Tuesday, December 9, 2008

Anak Balita itu Berperut Buncit



Melalui Rencana Stratageis Pembangunan Kampung bidang kesehatan, Gubernur Papua berharap, agar di kampung bisa tercipta gizi makanan yang lebih baik, kesehatan, pendidikan dan perumahan yang lebih baik, serta lingkungan yang bersih dan sehat. Buktinya ? Ikutilah potret pemberdayaan kampung bidang kesehatan berikut ini.


DI BAWAH sorotan terik mentari, pada awal Maret 2008, sebagian anak-anak di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya, bersandar di samping kandang babi. Perut mereka buncit. Bocah-bocah itu ikut orang tua mereka untuk mendengarkan pengarahan dari petugas kesehatan.

Sebagian dari anak-anak itu, berlindung di bawah pohon pisang atau pohon lainnya. Ada yang mengenakan koteka, tapi ada juga yang bercelana pendek tanpa baju atau mengenakan baju dengan celana pendek yang warna aslinya sudah pudar tertutup keringat dan kotoran bergumpal-gumpal akibat tanah yang melekat berhari-hari. Ingus pun terus meleleh dari hidung mereka.

Kebanyakan dari anak-anak itu, tidak mengenakan alas kaki. Mereka hampir tidak pernah mengenal sabun dan mandi secara rutin tiap hari. Keterbatasan pengetahuan mengenai sanitasi dan kebersihan membuat mereka tidak berupaya memperbarui pola hidup, perbaikan rumah tinggal, apalagi perbaikan di bidang sanitasi lingkungan.

Kenyataan itu bukan hanya terjadi di pedalaman saja, tapi juga di kawasan pesisir dan juga wilayah yang tak jauh dari pusat ibukota provinsi, seperti anak-anak di kampung-kampung di Kabupaten Jayapura, Keerom, bahkan di Kota Jayapura seperti di Kampung Mosso, Distrik Muara Tami.

Menurut penelusuran tabloid ini dari berbagai sumber, tampaknya sejak 1970 hingga kini, pelayanan kesehatan di Papua merosot. Disiplin pegawai menurun. Tidak ada kasih dalam pelayanan. Para dokter lebih mementingkan prakek di luar jam kerja.

Hal itu terbukti karena belum ada tanda-tanda penurunan Angkat Kematian Ibu (AKI) di Papua. Menurut hasil survey tahun 2001 yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia bersama Dinas Kesehatan Provinsi Papua, diperkirakan terjadi 7000-an kematian persalinan setiap tahunnya di Papua. Sedangkan untuk 2002 – 2007, belum ada datanya. Tapi ada kecenderungan, jumlah AKI terus meroket.

“Ini salah satu indikator, bahwa pelayanan kesehatan di Papua sangat merosot bila dibandingkan dengan pelayanan kesehatan periode tahun 1961 – 1969. Kemerosotan ini terjadi karena tidak ada kasih dari para dokter dan perawat dalam menjalankan tugas pelayanan. Apalagi, para dokter lebih mementingkan prakteknya dari pada pelayanan kesehatan bagi orang-orang di kampung-kampung,” ungkap petugas PMI Mimika yang juga mantan Kepala Seksi Penyuluhan Lansung Dinas Kesehatan Provinsi Irian Jaya tahun 1999, John Pattiata, belum lama ini.

Sementara itu, data dari Dinas Kesehatan (Januari 2006) menyebutkan, kesehatan anak balita di Papua tak hanya ditentukan dinas kesehatan, tapi juga tergantung dari berbagai aspek pembangunan di Papua. Misalnya ekonomi keluarga, transportasi, pertanian, sanitasi, informasi dan komunikasi, serta pendidikan.

Sebagai pembanding, status kurang gizi di Papua tahun 2005 sebanyak 14,3 persen, sementara gizi buruk 13,7 persen sehingga total gizi kurang dan gizi buruk 18,0 persen. Namun tidak banyak balita meninggal karena kurang gizi. Kalaupun ada, hal itu akibat komplikasi dengan penyakit lain, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), TB Paru, cacing dan malaria.

Sampel yang diambil untuk mengetahui keadaan gizi anak balita di Papua melibatkan 9.000 orang dari bebera kabupaten di pesisir pantai, seperti Jayapura, Sorong, Biak dan Timika. Kondisi gizi yang paling memprihatinkan adalah daerah pedalaman seperti Puncak Jaya, Paniai, Yahukimo, Tolikara, Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Jayawijaya.

Tampaknya, anak balita yang perut buncit, kaki dan tangan kecil bukan karena gizi buruk tapi akibat cacingan. Usus mereka besar karena mengkonsumsi umbi-umbian. Gas yang ada dalam perut menyebabkan susus mereka membesar sehingga perut pun kelihatan membesar. Kondisi ini tidak bisa diatasi selama umbi-umbian tidak dikelola untuk menjadi makanan pokok.

Meski begitu, angka kamatian anak balita pun sangat tinggi. Data di Dinas Kesehatan tahun 2003 menunjukan, kematian anak balita di enam kabupaten setiap tahun lebih dari 9.000 orang atau sekitar 156 per 1.000 kelahiran hidup.

Kematian bayi sekitar 6.078 per tahun atau sekitar 112 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu 578 per tahun atau sekitar 1.161 per 100.000 kelahiran hidup.

Menanggapi kondisi anak-anak di pedalaman, anggota Komisi E DPRP Papua, John Manansang mengatakan, bahwa pemerintah daerah, termasuk dinas kesehatan, memahami kondisi kondisi gizi di Papua dari sisi asal perut kenyang. Umbi-umbian seperti singkong tidak termasuk katagori gizi bagi kesehatan.

“Berepa pun kilogram umbi-umbian yang dikonsumsi anak balita, tidak berpengaruh bagi kesehatan secara keseluruhan, kecuali menghasilkan megagaster yang pada akhirnya membuat perut kembung dan melebar. Selama unsur-unsur gizi tidak memenuhi standar kesehatan, kebutuhan perut mendesak, sehingga orang tetap merasa lapar dan terus makan,” kata Manansang belum lama ini di ruang kerja Komisi R DPRP Papua.

Dokter yang sudah malang melintang di sejumlah kawasan pedalaman Papua menuturkan, hampir semua anak balita di Papua mengalami kekurangan protein, karbohidrat dan gizi.

Manangsang tidak setuju dengan data Dinas Kesehatan Papua yang menyebutkan, kurang gizi dan gizi buruk hanya 18 persen. Sebab hampir seluruh anak balita di Papua, terutama di daerah terpencil, seperti Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Puncak jaya, Tolikara dan Pania masuk dalam katagori gizi buruk dan kurang gizi.

Data dan informasi kesehatan di Papua lebih bernilai politis dibandingkan dengan menyampaikan kasus sesungguhnya di masyarakat. Banyak kasus tapi terkesan sengaja disembunyikan.

Manangsang menunjukan kasus kelaparan di Kabupaten Yahukimo yang membuat sejumlah warga di sana meninggal meski warga yang meninggal itu akibat komplikasi kelaparan dengan TB paru atau penyakit lainnya.

Dijelaskan, kahadiran cacing, TB paru ISPA dan malaria dalam tubuh balita, justru menunjukan kekuarangan gizi dalam tubuh anak balita itu. Gizi buruk membuat sistem imunologi dalam tubuh hancur (lemah) sehingga mereka mudah terserang berbagai penyakit.

Jadi perbaikan gizi makanan merupakan jalan keluar untuk mengatasi kondisi gizi buruk di Papua. Ini bukan tanggungjawab dinas kesehatan saja, pertanian dan tanaman pangan, dinas pekerjaan umum, perkebunan, permukiman dan kependudukan, serta dinas pendidikan.

“Perlu pemetaan wilayah gizi dari terparah, sedang, dan normal lalu diambil jalan keluar penanganan,” kata John Manansang.

Berasarkan kondisi ini, apakah dana yang melimpah di dinas kesehatan, pertanian dan tanaman pangan, dinas pekerjaan umum, perkebunan, permukiman dan kependudukan, serta dinas pendidikan dapat mampu mendongkrak kondisi gizi anak balita di Papua?

Seperti pernah ditulis dalam tabloid ini edisi 20 tahun 2004, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Dr. Tigor Silaban mengatakan, angka kematian ibu (AKI) untuk Papua pada tahun 2001 adalah 1161 per 100.000 kelahiran hidup.

“Yang terbesar adalah Kabupaten Yapen Waropen dengan AKI 1313 per 100.000 kelahiran hidup, dan terendah adalah Kabupaten Nabire dengan AKI 750 per 100.000 kelahiran hidup, angka angka diatas masih tergolong tinggi dibanding AKI Nasional, ” ungkapnya.

Semua data itu dari hasil survey tahun 2001. Lalu bagaimana dengan tingkat kematian ibu pada tahun 2002 – 2004? Menurut Tigor, untuk tahun 2002 sampai dengan 2004, Dinas Kesehatan belum mendapat angka yang pasti, karena belum dilakukan survey dalam tiga tahun terakhir ini. “Untuk melakukan survey, kita butuh biaya yang sangat mahal dan juga perlu informasi,” ujarnya.
.
“Ketika kita menanyakan jumlah AKI kepada bidan desa di kampung-kampung, mereka mengatakan bahwa tidak ada ibu yang mati, oleh sebab itu kemungkinan AKI akan mengalami perubahan dalam tiga tahun belakang ini.untuk tahun tahun kedepan kami akan lihat untuk melakukan survey lagi, ” kata Tigor.

Untuk itu, kata Tigor, saat ini pihaknya sudah meminta kepada dinas kesehatan di kota maupun Kabupaten untuk menghitung jumlah angka kematian ibu sehingga bisa mendapatkan AKI tingkat provinsi.

“Cuma sekarang tergantung dari dinas kesehatan di kabupaten dan kota saja. Apakah mereka punya uang untuk melakukan survey itu, karena AKI sangat terkait dengan data. Kalau data dari kabupaten (Puskesmas) saja tidak ada, maka sangat susah untuk melihat jumlah angka AKI secara keseluruhan, “ ujarnya.

Selain itu, rendahnya akses ibu terhadap pelayanan kesehatan juga satu faktor utama. Pertolongan terhadap ibu hamil dapat dilihat dari dua aspek yaitu; ibu yang belum memanfaatkan fasilitas kesehatan, dan fasilitas kesehatan yang kurang proaktif menjangkau ibu dan masyarakat lainnya.

Diakui Tigor, akses ibu terhadap fasilitas kesehatan sangat kurang sehingga mempengaruhi terjadinya kematian Ibu. “Ibu hamil seharusnya punya akses kepada puskesmas, tetapi sekarang banyak puskesmas sudah tidak aktif lagi. Polindes (poliklinik desa) tidak jalan, bidan tidak ditempat. Sehingga si ibu sulit untuk mendapat akses terhadap fasilitas kesehatan. Dan ini permasalahan yang terjadi di kabupaten dan kota di Papua. Karena polindes, pustu, puskesmas semuanya milik kabupaten dan kota, bukan provinsi. Kita hanya menghimbau agar dinas kesehatan kabupaten dan kota, segera fungsikan puskesmas, supaya ibu hamil bisa mendapat akses di fasilitas kesehatan tersebut dan itu merupakan masalah utama, ”ujarnya.

Hal lain kata Tigor, yang menghalangi akses ibu terhadap pelayanan kesehatan adalah persoalan geografis dan transportasi. Fakta menunjukan bahwa sebagian besar ibu masih berdomisili di daerah terpencil dan membutuhkan waktu bahkan sampai berhari hari untuk bisa mencapai fasilitas kesehatan. “Padahal untuk suatu penyelamatan ibu, rentang waktunya adalah 2 jam, disamping itu, alat transportasi umum belum tersedia setiap kampung atau kampung, ” ungkap Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua itu.
Krist Ansaka



0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com