peningkatan ekonomi keluarga,” ungkap Levina yang diakui juga oleh Hendrik Yomo dan sejumlah warga Kampung Puay.
*****

KAMPUNG Puay pernah dibakar tahun 1999 ketika meletus perang perebutan kekuasaan ondoafi antara Rony Febetauw dengan Yosep Awoitauw. Tapi kini penduduk kampung ini berlomba-lomba untuk menata kehidupannya.

Levina, adalah contoh dari 101 keluarga di Puay yang mencoba menata kembali hidupnya melalui program pemberdayaan kampung yang diluncurkan pemerintah, baik pemerintah pusat, Provinsi Papua dan Kabupaten Jayapura.

Untuk program pemberdayaan dari pemerintah pusat dan provinsi disatukan dan diberi nama PNPM Mandiri-Respek. Program itu, mulai dirasakan manfaatnya oleh penduduk di Kampung Puay. Hal ini terbukti ketika Levina dan ratusan warga di Kampung Puay pada pertengahan 2007, mereka berembuk membahas penggunaan uang bantuan pemerintah yang diterima di kampung melalui program PNMP Mandiri-Respek.

Pada tahun anggaran 2007, jumlah uang yang diterima warga sebanyak Rp 65.141.500. Untuk itu dipakai untuk membiayai kegiatan pembangunan satu buah Mandi Kakus, fondasi bak air bersih dan program SPP. Tahun anggaran 2008, jumlah uang yang diterima Rp 100 juta. Uang ini dipakai untuk membiayai kegiatan timbun jalan dan kelanjutan kegiatan SPP.

“Kegiatan ini diusulkan oleh masyarakat melalui musyawarah kampung. Lalu diperimtimbangkan oleh TPPK. Setelah dana turun langsung ke TPPK, lalu program itu dikerjalan oleh masyarakat sendiri,” kata Ketua TPPK, Hendrik Yomo.

Menurut Yomo, kegiatan PNPM Mandiri -Respek ini baru berjalan dua tahun, tapi hasilnya mulai dirasakan manfaatnya. “Contohnya, program Simpan Pinjam Perempuan. Uang yang dipinjam itu untuk usaha jualan bensin, membeli jaring ikan, dan buka kios. Dari pendapatan yang diperoleh dari usaha itu, dipakai juga untuk membiayai anak sekolah dan membeli segala kebutuhan hidup setiap hari,” kata Yomo.

Walau begitu, Agnes Deda (25), salah satu warga Kampung Puay belum merasa puas dengan program pemberdayaan kampung . Pasalnya, untuk Kampung Puay saja, dana program pemberdayaan masyarakat itu bersumber dari dari berbagai lembaga dan masing-masing lembaga berjalan sendiri-sendiri.

“Program pembrdayaan masyarakat dari Kabupaten Jayapura berjalan sendiri dan dikelola langsung oleh kepala kampung. Sementara PNPM Mandiri Respek dikelola langsung oleh masyarakat melalui TPKK. Kedua program ini berjalan sendiri-sendiri,” tegas Agnes.

Pernyataan Agnes itu dibenarkan juga oleh Kepala Kampung Beltazar Doyamo. “Untuk penyusunan program pemberdayaan masyarakat yang bersumber dari pemerintah Kabupaten Jayapura itu, diajukan melalui musyawarah di tingkat distrik dan programnya ditentukan dan dikelola oleh aparat pemerintahan kampung,” kata Beltazar.

Bagi Agnes dan Hendrik Yomo, sebaiknya seluruh program pemberdayaan masyarakat kampung itu dibicarakan dan disusun oleh masyarakat sendiri. Kemudian, pengelolaan kekuangannya juga oleh masyarakat dengan tuntutan satu atau dua orang pendamping.
Hendrik Yomo memberikan contoh. “Untuk program PNPM Mandiri Respek, mulai dari perencanaan program sampai dengan melakukan kegiatannya, ditangani oleh masyarakat sendiri. “Inilah bukti, bahwa PNPM itu telah membawa sedikit harapan untuk perubahan di Kampung Puay.

Beltazar sendiri tidak mengelak, kalau antara program pemberdayaan dari Kabupaten Jayapura dan PNPM Mandiri-Respek, berjalan sendiri-sendiri. “Di Kampung ini, kegiatan pemberdayaan yang dirasakan langsung oleh masyarakat yaitu kegiatan yang dibiayai dari PNPM Mandiri – Respek.


Read More......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com