Monday, December 22, 2008

Suara dari Tanjung Elmo Jadi Rebutan


Sedikitnya 567 orang yang punya hak pilih dalam pemilihan bupati Kabupaten Jayapura, tinggal di Lokalisasi Tanjung Elmo, Distrik Sentani Timur. Suara mereka kini menjadi rebutan dari lima pasangan calon Bupati Jayapura. Tapi lokalisasi ini dibiarkan menjadi perkapungan kumuh.


HABIS manis, sepah dibuang. Ungkapan ini mungkin cocok buat anggota DPRD Kabupaten Jayapura dan juga calon bupati Jayapura. Soalnya, ketika musim pemilihan anggota legislatif dan pemilihan bupati seperti sekarang ini, para Pegiat Seks Komersial (PSK) itu menjadi rebutan para calon. Tapi setelah menjadi anggota DPRD atau menjadi bupati, para korban perdagangan perempuan itu dibiarkan. Bahkan, fasilitas umum di sana pun, hampir tak diperhatikan.

Trik politik yang dimainkan lima calon bupati Jayapura itu nampak ketika debat publik yang disiarkan Lensa Papua dan RRI Jayapura. Dalam debat itu, kelima calon mencoba menunjukan keberpihakannya kepada para korban perdagangan perempuan yang ada di Tanjung Elmo itu. Saat itu, para calon menunjukan, seolah-olah mereka itu penyelamat dari penghuni lokalisasi Tanjung Elmo.

Program yang dijual untuk masyarakat Tanjung Elmo pun, bervariasi. Ada program pemberdayaan perempuan melalui kegiatan jahit-menjahit, kursus salon dan lain-lain. Tak ada yang menawarkan program untuk menyelamatkan mereka dari lingkaran perdagangan perempuan.

Ada kecenderungan, para calon bupati dan juga anggota DPRD Kabupaten Jayapura yang mendapat suara terbanyak dari kawasan ini, menjadikan penghuni Tanjung Elmo sebagai objek politik. ”Mas, saat kampanye, kami diperlakukan dengan baik. Ada yang membagi-bagikan uang, baju kaos, payung dan lain-lain. Tapi nanti setelah mereka memang, kami dilupakan bahkan diperlakukan tidak manusiawi,” ungkap Iyem, perempuan asal Madiun yang terjerumus ke Tanjung Elmo pada tahun 1999 saat ditemui Suara Perempuan Papua di Tanjung Elmo, Kamis, 31 Agustus lalu.

Ungkapan Iyem ini juga diakui 20 orang perempuan lainnya, seperti Darti, Ningsi dan lain-lain. Bagi mereka, para calon bupati jangan menjadikan mereka objek politik. ”Kalau sudah menang, kami pun diperas untuk membayar retribusi. Kami ini orang kecil, jadi jangan diinjak-injak terus,” ungkap Darti yang mengaku pernah duduk di kelas III SMA di Malang.

Pengakuan dari Iyem, Darti dan Ningsi itu dibenarkan Sekretaris RW Tanjung Elmo, Titin. Menurut Titin, jumlah penduduk di Tajung Elmo ada sekitar 700 jiwa. Dari jumlah itu, yang punya hak memilih sekitar 567 orang yang terdiri dari laki-laki 231 dan perempuan 336 orang. ”Kami punya kekuatan terbesar di Keluruhan Nolokla, Distrik Sentani Timur. Jadi tak heran kalau para calon bupati mencoba untuk baku rebut suara di sini. Tapi dari lima calon bupati, hanya Habel Melkianus Suwae saja yang mencoba memperhatikan kami di sini,” ungkap Titin kepada tabloid ini, Jumat, 1 Agustus lalu.

Menurut data dari KPUD Kabupaten Jayapura, bahwa untuk Kelurahan Nonokla, jumlah pemilih ada 1.408 yang terdiri dari perempuan 762 dan laki-laki 646. Dari jumlah ini, pemilih terbanyak ada di Tanjung Elmo yaitu 567 orang dan pemilih perempuan yang terbanyak, yaitu 336 orang.

Jumlah pemilih ini, tampaknya menjadi suatu kekuatan politik yang perlu diperhitungkan para calon bupati untuk meraih suara.

Menurut Titin, sejak lokalisasi Tanjung Elmo ini ada sekitar tahun 1980-an hingga kini, pemerintah tak pernah memperhatikan warga di Tanjung Elmo. ”Jalan masuk saja, baru diaspal pada Juni lalu. Selain dari itu, tak pernah ada bantuan apa pun untuk warga di sini. Padahal, dari sisi jumlah penduduk, kami ini punya kekuatan politik,” kata Titin.

Lebih kritis lagi Titin mengungkapkan, pada pemilihan anggota DPRD yang lalu, ada sejumlah orang datang ke Tanjung untuk merayu supaya warga Tanjung Elmo memilih mereka. ”Setelah kami memilih dan mereka menjadi anggota DPRD, para wakil rakyat itu tak memperhatikan warga Tajung Elmo,” tegas Sekretaris RW itu.

Sedangkan untuk calon bupati Jayapura, warga Tanjung Elmo hanya berharap, agar bupati terpilih supaya memberikan truk sampah dan membangun fasilitas air bersih untuk warga di Tanjung Elmo. ”Kami hanya memohon dua hal saja. Tidak lebih dari itu. Karena selama ini, seluruh pembangunan di Tanjung Elmo, warga yang menanggung sendiri,” kata Titin.

Tampaknya, permintaan Sekretaris RW itu tidak berlebihan. Soalnya, saat ini perkampungan dari para Pegiat Seks Komersial itu nampak kotor dan cenderung menjadi perkampungan kumuh. ”Kalau kami ini penduduk Kabupaten Jayapura, maka pemerintah harus memperhatikan kami juga,” kata Titin.

Ketika ditanya tentang retribusi yang ditagih kepada setiap kendaraan yang masuk, menurut Titin, bahwa retribusi itu adalah keputusan warga. ”Setiap kendaraan roda empat dipungut Rp 1.000. Sedanghkan roda dua atau motor, dipungut Rp 500.- Uang ini kami kumpul untuk membiayai pihak keamanan yang melakukan patroli di Tanjung Elmo,” kata Titin.

Sedangkan untuk pelayanan kesehatan, menurut pengakuan Titin, bahwa pelayanan kesehatan bagi warga Tanjung Elmo hanya dilakukan oleh LSM, yaitu Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). ”Setiap minggu, pelayanan kesehatan satu kali,” kata Iyem.

Kalau pelayanan dari Dinas Sosial, tak pernah ada. ”Petugas dari Dinas Sosial, datang hanya untuk mencatat jumlah pramuria saja. Tapi kegiatan lain, tidak ada sama sekali. Tahun 1980-an, Dinas Sosial pernah membangun satu rumah di jalan masuk Tanjung Elmo. Awalnya, rumah itu dibangun untuk tempat pembinaan warga. Tapi rumah itu sudah beralih fungsi menjadi rumah tinggal dari pegawai Dinas Sosial. Jadi, seingat saya, Dinas Sosial, tak pernah melakukan kegiatan pembinaan di Tanjung Elmo,” kata Titin.

Sementara itu, menurut penelusuran tabloid ini, tindak kekerasan terhadap perempuan sering kali terjadi di kawasan ini. Ada perempuan yang dipukul, ada bunuh, ada ditipu dan berbagai kekerasan lainnya. ”Ya, kami ini hanya perempuan yang selalu diperlakukan tidak adil. Kami selalu jadi korban dari laki-laki yang menjadi tamu,” kata Iyem.

Selain itu, dari kawasan ini ada juga sejumlah anak-anak sekolah, baik SD maupun SMP. Sedangkan anak-anak SMA, mereka lebih memilih tinggal di luar. ”Mereka sudah besar, dan mungkin ada rasa malu sehingga anak-anak itu memilih untuk tinggal di rumah saudara atau kost di luar,” kata Titin.

Bukan saja itu, dari lokalisasi ini, ada sejumlah anak yang sudah menjadi sarjana dan bekerja di pemerintah. ”Kalau tidak salah, ada sekitar empat orang sarjana dari Tanjung Elmo,” kata Sekretaris RW Tanjung Elmo itu.

Tampaknya, di sana, di Tanjung Elmo itu, ada sekitar 700 jiwa manusia. Mereka juga punya hak hidup atau hak asasi yang perlu mendapat perlindungan dari pemerintah dan organisasi non pemerintah.
Krist Ansaka



0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com