Monday, April 22, 2013

Orang Gunung Jadi Gubernur Tidak Injak Orang Lain

JAYAPURA,  — Adanya isu yang dihembuskan sekelompok orang atau kelompok belakangan ini bahwa kalau orang Gunung menjadi Gubernur  akan menginjak-injak orang lain. Hembusan itu ditepis Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang, Drs,Welington Lod Wenda,M.Si .
Kepada penulis, belum lama ini  di Jayapura,  Wenda yang sampai saat ini masih menjabat sebagai Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang membeberkan  tindak kekerasan yang saat ini mengganggu kehidupan masyarakat Papua itu yang  identik disebut-sebut  dilakukan oleh orang  gunung.
Welington Wenda dengan tegas bahwa hal itu sama sekali tidak benar, dan sangat keliru  dan kalau memang  ada maka dirinya sebagai orang tua di wilayah Pegunungan Tengah Papua meminta maaf  kepada  keluarga besar Papua, baik yang ada di pesisir pantai dan saudra yang datang dari luar Papua. 
Dikatakannya, orang gunung tidak ambisi jabatan. Orang gunung terbuka untuk semua yang ada di Tanah Papua, apakah asli Papua atau imigran dari luar Tanah Papua. “ Saya kasih contoh. Lihat di Pegunungan Bintang, masyarakat di sana dan tanya kepada mereka. Masyarakat di Pegunungan Bintang  sampai saat ini hidupnya rukun, damai, saling tolong-menolong, menghargai satu sama yang lain. Jangan buat issue miring yang tidak bermakna itu bahkan isu itu dapat meniptakan konflik antara sesama orang asli Papua,” katanya berang.
Dirinya berharap kepada semua komponen bangsa untuk membuka hati dan telinga dan tidak terpengaruh dengan isu-isu murahan yang sengaja diciptakan untuk merusak tatanan kehidupan di Papua karena orang asli itu tau adat. Hidup rukun, kasih, setia dan saying-menyayangi satu sama lain. “Orang gunung itu baik. Jangan karena kepentingan sesaat buat issue yang tidak jelas malah bikin rusak,” katanya mengingatkan. (krist)


Read More......

IJTI Papua Kecam Aksi Teror Terhadap Wartawan di Kaimana

JAYAPURA, —Lagi-lagi kekerasan terhadap wartawan di Tanah Papua, terjadi lagi. Kali ini giliran sejumlah wartawan di Kabupaten Kaimana, Papua Barat.
Menurut pernyataan sikap dari Ikatakan jurnalis Televisi Indonesia – Papua yang dikirm ke Koran Papua, bahwa ceritanya, gara-gara tulisan yang berkaitan dengan dugaan identitas palsu Bupati Kaimana, Drs Matias Mairuma,  sehingga  Yakob Onweng (Wartawan Fajar Papua) dan Dominika Hunga Andung (Wartawan Radar Sorong) mendapatkan ancaman dari sejumlah warga Kaimana yang menjadi kaki tangan Bupati Kaimana itu.
Dalam pernyataan sikap IJTI Papua No. 01/ IJTI-PAPUA/ I / 2013 yang ditandatangani Ketua Bidang Advokasi & Kesejahteraan Ricardo Hutaean dan Chanry Andrew Surupatty, disebutkan bahwa menurut Yakob Onweng (Wartawan Fajar Papua), kejadian pengancaman ini terjadi pada Jumat 18 Januari 2013 lalu, dirinya diancam sekitar pukul 17.00 WIT oleh beberapa orang yang mengaku dekat Bupati Kaimana. Mereka mengancam Yakob Onweng dengan umpatan agar menghentikan pemberitaan soal kasus-kasus Bupati Kaimana karena dianggap pemberitaan yang ditulis sudah keterlaluan.
Bukan hanya itu, Yakob Onweng mengaku, rumahnya dicat oleh orang tak dikenal dengan sejumlah tulisan dengan umpatan. Karena merasa takut, dirinya langsung melaporkan hal itu kepada Kepolisian Resort Kaimana pada Jumat 18 Januari 2013.
Pengancaman tersebut bukan hanya terhadap Yakob saja, tetapi Dominika Hunga Andung, wartawan Radar Sorong pun mendapatkan ancaman serupa. Menurut Dominika, ada empat orang ke rumahnya. Dari empat orang itu,  ada dua perempuan yaitu Oce Latuperisa dan Mince Titirlalobi. Sedangkan dua laki-laki lagi, tidak dikenal.
Keempat orang ini mengancam Dominika Hunga Andung untuk tidak boleh lagi menulis pemberitaan tentang kasusnya Bupati Kaimana. “Rekaman ancaman itu saya pegang sebagai barang bukti,” kata Hunga Andung.
Meski Dominika sudah menjelaskan bahwa dia dan beberapa temannya sudah tidak menulis berita itu, tetapi mereka tetap ngotot dan mengancam untuk tidak menulis lagi.
Dominika Hunga Andung juga mengakui, setelah ancaman tersebut, dirinya langsung melaporkan hal itu ke Polres Kaimana. Laporan dengan nomor polisi /LP-K/08/1/2013/Papua/Res Kaimana/SPKT tertanggal 19 Januari 2013.
Kasus pengancaman terhadap beberapa Jurnalis di Papua Barat adalah buntut dari pemberitaan tentang dugaan Indentitas palsu yang disandang oleh Bupati Kaimana Drs. Matias Mairuma yang sempat diberitakan oleh beberapa media di Papua Barat.
Atas kasus pengancam tersebut, IJTI Papua, menilai bahwa dalam menjalankan fungsinya, pers dilindungi undang-undang. Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Selain itu, Pasal 4 ayat 3 menyebutkan, “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Pasal lainnya, Pasal 6 d mengatakan pers nasional berperan melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
IJTI Papua menilai tindakan pengancaman dan pemaksaan kehendak yang dilakukan oleh beberapa orang dekat Bupati Kaimana terhadap sejumlah wartawan di Kaimana beberapa waktu lalu bertentangan dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Semestinya para orang dekat Bupati Kaimana, ataupun Bupati Kaimana sendiri dapat menempuh cara penyelesaikan sengketa pemberitaan menurut Undang-Undang Pers, yakni menggunakan hak jawab.
Kalaupun tidak puas bisa mengadukan ke Dewan Pers. Jika itu pun tidak puas bisa menempuh jalur terakhir melapor ke kepolisian dan menyelesaikan kasus lewat pengadilan.
Oleh karena itu, dalam kasus ini IJTI Papua menyatakan sikap: Pertama, mengecam tindakan kekerasan (pengancaman dan pemaksaan kehendak) yang dilakukan oleh beberpa orang dekat Bupati Kaimana Drs. Matias Mairuma. terhadap Dua wartawan yakni Yakob Onweng (Wartawan Fajar Papua) dan Dominika Hunga Andung (Wartawan Radar Sorong). Kekerasan dengan alasan apapun tidak bisa dibenarkan. Dalam menjalankan profesinya, jurnalis mendapat perlindungan hukum ( Pasal 8). Oleh karena itu, kekerasan terhadap jurnalis bertentangan dengan Undang-Undang Pers.
Kedua, mendesak Kepolisian Resor Kaimana untuk mengusut hingga tuntas kasus kekerasan yang menimpa Dua wartawan yakni Yakob Onweng (Wartawan Fajar Papua) dan Dominika Hunga Andung (Wartawan Radar Sorong).
Ketiga, menyesalkan tindakan pengancaman dan pemaksaan kehendak yang dilakukan oleh orang- orang dekat Bupati Kaimana Drs. Matias Mairuma dan mendorong untuk menempuh mekanisme penyelesaikan sengketa berita dengan cara-cara yang sudah diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Hak Jawab.
“Semoga kasus-kasus kekerasan terhadap Jurnalis di Tanah Papua tidak berulang di masa depan. Mari kita jaga dan perjuangkan kebebasan pers di tanah ini,” ungkap Chanry Andrew Surupatty. (kans)

Read More......

Mengkaji Isi Media Massa di Jayapura dan Aksi Potong Pohon Beringin


Oleh : Krist Ansaka (*)

PEKAN lalu, media massa di Jayapura dan juga di luar Jayapura memberitakan tentang rencana Gubernur Papua, Lukas Enembe untuk menebang pohon beringin yang berada di depan Kantor Gubernur Provinsi Papua di Dok II, Jayapura.
Rencana ini ternyata mendapat tanggapan beragam. Ada yang pro dan ada yang kontra. Bagi kelompok yang pro mempunyai alasan sendiri. Begitu pun yang kontra punya alasan sendiri.
Rencana Lukas Enembe itu dan pendapat dari kelompok yang pro dan kontra itu, telah mewarnai halaman dan durasi di media massa di Jayapura.
Rencana potong pohon beringin ini hanya sebagai contoh dari kebijakan penguasa yang diberitakan di media massa.
Dan, media massa dalam pemberitaannya, hanya menyajikan informasi, baik informasi tentang rencana Gubernur Papua maupun komentar dari kelompok yang pro dan kontra. Di sini media massa, nampak bahwa media massa hanya sebagai institusi informasi.
Pada konteks ini, terjadi bias berita karena media massa tidak berada di ruang vakum. Padahal sesungguhnya, media massa berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbegai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam.
Media, dalam hubungan dengan kekuasaan, terutama karena anggapan bahwa media sebagai sarana ligitimasi. Media massa seperti lembaga pendidikan, agama seni, dan kebudayaan, merupakan bagian dari alat kekuasaan yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideplogical states apparatus).
Tapi ada yang berpendapat, media merupakan arena pergulatan antarideologi yang saling berkompetisi. Ini berarti, media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat  membangun kultur dan ideologi yang dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.
Walau begitu, kita semua sepakat, bahwa media massa bukanlah sesuatu yang bebas, independen. Tapi media massa memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Jelasnya, ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa.  Di samping kepentingan ideologi antara masyarakat dan negara. Sementara itu, dalam diri media massa juga  terselubung kepentingan yang lain. Misalnya, kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan (suistaibilitas) lapangan kerja bagi para karyawan dan sebagainya. 
Dalam kondisi dan possis seperti ini, media massa tidak mungkin berdiri statis di tengah-tengah. Dia akan bergerak dinamis di antara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Kenyataan inilah yang menyebabkan terjadinya bias berita di media massa yang sulit dihindari.
Oleh sementara orang, media (pers) acap disebut sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Hal ini disebabkan oleh suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan media dalam kaitannya dengan pengembangtan kehidupan sosial-ekonomi dan politik masyarakat.
Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, media sebagai satu institusi yang dapat membentuk opini publik antara lain karena media juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan atau suatu kepentingan atau citra yang direpresentasikan untuk diletakan dalam konteks kehidupan yang lebih empiris.
Sehubungan dengan hal tersebut, di sini nampak bahwa sebenarnya media massa berada pada posisi yang medua, dalam pengertian, bahwa ia dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif. Tentu saja atribut-atribut normatif bersifat sangat relatif, tergantung pada dimensi kepentingan yang diwakili.
Di sini nampak bahwa, media massa merupakan sebuah kekuatan raksasa yang diperhitungkan. Dalam berbagai analisa tentang kehidupan sosial, ekonomi dan politik, media massa sering ditempatkan pada salah satu variabel determinan. Bahkan terlebih lagi, media massa dalam posisinya sebagai institusi informasi, dapat dipandang sebaagai faktor yang paling menentukan dalam proses perubahan sosial-budaya dan politik.
Oleh itu, dalam konteks media massa sebagai institusi informasi, maka media massa dipandang sebagai “urat nadi pemerintah” (the nerves of government). Hanya mereka yang mempunyai akses kepada informasi yang bakal menguasai percaturan kekuasaan. Atau paling tidak, urat nadi pemerintah itu sebenarnya berada di jaring-jaring informasi.
Sebagai “urat nadi pemerintah”, telah memunculkan anggapan sebagaian orang, bahwa tidak pernah dan tidak akan memberitkan kebenaran atau kenyataan apa adanya. Dan sebagai “urat nadi pemerintah”, media massa cenderung untuk tidak menunggu peristiwa lalu mengejar, dan memahami kebenaran serta memberitakannya kepada publik.  Media mendahului semua itu. Media menciptakan peristiwa, menafsirkan dan mengarahkan kepada terbentuknya sebuah kebenaran.
Di sini nampak, bahwa media massa telah  membentuk dirinya sebagai elite kekuasaan baru. Dan wartawan tidak lagi menjadi kelas empat. Para wartawan ini telah membentuk kelas baru. Dan anggapan kono, bahwa wartawawan sebagai anjing penjaga itu, kini telah berubah. Wartawan dan media massanya, telah tumbuh menjadi anjing yang sangat besar dan menakutkan.
Kerena itu, reporter sebagai pencari dan pengolah informasi, menghadapi dua tantangan. Pertama, repoter harus menahan godaan untuk tidak menjadi bagian dari peristiwa (rencana Gubernur Papua memotong pohon beringin) dan wartawan mengorbankan tanggungjawab kepada khalayak berita. Kedua, reporter tersebut harus mengakui bahwa seleksi sumber berita dan persoalan yang diajuykannya, bukan hanya untuk mempengaruhi kisah itu sendiri tapi juga membentuk opini publik. Terlepas dari kedua tantangan ini, tapi reporter atau media massa harus paham bahwa tanggungjawabnya terutama kepada khalayak berita bukan  kepada sumber berita.
Dengan tanggungjawab kepada khalayak berita itu yang akan mengamankan kebebasan pers di Negeri Kasuari – Papua. Semoga ! (*) = Penulis adalah Mantan Jurnalis di Papua

Read More......

TAHUKAH KAMU, MENGAPA AKU DITANAM DI DEPAN KANTOR GUBERNUR???

Oleh Lien Tamnge-Maloali (Catatan) 



BERINGIN YANG DITANAM DI DEPAN KANTOR GUBERNUR PAPUA LAMBANG KEBERSAMAAN DALAM MELINDUNGI HUTAN PAPUA DENGAN MENGEMBANGKAN SEKTOR REAL
Betapa bangganya kita apabila kita melihat apa yang kita tanam akhirnya tumbuh besardan rimbun, dan menjadi tempat berlindungnya banyak orang, menjadi tempatbertelurnya burung-burung di udara, tenpat tinggal cecak pohon, laba-laba lebah, dan berbagai mahluk yang selalu ada bersama dengan pohon dan berfungsi membersihkan udara disekitarnya.
Bayangkanjika HPH melakukan pilih, tebang, dan tanam kembali pasti yang 30 tahun lalu di tanam, pohonnya pasti sudah sebesar ini...

Berikut ini kisah tentang mengapa sampai ada pohonberingin besar dan rindang itu di halaman depan Kantor Gubernur Papua yang umurnya baru 38tahunan Suatu hari di tahun 1976 (saya lupa tanggalnya persis, tapi bisa dilihat di lobi kantor Gubernur Papua), pagi hari, masuk wali kelas kami dan mengumumkan bahwa kelas kami terpilih untuk ikut Upacara  Peresmian Gedung Kantor Gubernur di Dok II,  salah satu agenda peresmian hari itu adalah penanaman beberapa pohon-pohon sebagai perlambangan kebersamaan untuk melindungi hutan papua dan kembangkan sektor real bagi masyarakat Papua.  Sehubungan dengan Gubernur Irian Jaya pada waktu itu Kol. Soetran mantan bupati Trenggalek yang yang pernah sukses membawa masyarakat Trenggalek berjaya pada sektor real, maka Soetran pun mencanangkan program utama pertanian dan perkebunan, sehingga pada masa pemeritahannya di Irian Jaya, beliau mencanangkan masyarakat untuk menanam cengkeh.  Sampai-sampai Bagian depan halamanGedung Negara pun ditanami pohon-pohon cengkeh (3 setengah tahun ditanam akhirnya cengkeh itu berbunga). Beliau ingin agar masyarakat tidak hanya hidup dari memanfaatkan hasil hutan sebagai sumber pendapatan, tetapi ingin memberikan ruang dan waktu agar masyarakat mengerti untuk dapat mengelola hutan dengan baik dan bijaksana,beliau mengajarkan masyarakat untuk bertani dan berkebun cengkeh (memanfaatkan kebun-kebun yang sudah ada).


Sehingga pada saat peresmian Gedung Kantor Gubernur Irian Jaya, Agenda lain sebelum Peresmian Gedung Kantor Gubernur dilakukan penanaman pohon perlambang kehidupan untuk MENGINGATKAN Orang Papua bahwa Hutan harus dikelola dengan baik dan dijaga keasriannya secara bersama-sama, maka pada hari itu setelah peresmian Gedung Kantor Gubernur Propinsi Irian Jaya, maka dilanjutkan dengan acara Penanaman POHON BERINGIN KEBERSAMAAN DALAM MENJAGA HUTAN PAPUA DENGAN MENDORONG PENINGKATAN SEKTOR REAL BAGI MASYARAKAT PAPUA.  Sebenarnya ada dua pohon yang kami tanam tetapi yang satu tidak dapat hidup dan tinggallah satu saja yang hidup dan menjadi besar, dan menjadi ICON PERLINDUNGAN HUTAN di Kantor Gubernur, jika masyarakat datang ke Kantor Gubernur dapa berteduh dibawah naungannya, tanpa berpikir tentang salah satu lambang partai bahkan.  Sebab saat pohon itu di tanam, orang Papua mengetahui PAYUNG SEBAGAI LAMBANG GOLKAR.  Sayang pohon ini harus dimusnahkan dengan alasan yang kurang jelas.  Karena waktu ditanam alasannya jelas sekali.  PERLINDUNGAN TERHADAP HUTAN SECARA BERSAMA-SAMA dan semboyang ini tak pernah dituliskan pada pohon sehingga pada tanggal 19 April 2013 ditebang.

Pohon Beringin ini diberi tanah masing-mang satu skop oleh berbagai pihak diantaranya: Menteri Dalam Negeri, diikutioleh Gubernur,  Rohaniawan darimasing-masing denominasi dan Gereja Katolik, MUSPIDA, dan  berbagai komponen masyarakat mulai dari anaksekolah, SD, SMP, Mahasiswa, Pengajar, Pegawai Negeri, ABRI, Polisi,Dharmawanita, Dharma Pertiwi, Ondofolo dan Ormas serta Organisasi Sosial, dan juga Mentri Dalam Negeri dan Tamu dari Luar Negeri adalah Gubernur Province Sundown, PNG, hampir semua perwakilan komponen masyarakat, memberikan tanah pada pohon ini. INI MOMMENT PENTING YANG MENJADI LAND MARK ORANG PAPUA.

Dari sekolah menegah Atas, saya dan teman-teman se kelas saya.  Kelas 1 Bahasa, SMA GABUNGAN mewakili seluruh siswa-siswi SMA di seluruh Propinsi Irian Jaya untuk menuangkan satu sekop tanah ke dalam lubang di samping pohon beringin itu yang saat itu masih sekitar satu meter tingginya. Setelah tanam pohon itu, dan sirena tanda diresmikan berbunyi dan penandatanganan prasasti peresmian gedung, kita semua diundang masuk ke dalam gedung, sewaktu berjalan kami sempatkan diri untuk berlatih bahasa ingris kami dengan rombongan dari PNG dan sambil berseloroh, Gubernur Sundauwn berkata "Oneday this tree will be a wittness of the freedom" (ya.. ya.. ya... pasti sudah, oleh karenanya ditebang)

Nah yang ingin saya tegaskan adalah, bukan soal pohon itu ditanam tetapi kata-kata pencanangan untuk mengingatkan kita kepada kebersamaan dan perlindungan hutan,maka sebagai salah satu orang yang turut memberikan tanah kepada pohon beringin itu untuk bisa hidup sampai sekarang.

Saya marah dan protes keras atas pemberitaan tentang rencana penebangan pohon Beringin Rindang Asli Papua, yang di kota Jayapura tersisa 3 pohon saja, dua diantaranya yang satu jenis ada di Kantor Gubernur dan satu lagi di halaman SMK Negri 3 Kotaraja, karena BERINGIN YANG DI DEPAN KANTOR GUBERNUR ADALAH ICON BAGI SELURUH ORANG PAPUA UNTUK MENJADI BAROMETER PERLINDUNGAN HUTAN PAPUA DARI PENGRUSAKAN LINGKUNGAN ATAS NAMA PERCEPATAN PEMBANGUNAN, KEBUTUHAN NASIONAL DAN LAIN-LAIN YANG TIDAK BERTANGGUNG JAWAB TERHADAP KEMAKMURAN ORANG PAPUA YANG PUNYA TANAH, HUTAN, AIR DAN UDARA, DIMANA KAMI DICIPATAKAN DI ATASNYA DENGAN PEMBAGIAN YANG JELAS.  GUBERNUR KE GUBERNUR HARUS INGAT ITU.

Apalah arti hidup sebatang pohon beringin, yang tidak dapat berteriak memprotes perilaku manusia atas kesewenang-wenangan untuk menebang dan memotongnya ,padahal jika kita lihat dari fungsinya pohon ini telah lebih dari 30 tahun menyerap karbon dan setiap hari setia membersihkan udara di sekitarnya.  Papua adalah surga kecil yang jatuh kebumi, dalam hubungan dengan kesatuan.

Catatan penting bagi Orang Papua:
1.  Eko-region dunia Papua adalah Hutan Hujan Tropis yang harus di jaga keasriannya, karena jika hutan hujan tropis Papua rusak, maka tidak ada orang lain yang dapat menolong kita, karena bencana perubahan iklim telah melanda pulau dan benua lainnya.  Maka kita sendirilah yang harus bangkit untuk memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh bencana perubahan iklim itu.

2.  BUKANKAH POHON BERINGIN INI TELAH MENJADI ICON KEBERSAMAAN ORANG PAPUA YANG BERJANJI UNTUK MENJAGA HUTANNYA DAN MENGEMBANGKAN SEKTOR REAL.

3.  PEPATAH ORANG ADAT ADALAH, KALAU KITA HENDAK MENEBANG SATU BATANG POHON KITA HARUS BERTANYA KEPADA BURUNG-BURUNG, ULAR, LEBAH, LABA-LABA, TIKUS DAN JUGA CECAK YANG HIDUP DALAM NAUNGAN POHON ITU.

HIMBAUAN KEPADA PEMERINTAH TERUTAMA SKPD YANG BERKAITAN LANGSUNG DENGAN HUTAN DAN SUMBER ALAM LAINNYA, SEHARUSNYA KALIANLAH YANG HARUS BIJAKSANA UNTUK MEMBERIKAN NASEHAT YANG BAIK KEPADA GUBERNUR, UNTUK DAPAT MENGELOLA HUTAN DENGAN BAIK DAN TIDAK MENGUNAKAN BERBAGAI HAL TERUTAMA TEKANAN INVESTOR DAN BERBAGAI TEKANAN DARI PIHAK LAIN, YANG JELAS-JELAS MEMISKINKAN ORANG PAPUA.

HUTAN PAPUA MILIK ORANG PAPUA DAN BARNABAS SUEBU GUBERNUR LALU TELAH MENCANANGKAN "HUTAN KEMBALI KE MASYARAKAT", NAH TINGGAL SEKARANG BUKTIKAN BAHWA RAKYAT MENJADI SEJAHTERA DAN BERADAB SEPERTI YANG DICETUSKAN GUBERNUR PAPUA YANG BARU.

"Ukuran yang kita gunakan untuk mengukur sesuatu, ukuran yang sama juga akan dipakaikan kepada kita"

Jayapura, Pertengahan April 2013,
Lien Maloali
Penjaga Hutan Papua, Pekerja Lingkungan
pantang tebang pohon kalau tidak perlu

Read More......

Saturday, April 9, 2011

Diperlukan Satu Sistem Pengelolaan Dana di Kampung

JAYAPURA-Sejak program rencana strategi pembangunan kampung (Respek) dilaksanakan pemerintah Provinsi Papua pada 2007 lalu sampai sekarang banyak program sejenis dari pemerintah kabupaten maupun pemerintah pusat yang diluncurkan ke kampung-kampung di Papua.

Oleh karena itu, diperlukan satu sistem yang terpadu dalam mengelola seluruh sumber keuangan yang masuk ke kampung-kampung agar program pembangunan berhasil baik dan dinikmati masyarakat di kampung-kampung. Jika setiap sumber keuangan itu dikelola sendiri-sendiri, maka jangan harap kondisi kehidupan masyarakat di kampung berubah. Karena akan terjadi tumpang-tindih program.

Hal tersebut dikemukakan Kepala Distrik Ambatkuy, David Kateng saat ditemui di Kampung Anyumka Kabupaten Boven Digoel beberapa waktu lalu.

“Saya lihat, Kaka Bas Suebu punya komitmen paling besar untuk membangun masyarakat di kampung-kampung. Tetapi, kalau pendamping Respeknya tidak mengerti tujuan Respek dan persoalan masyarakat kampung, maka pembangunan di kampung akan berjalan lambat. Selain itu, banyak program pembangunan yang masuk ke kampung dengan program yang sama, tapi orangnya berbeda. Ini juga bisa bikin bingung masyarakat di kampung,” ujar David Kateng.

Oleh sebab itu, David menyarankan agar kalau bias, dana Respek dari Gubernur Papua Barnabas Suebu, dana pemberdayaan kampung yang diberikan oleh Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo maupun dana PNPM Mandiri yang diberikan oleh pemerintah pusat dikelola oleh satu tim dan didampingi satu pendamping agar pembangunan di kampung bisa berjalan baik dan berhasil. “Kalau masing-masing jalan, maka itu hanya menghamburkan uang, dan masyarakat di kampung akan tetap tertinggal,” kata David Kateng memberi saran.

Hingga 2005 tercatat 3.642 kampung, 184 kelurahan dan 343 distrik di Provinsi Papua dan Provinsi Irianjaya Barat. Namun tidak semua struktur pemerintahan kampung, kelurahan dan distrik itu berfungsi sebagaimana mestinya.

“Penyebabnya, antara lain kemampuan kepala dan aparat kampung masih rendah. Ada sejumlah kepala kampung yang tidak bisa membaca dan menulis. Diantara mereka ini, ada yang menjabat dalam jangka waktu yang relatif lama, bahkan ada yang menjabat selama 20 tahun. Selain itu, ditambah lagi dengan terbatasnya sarana dan prasarana kantor, gaji, insentif serta terbatasnya upaya-upya pemerintah dalam hal memberikan pelatihan dan pemberdayaan kepada para kepala kampung, aparat pemerintahan kampung dan distrik,” jelas Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu. (Krist Ansaka)





Read More......

Rekaman Jejak Soal Kualitas Kepemimpinan di Provinsi Papua

Bas – Alex Tetap Konsisten Bekerja untuk Rakyat

Mencintai dan menghargai rakyat. Itulah sikap Barnabas Suebu dan Alex Hesegem (Bas – Alex) selama empat tahun memimpin sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua. Sikap ini telah menetakan dasar bagi perubahan pola hidup di kampung-kampung. Walau begitu, tantangan masih tetap besar dan berat.

TIDAK terasa. Tinggal lima bulan lagi, tepatnya 25 Juli 2011, masa kepimpinan Barnabas Suebu dan Alex Hesegem sebagai gubernur dan wakil gubernur akan berakhir. Selama hamper lima tahun memimpin, Bas – Alex tetap konsisten bekerja bagi Papua Baru. Betulkah demikian? Coba kita kita simak.

Jelang berakhir masa jabatan Bas-Alex, muncul berbagai pernyataan sinis yang mempertanyatakan konsistensi Bas – Alex itu. Pernyataan sinis itu muncul lantaran ketidak tahuan berbagai pihak tentang gebrakan yang dilakukan Barnabas Suebu untuk mendongkrak kesejahteraan orang asli Papua di kampung-kampung, serta mengkikis aksi pesta pora para birokrat.

Sebelum Bas-Alex memimpin, para biropkrat pesta pora dengan dana Otsus melalui proyek-proyek. Tapi kini, pesta pora alis korupsi itu diberantas dan satu persatu pejabat masuk bui. Sementara itu, dengan kebijakan Rencana Strategi Pembangunan Kampung (Respek), rakyat di kampung-kampung mulai bangkit untuk menata diri dan kampungnya sehingga awal dari perubahan mulai Nampak di kampung-kampung.

Bas-Alex masih tetap konsisten. Sejak November 2006, untuk pertama kalinya Barnabas Suebu berdiri di hadapan anggota DPRP untuk menjelaskan secara terinci tentang Visi Papua Baru – yaitu suatu Visi tentang membaiknya kesejahteraan penduduk asli dan seluruh rakyat Papua.

Perbaikan kesejahteraan itu melalui pemanfaatan kekayaan alam Papua secara bijaksana dan berkesinambungan sehingga terciptanya suatu masyarakat Papua yang takut kepada Tuhan, patuh pada hukum, menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia, dan menghargai kebudayaan dan adat istiadatnya, serta terwujudnya suatu tata kelola kepemerintahan yang baik, profesional, bertanggung jawab dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme di seluruh jajaran dan tingkatan pemerintahan di Provinsi Papua.

Sejak dilantik selaku Gubernur dan Wakil Gubernur, Bas dan Alex terus konsisten mewujudkan Visi itu melalui lima misi Papua Baru, yaitu pertama, peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup penduduk asli dan seluruh rakyat Papua. Kedua, peningkatan kualitas pelayanan publik oleh lembaga pemerintahan dan swasta yang berfokus pada kampung. Ketiga, percepatan pembangunan infrastruktur. Keempat, peningkatan daya saing Papua sebagai tempat berinvestasi. Dan kelima, pemantapan kehidupan bermasyarakat yang adil dan demokratis.

Kelima misi itu diwujud-nyatakan dengan menerapkan tiga kebijakan dasar, yaitu pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan, pembangunan yang berpusat pada rakyat dan mengutamakan kepentingan rakyat.

Konsistensi dan kerja keras selama tiga tahun ini telah menunjukkan hasil-hasil yang menggembirakan. Melalui pelaksanaan RESPEK (Rencana Strategis Pembangunan Kampung), yang salah satunya ditandai dengan penyaluran dana tunai atau block grant hingga mencapai jumlah Rp 1 triliun di kampung-kampung. Dengan Respek ini, Provinsi Papua telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 40,78 persen pada tahun 2007 menjadi 37,53 persen pada bulan Maret 2009, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan.

Keberhasilan kita bersama ini memperoleh apresiasi Presiden Republik Indonesia dalam pidato pada tanggal 3 Agustus 2009 yang lalu, yaitu ketika beliau menyampaikan pengantar/keterangan pemerintah atas Rancangan Undang-undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2010 di depan Rapat Paripurna Luar Biasa DPR RI di Jakarta.

Dalam kesempatan itu Presiden menyatakan bahwa selama dua tahun terakhir, yaitu tahun 2007 dan 2008, seluruh Provinsi di Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinannya. Tetapi, penurunan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia tercapai di Tanah Papua, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat, yaitu mencapai 4 persen.

Tidak saja tingkat kemiskinan berhasil kita turunkan, tetapi juga tingkat pengangguran terbuka telah turun secara cukup signifikan. Pada bulan Februari 2007 tingkat pengangguran tercatat sebesar 5,52 persen. Dua tahun kemudian, yaitu pada bulan Februari 2009, angka pengangguran mencapai yang terendah dalam lima tahun terakhir, yaitu sebesar 3,19 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dana pemerintah pada umumnya, ditambah dengan investasi swasta maupun usaha-usaha ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat melalui sektor formal maupun informal, telah mampu menciptakan kesempatan kerja bagi anggota masyarakat yang belum memiliki pekerjaan.

Walau kerja keras Bas-Alex telah mewujudkan peningkatan kualitas dan cakupan pembangunan yang luar biasa selama empat tahun, namun capaian itu masih jauh dari cita-cita besar, yaitu Papua Baru yang sudah dicanangkan empat tahun lalu.

Itulah sebabnya, menurut Barnabas Suebu, ada dua prinsip mendasar yang harus dipegang bersama selama melaksanakan pembangunan di tahun 2010. Pertama, kita harus mampu mempertahankan semua prestasi yang telah kita capai di semua sector pembangunan. Kedua, kita harus bekerja lebih keras, lebih cerdas dan lebih efisien, dengan memanfaatkan sebaik-baiknya semua sumber daya dan dana yang kita miliki untuk menciptakan inovasi dan terobosan demi meningkatnya kinerja pembangunan secara lebih signifikan pada tahun 2010 dan tahun-tahun berikutnya. krist ansaka


Read More......

Tuesday, June 16, 2009

Bekal Hati Demi Sebuah Perubahan

KRIST- Menjadi seorang pendamping distrik tidaklah cukup hanya berbekal ijasah sarjana. Seorang Pendamping mutlak memiliki jiwa sosial yang tinggi dan terlebih memiliki hati untuk melayani.

Akhir bulan lalu, Uly Mariani dari Media Papua mendapatkan kesempatan meninjau lokasi mata air serta instalasi air bersih yang dikerjakan warga masyarakat lewat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Respek di Kampung Asei Kecil Distrik Sentani Timur.

Siang itu Jumat (24/4), ditemani dua orang warga, peserta pelatihan wartawan bersama pelatih meniti jalan setapak menuju lokasi bak penampung air bersih yang telah rampung dikerjakan warga sejak 3 bulan yang lalu. Setibanya ditempat itu, perlahan, tanpa dikomando, Tenri Leleang lalu memungut daun-daun yang berserakan disekitar bak penampung air bersih milik warga kampung Asei Kecil Distrik Sentani Timur. ”ditelaga ria, bertahun-tahun lamanya kami mengalami kesulitan mendapatkan air bersih”,ujar Toni Losal, ketua RW II, yang turut serta mendampingi kami, mengenang apa yang terlintas dibenaknya saat-saat dulu.

Sesekali, Tenri bercerita bagaimana warga kampung itu dengan swadaya melakukan pembangunan bak penampung sekaligus instalasinya, hal yang telah lama didam-idamkan oleh mereka. ”pengadaan air bersih ini merupakan program PNPM Respek tahun 2007 lalu yang merupakan usulan warga lewat musyawarah kampung,”jelas Tenri, dengan dialek papuanya yang cukup kental.

Tidak mudah bagi Tenri ketika pertama kali masuk dalam kultur masyarakat Sentani Timur yang memiliki karakter yang sangat keras dan kritis. Apalagi wilayah kampung dipinggiran kota, sangat mempengaruhi gaya hidup dan kebiasaan orang tua dulu.
”kebiasaan gotong royong hampir punah, warga cenderung individualis,”ungkap Esther Ansaka, warga setempat yang direkrut menjadi pendamping kampung oleh PNPM Mandiri Respek.

Namun, berkat pendekatan yag gigih serta semangat yang kuat, kehadiran Tenri dan kawan-kawan, yang memang dipersiapkan untuk mendampingi warga kampung memanfaatkan dana otonomi khusus membawa angin segar bagi sebuah jawaban atas pergumulan warga selama ini. ”Kaka Tenri mantap....,kata Ester sambil mengancungkan jempolnya
Wanita keturunan Bugis kelahiran Nabire 32 tahun silam ini memang luar biasa. Berbekal pengalaman serta niat hati yang tulus untuk melayani masyarakat, Tenri mampu beradaptasi dengan cepat ditengah-tengah masyarakat. ”sa su tiga tahun jadi pendamping distrik,”kata wanita lulusan Tekhnik Informatika salah satu perguruan tinggi di Jayapura.

Tenri tidak pernah lupa sebuah kejadian yang hampir menciderai kepalanya ketika mengikuti rapat distrik. Persoalan yang menjadi ujung pangkal perdebatan warga dan kepala distrik sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan materi rapat yang diagendakan, tanpa ada yang mampu melerai, suasana semakin memanas dan akhirnya sebuah kursi melayang diatas kepala Tenri yang saat itu sedang duduk diam mengamati pola tingkah mereka. ”ditentang, dilecehkan oleh beberapa orang yang tidak senang atas kehadiran kami pun kami hadapi dengan tenang,”katanya.

”kaka Tenri bilang ke kitong semua supaya jaga kepercayaan yang dikasih. Baru harus ikut deng aturan yang sudah disepakati sama-sama,”,kata Korlina Ansaka, Bendahara TPKK Kampung Asei Kecil sambil memperlihatkan dua buah buku pertanggungjawaban keuangan yang dipegangnya. Bagi Korlina, Tenri merupakan sosok perempuan yang gigih dan tidak gampang menyerah dengan keadaan. ”dimarah-marah, tetap saja kaka Tenri datang ke kampung. ”Kalau tong orang Papua sama-sama mungkin de su tra mau injak ini kampung lagi ka pa,”kata mama Etha, pengurus Posyandu dikampung tersebut. Sambil duduk-duduk dipondok pinang, Mama Etha bertutur bagaimana tiap kali Tendri turun ke kampung tersebut tanpa sungkan langsung menuju dapur masyarakat menikmati makanan yang dimasak oleh mama-mama disitu. ”mau pisang ka, keladi ka, gabus ka, kaka makan saja.,”timpal nene Yoku yang juga turut bersama-sama dengan mama Etha.

Gilda Naibey, rekan seprofesi Tendri pun merasakan hal yang sama. Kepada Media Papua ketika ditemui disekertariat PNPM Mandiri Kantor Distrik Sentani Timur, Gilda mengakui Tenri banyak memberikan masukan baginya mengenai tugas mereka sebagai pendamping. Apalagi Tenri juga merupakan orang yang cukup lama bergelut dalam bidang ini. ”perbedaan pendapat juga sering terjadi, namun dengan komitmen melayani, akhirnya kami kembali menyatukan perbedaan itu,”,kata Gilda yang baru setahun menjadi pendamping distrik.

Rupanya, kegigihan dan kerja keras Tenri juga tidak lepas dari dukungan suami tercinta. Pengertian yang besar atas pekerjaan sang istri, menjadikan Luis FS Fatunlibit sadar betul yang dilakukan sang istri merupakan bagian dari pelayanan kepada Tuhan. ”tanpa dukungan dan pengertian, dia tidak akan bekerja maksimal”,kata Luis yang juga bekerja di Papua Knowlege Center yang masih ada kaitannya dengan program PNPM Mandiri Respek.

Bagi warga kampung Asei kecil yang sulit percaya terhadap sesuatu yang baru bagi mereka, kehadiran Tenri manjadi bukti bahwa program PNPM Mandiri Respek yang nyata lebih dari sekedar kata-kata. Pola pendekatan yang menyatu lewat kebiasaan dan budaya menjadikan Tenri diterima oleh masyarakat.. ”Tenri salah satu pendamping terbaik yang kami miliki”,ujar Arnold Lopulalan, perwakilan Bank Dunia untuk wilayah Papua.



Read More......

Sang Eksekutor Belum Tersohor

*Lewat PNPM Mandiri, Warga Puay Menggapai Mimpi

KRIST- Tidak ada prestasi khusus yang dikantongi Carlos Suebu. Tidak juga menduduki jabatan penting. Dia hanya warga biasa, tak ada yang istimewa. Carlos Suebu adalah satu dari puluhan warga Kampung Puay, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, yang tak menyangka bisa menjadi eksekutor pembangunan di kampungnya. Sepanjang umurnya, sudah 62 tahun, sepanjang itu juga Carlos seperti bayi dalam pembangunan. Hanya mampu menerima suapan makanan, walaupun pedis yang harus dirasakan. Apa yang didambakan warga Kampung Puay, sering kali jauh panggang dari api.

Tapi kini mereka sudah bukan lagi bayi. Tetapi eksekutor pembangunan yang bisa menentukan kemana kampung yang berada di pinggiran Danau Sentani ini akan berlabuh. Warga setidaknya tak lagi hanya bisa bermimpi, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Respek Provinsi Papua, membantu warga untuk merubah mimpi menjadi nyata. Keinginan warga tak lagi terkubur dalam lumpur hidup di kedalaman Danau Sentani.

Namun sang eksekutor belumlah tersohor. Program pekerjaan jalan rabat beton (sebutan warga : penimbunan jalan) yang menjadi salah satu impian, belum menjadi nyata. Walaupun proposal kegiatan sudah dirampungkan sejak 8 bulan lalu, namun hingga kini belum juga ada pencairan dana. Bukan warga yang dikepalai Kepala Kampung Balsazar Doyapo yang tak punya nyali untuk membangun sendiri. Tetapi aba-aba siap bekerja dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Jayapura belum berkumandang. Belum ada jawaban dari kantor berpelat merah (BPMD, red) terhadap proposal warga. Ruas jalan kampung yang tak becek di musim penghujan, hingga kini masih menjadi bunga tidur.

Tak hanya Mama Esther yang setiap hari berjualan ke pasar yang hingga kini masih saja dengan keluhannya. Tetapi seluruh warga, mengeluhkan hal serupa. Saat jalan kampung becek, Yohanis, siswa SD Puay kelas 3 yang mengaku terkadang memilih berdiam diri di rumahnya yang sepi tanpa hiburan televisi, dari pada duduk di bangku kelasnya. Demikian juga langkah Mama Esther menuju Pasar Yoka - sekitar 20 Km dari Kampung Puay - menjadi lebih berat. Ada keengganan menghinggapi dirinya untuk melakukan kegiatan rutin dan wajib yang sudah dilakukannya puluhan tahun itu. Namun akhirnya dengan terpaksa, pekerjaan satu-satunya sebagai sumber kehidupan keluarga, harus dijalaninya.

“Berjalan hingga mata jalan depan kampong berbeban jualan ini jadi beban berat buat saya sebagai perempuan. Tapi beban ini akan ringan saat jalan tak becek, dan angkutan parkir dekat rumah,” turut Mama Esther yang sering kali membawa sagu puluhan kilo untuk dipasarkan di Pasar Yoka.

Mobil angkutan umum memang sudah terbiasa melayani warga, bahkan hingga dekat pemukiman mereka. Saat kondisi jalan normal, tak becek, barang jualan yang berlimpah pun tak menjadi beban. Cukup beberapa depa, beban di gendongan pun sudah berpindah ke dalam mobil angkutan. Terkadang tak perlu lagi seorang Mama Esther meminta uluran tangan sang suami untuk memuat barangnya ke mobil angkutan. Namun cerita ini akan berubah saat kucuran hujan menyulap jalan desa itu menjadi kubangan becek. Semangat pun terkadang berubah.

Penimbunan jalan kampung selebar sekitar 4 meter, sangat penting bagi warga. Tetapi entah untuk pemerintah yang sudah terbiasa ‘memaksakan’ jenis model pembangunan kepada rakyatnya ? Memang penting bagi warga, tak hanya Hendrik Yomo sebagai Ketua Tim Pengelola Kegiatan Kampung (TPKK) yang mau meluangkan berjam-jam waktunya untuk bermusyawarah. Yakob, seorang pemuda yang sebelumnya tak hoby kumpul bermusyawarah, saat itu punya pilihan baru, ikut berkumpul di Balai Kampung Puay untuk bermusyawarah. Kepala Kampung Puay Balsazar Doyapo saat itu juga tidak dengan tongkat kekuasaannya, memaksakan program pembangunan ciptaan pemerintah. Tetapi justeru harus mendengarkan dan menerima apa yang diusulkan oleh warganya.

Semangat 101 KK dengan 533 jiwa warga yang mendiami kampung seluas 147,2 Km dengan 19 meter di atas permukaan air laut ini, masih butuh ‘kesadaran’ pemerintah. Kesadaran bahwa impian warga yang sudah tertuang dalam proposal program kerja yang telah dirampungkan sejak 23 September 2008, namun hingga April 2009 belum juga ada jawaban. Delapan bulan menanti tentu sangat membosankan bagi warga, terlebih saat menanti melalui jalan kampung yang berlumpur. Mama Esther masih harus sering kali mengalami kemalasan untuk mengais rejeki di Pasar Yoka, sementara keluarga menanti kabar baik sang mama dengan jualan yang ludes terjual. Juga dengan Yohanis, anak kelas 3 SD Puay. Apakah buku raportnya harus dihiasi dengan deretan alpa, imbas kumpulan keengganan melintas di jalan becek menuju sekolah.

Mimpi masih sebatas mimpi, bukan salah warga yang sudah terbangun dari tidurnya. Juga bukan salah tenaga pendamping, seperti Ibnu Nugroho, yang mendampingi masyarakat Kampung Puay. Kewajiban serta tahapan proses yang menjadi jatah warga dan tenaga pendamping sudah sekian lama tuntas. Proposal yang telah diverifikasi di tingkat distrik telah dilayangkan ke meja Badan Pemberdaya Masyarakat Desa. Tak serta merta ditindaklanjuti instansi plat merah ini (BPMD, red). Proposal masih harus mengendap cukup panjang di meja BPMD. Entah apa yang menyebabkan dana pekerjaan jalan rabat beton yang merupakan program pembangunan tahun 2008 ini, belum juga ditransfer. Pihak BPMD sempat memberitahukan jika pada bulan Desember proses pencairan dana tidak bisa dilakukan. Alasannya, Desember dipenuhi dengan hari besar keagamaan. Desember telah berlalu, namun mimpi masih menjadi mimpi walaupun warga sedari subuh telah terbangun.

Para eksekutor pembangunan yang tidak lain adalah para warga Kampung Puay, memang belum tersohor. Buah manis dari mimpi memiliki jalan tanpa kubangan becek saat musim penghujan, belum juga dinikmati. Kebanggaan warga yang masih tertunda. Menunggu hingga kaki tak perlu lagi dibasuh dengan air danau yang tak sebersih dulu. Saat lumpur tak lagi melekat pada telapak kaki warga, para eksekutor akan tersohor. Dengan keterbatasan, akhirnya mampu untuk merubah mimpi menjadi kenyataan.

“Semangat warga dalam membangun daerahnya, perlu dijaga. Bukan mengendorkan dengan perilaku lama, yang sudah bukan jamannya lagi,” tutur tenaga pendamping asli Jawa kelahiran Nabire yang kini berbaur dengan warga Puay, Ibnu Nugroho. (Suroso)

Read More......

Berawal dari “Rhona Wali Khabam”

KRIST- PUAY, nama sebuah kampung yang berada di sudut Timur Danau Sentani. Sekarang, kampung ini dihuni oleh 101 KK atau 533 jiwa.

Terbentuknya Kampung Puay ini bermula ketika satu suku pengembara yang berasal dari Timur (PNG) mengembara hingga ke Danau Sentani. Nenek moyang mereka bernama “Rhona Wali Khabam“ yang berasal dari timur (Naujo-Waijo).

Moyang ini mempunyai dua orang istri. Istri pertama melahirkan seorang anak yang diberi nama “Feibero (Feobetauw). Sedangkan istri kedua, juga melahirkan dua orang anak yaitu Awoito atau Awoitauw.

Mereka tinggal bersama di Honong Jo (O Walakau). Tapi selalu terjadi pertengkaran antara Fiobero dengan Awoito. Gara-gara pertengkaran itu, Fiobero keluar dari Honong Jo menuju ke arah barat dan sampai di di Peso yang letaknya di pinggir Danau Sentani - dekat Kampung Puay.

Pada waktu Fiobero berangkat, ia bersama adiknya, Romini dan pesuruh besar “Wahey Tobilo (Wahey). Adiknya Awoito tidak tahan tinggal sendirian di Honong Jo, maka dia mengejar mereka sampai bertemu di Peso. Ada seorang yang tinggal di Peso (Puay) yang bernama “Bhu Morrouw “ (Khandauw).

Nama “PUAY“ diberikan oleh Bhu Morrouw. Dan Bhu Morrouw mengantar mereka dari Peso sampai ke Kampung Puay, kampung kini penduduknya mencoba menata hidup melalui program PNMP Mandiri-Respek.


Read More......

Secercah Harapan di Kampung Puay

KRIS- Kehidupan di Kampung Puay yang berada di sudut Timur bibir Danau Sentani, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, kembali bergelora, setelah seluruh rumah dibakar akibat peristiwa baku rebut jabatan ondoafi. Kini, Anak-anak mulai bersekolah. Perempuan dan laki-laki sibuk mencari ikan di danau dan juga berkebun. Awal Mei lalu, Suara Perempuan Papua merekam kehidupan mereka selama dua hari.

KETIKA sengatan mentari pagi menyapu embun yang mengambang di atas Danau Sentani pada awal Mei lalu, sebagian besar penduduk di Kampung Puay, masih terlelap. Tapi Levina Mimitim–Suebu harus meninggalkan rumah lalu mendayung perahunya menuju tempat pemasangan jaring ikan yang sudah dipasang sejak malam.

Perahu bercadik yang dikemudikan Levina itu, meluncur ke Itaufili - muara pembuangan air dari danau Sentani. Satu jam kemudian, perempuan itu kembali merapat di bawah kolong rumah panggung di atas danau.

Ikan yang didapat dari jaring itu, sudah dikelompokkan menurut jenis lalu disatukan dengan ikatan tali hutan. “Ini untuk dijual di Pasar Yoka dan yang ada di dalam Waskom itu, untuk dimakan,” ujar Levina sambil menujuk 10 ekor ikan di waskom plastik berwarna merah itu.

Setelah merapihkan ikan yang akan dijual itu di depan rumahnya, Levina menuju ke dapur dengan membawa ikan dalam waskom itu. Perempuan berusia 28 tahun itu menyiapkan sarapan untuk suami dan seorang anaknya yang masih duduk di kelas III SD itu.

Sekitar pukul 07.00 Waktu Papua (WP), Levina menumpang taksi menuju Kampung Yoka yang ditempuh sekitar 30 menit. Ibu dari satu anak ini kembali ke Puay, sekitar pukul 15.00 WP. Ia membawa sejumlah kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, daun teh dan kebutuhan lainnya. “Uang dari hasil jualan ikan, ada yang saya pakai untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan ada yang saya simpan untuk dikembalikan ke SPP (Simpan Pinjam Perempuan-Red),” kata Levina.

Levina, termasuk 10 perempuan di Kampung Puay yang mendapat pinjaman uang dari SPP. Jumlahnya antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. “Saya mendapat pinjaman Rp 1 juta. Uang itu saya pakai untuk membeli jaring ikan,” ujar Levina.

Jangka waktu pinjaman satu tahun. Sudah lima bulan sejak Desember 2008, Levina mengembalikan pinjamannya. “Setiap bulan, Levina mengembalikan Rp 100.000. Dan rata-rata, ibu-ibu yang mendapat pinjaman, sudah mengembalikan setengah dari jumlah uang yang dipinjam,” kata Tim Pengelola Pemberdayaan Kampung (TPPK), Hendrik Yomo.

Ketika sejumlah wartawan yang mengikuti pelatihan wartawan untuk pengawasan pembangunan yang dilakukan SOFEI, berkunjung ke Puay pada 24 April lalu, Mama Levina dan sejumlah perempuan lainnya, hadir dalam pertemuan di Balai Kampung. Mereka semua mengungkapkan kegembiran dan harapannya terhadap Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan Rencana Strategi Pembangunan Kampung (Respek).

“Kegiatan dari PNPM-Respek seperti SPP itu, sangat membantu kami untuk peningkatan ekonomi keluarga,” ungkap Levina yang diakui juga oleh Hendrik Yomo dan sejumlah warga Kampung Puay.
*****

KAMPUNG Puay pernah dibakar tahun 1999 ketika meletus perang perebutan kekuasaan ondoafi antara Rony Febetauw dengan Yosep Awoitauw. Tapi kini penduduk kampung ini berlomba-lomba untuk menata kehidupannya.

Levina, adalah contoh dari 101 keluarga di Puay yang mencoba menata kembali hidupnya melalui program pemberdayaan kampung yang diluncurkan pemerintah, baik pemerintah pusat, Provinsi Papua dan Kabupaten Jayapura.

Untuk program pemberdayaan dari pemerintah pusat dan provinsi disatukan dan diberi nama PNPM Mandiri-Respek. Program itu, mulai dirasakan manfaatnya oleh penduduk di Kampung Puay. Hal ini terbukti ketika Levina dan ratusan warga di Kampung Puay pada pertengahan 2007, mereka berembuk membahas penggunaan uang bantuan pemerintah yang diterima di kampung melalui program PNMP Mandiri-Respek.

Pada tahun anggaran 2007, jumlah uang yang diterima warga sebanyak Rp 65.141.500. Untuk itu dipakai untuk membiayai kegiatan pembangunan satu buah Mandi Kakus, fondasi bak air bersih dan program SPP. Tahun anggaran 2008, jumlah uang yang diterima Rp 100 juta. Uang ini dipakai untuk membiayai kegiatan timbun jalan dan kelanjutan kegiatan SPP.

“Kegiatan ini diusulkan oleh masyarakat melalui musyawarah kampung. Lalu diperimtimbangkan oleh TPPK. Setelah dana turun langsung ke TPPK, lalu program itu dikerjalan oleh masyarakat sendiri,” kata Ketua TPPK, Hendrik Yomo.

Menurut Yomo, kegiatan PNPM Mandiri -Respek ini baru berjalan dua tahun, tapi hasilnya mulai dirasakan manfaatnya. “Contohnya, program Simpan Pinjam Perempuan. Uang yang dipinjam itu untuk usaha jualan bensin, membeli jaring ikan, dan buka kios. Dari pendapatan yang diperoleh dari usaha itu, dipakai juga untuk membiayai anak sekolah dan membeli segala kebutuhan hidup setiap hari,” kata Yomo.

Walau begitu, Agnes Deda (25), salah satu warga Kampung Puay belum merasa puas dengan program pemberdayaan kampung . Pasalnya, untuk Kampung Puay saja, dana program pemberdayaan masyarakat itu bersumber dari dari berbagai lembaga dan masing-masing lembaga berjalan sendiri-sendiri.

“Program pembrdayaan masyarakat dari Kabupaten Jayapura berjalan sendiri dan dikelola langsung oleh kepala kampung. Sementara PNPM Mandiri Respek dikelola langsung oleh masyarakat melalui TPKK. Kedua program ini berjalan sendiri-sendiri,” tegas Agnes.

Pernyataan Agnes itu dibenarkan juga oleh Kepala Kampung Beltazar Doyamo. “Untuk penyusunan program pemberdayaan masyarakat yang bersumber dari pemerintah Kabupaten Jayapura itu, diajukan melalui musyawarah di tingkat distrik dan programnya ditentukan dan dikelola oleh aparat pemerintahan kampung,” kata Beltazar.

Bagi Agnes dan Hendrik Yomo, sebaiknya seluruh program pemberdayaan masyarakat kampung itu dibicarakan dan disusun oleh masyarakat sendiri. Kemudian, pengelolaan kekuangannya juga oleh masyarakat dengan tuntutan satu atau dua orang pendamping.
Hendrik Yomo memberikan contoh. “Untuk program PNPM Mandiri Respek, mulai dari perencanaan program sampai dengan melakukan kegiatannya, ditangani oleh masyarakat sendiri. “Inilah bukti, bahwa PNPM itu telah membawa sedikit harapan untuk perubahan di Kampung Puay.

Beltazar sendiri tidak mengelak, kalau antara program pemberdayaan dari Kabupaten Jayapura dan PNPM Mandiri-Respek, berjalan sendiri-sendiri. “Di Kampung ini, kegiatan pemberdayaan yang dirasakan langsung oleh masyarakat yaitu kegiatan yang dibiayai dari PNPM Mandiri – Respek.


Read More......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com