Tuesday, December 9, 2008

Kemana Larinya Rp 23 Miliar?


Pembahasan 23 Raperdasi dan Raperdasus membutuhkan proses yang panjang. Biaya pun besar. Kabarnya, Rp 1 miliar pun tak cukup untuk satu peraturan. Benarkah?


CINCIN emas itu meningkar di jari manisnya. Pemakai cincin itu adalah salah satu anggota Panitia Legislasi DPR Papua. Ketika ditanya harga barang itu, dia mengelak. “Ah, cincin ini tak ada kaitannya dengan pembahasan Raperdasi dan Raperdasus,” katanya singkat.


Anggota dewan yang enggan disebut namanya itu mengaku, punya banyak teman di eksekutif. Apakah cicin emas itu hadiah hadiah dari teman-teman di eksekutif? Dia menjawab, “Ah, mau tahu saja.”

Maklum, anggota dewan seperti pemakai cincin emas itu – sering mendapat honor tambahan atau uang tip (angpau) dari setiap pembahasan materi yang diajukan ekskutif atau dari pihak swasta yang ingin menggolkan usulan proyeknya di ajukan ke pemerintah.

Ketika ditemui beberapa waktu silam itu, Pak Dewan ini selalu blak-blakan kalau bicara, termasuk kebiasaan teman-temannya berburu dan menerima angpau dari pemegang proyek di pemerintah maupun mitra kerjanya. “Pamali kalau ditolak,” kata Pak Dewan kala itu. Kini sulit sekali untuk mengorek soal penggunaan dana Rp 23 miliar untuk pembahasan Raperdasi dan Raperdasus. Bahkan berbagai pendekatan sudah dilakukan, tapi Pace yang satu ini sulit buka mulut, termasuk anggota Panitia Legislasi lainnya, maupun sekretaris dewan

Sikap menutup diri macam itu menyebar di kalangan anggota dewan. Hampir semua anggota dewan yang ditemui mingguan ini tak mau mengeluarkan satu patah kata pun ketika ditanya. Tapi anehnya, para anggota dewan sendiri baku tuduh ketika Gubernur Papua mengungkapkan, bahwa pemerintah provinsi telah mengucurkan dana yang cukup besar untuk pembahasan Raperdasi dan Raperdasus.

Lalu, Ketua DPRP, John Ibo pada 27 Oktober lalu tampil memberikan keterangan pers, bahwa tidak benar isu soal penyalahgunaan dana miliaran rupiah itu dan semuanya sudah diklarifikasi dalam pertemuan dengan panitia anggaran eksekutif, panitia legislasi dan panitia anggaran dewan.

Sampai di sinikah persoalan selesai? Mingguan terus melakuan penelusuran. Tapi hasilnya belum maksimal. Semua data yang diterima hanya datar-datar saja dan sangat diplomatis.

Katakan saja keterangan dari Ketua harian Panita Legislasi David Demas Patty dan Sekretaris Panitia Legislasi, Adul Hakim Aitarauw.

“Panitia legislasi tidak pegang uang. Kami hanya tahu kerja. Segala yang berkaitan dengan uang, silahkan tanya kepada Sekwan (sekertaris dewan,Red.) karena semua diatur dari sana,” kata David Demas Patty.

Lain lagi dengan Adul Hakim Aitarauw yang menjelaskan soal proses pembahasan Raperdasi dan Raperdasus secara umum. Ia mengakui, dana pembahasan Raperdasi dan Raperdasus sebesar Rp 23 miliar, sempat menjadi sorotan.

“Tapi masyarakat harus paham, apakah dalam proses pembahasan satu peraturan daerah khusus bisa dibiayai dengan Rp 1 miliar?” Tanya Hakim, nama yang akrap disapa dari Adul Hakim Aitarauw.

Hakim menjelaskan, proses pembahasan satu Raperdasi atau Raperdasus dimulai dari pembahasan di dewan sendiri, kemudian peraturan-peraturan itu dikonsultasikan ke staf ahli lalu dilakukan konsultasi publik ke seluruh kabupaten dan kota di Tanah Papua.

Masukan dari konsultasi publik itu dibahas lagi di dewan. Lalu, untuk melengkapi data dalam pembahasan, dilakukan studi banding ke Aceh, Bali, DKI Jakarta, Daerah Khusus Yogyakarta, Jawa Barat, dan Toraja di Sulawesi Selatan. “Deangan proses panjang seperti ini, apakah untuk satu Raperdasi atau Raperdsus cukup Rp 1 miliar?” Tanya Hakim.

Dijelaskan juga, dana yang diberikan eksekutif untuk membiayai 34 orang anggota Panitia Legislasi dengan proses yang panjang ini, pastilah kurang. “Tapi teman-teman anggota dewan cukup tahan banting. Kalau biaya perjalanan kurang untuk pergi ke daerah-daerah terpencil, mereka terpaksa menggunakan uang makan untuk sewa pesawat atau speedbod,” ungkap Hakim.

Dikatakan, untuk bahas hak kekayaan intelektual orang asli Papua, tanah adat, hukum adat, dan lain-lain, kita harus ke pelosok-pelosok, seperti Asmat supaya kita dapat mendengar dan melihat kondisi yang sebenarnya

Tentang studi banding dijelaskan, sebelum Aceh punya Otsus, mereka studi banding ke Papua yang sudah lebih dulu punya UU Otsus. Tapi begitu Aceh punya UU Otsus, langsung ada DPR Aceh dan mereka punya peraturan daerah khusus atau kanon. Untuk itu, kini Papua harus studi banding ke Aceh.

“Selain itu, panitia legislasi harus mengetahui sistem pemerintahan di Aceh, Jawa Barat, DKI Jakarta, Yogyakarta dan Bali. Sedangkan untuk masalah ekonomi kerakyatan, dilakukan studi banding ke Sulawesi Selatan sampai ke Toraja karena di sana masalah pengembangan ekonomi kerakyatan cukup bagus,” kata Hakim.

Selain itu Adul Hakim Aitarauw menjelaskan, Panitia Legislasi terdiri dari tiga kelompok kerja (pokja) yang ditetapkan melalui surat keputusan pimpinan DPRP Nomor 06/PIM-DPRP/2007 tentang penetapan ketua harian, sekertaris dan tim pokja. Ketua Harian Panitia legislasi DPR Papua yaitu Demas David Patty. Sekertarisnya Abdul Hakim Achmad Aitarauw.

Sedangkan untuk setiap pokja ada seorang pendamping. Pokja satu, pendampingnya Komaruddin Watubun. Ketua Pokja satu, Yulianus Rumbayrusi, sekertaris Idrus Khalwani. Anggotanya: Ir Waynand B Watory, Yance Kayame, Heny Arobaya, Bob Yacobus Pattipawae, Haryanto, Yoshepina Pigay, Zakarias Yappo dan Yohanes Kunewara. Asistennya; Ellyas Ansanay sebagai asisten produk hukum/ perda, Drs Ruben, Cornelius Suli, Ampi Ereguai sebagai staf administrasi/risala, Irianto Rachman, Davith L Waroy, Fandalen Waimbo, dan Mince Kruake.

Pokja dua, pendampingnya EV Yop Kogoya. Ketua Pokja, A Hakim Achmad Aitarauw dan sekertarisnya Longginus Sanggur. Anggota: Jan L Ayomi, Benny Renyaan, Yusak Atanay, H Djoko Aryanto, H Baharudin Usman dan Alberth Yogi. Assisten; Hiskia R, Erikson Siallagan, Natalen Dirk, Muksin, Daniel M Sinangke, Maklon Marahabia, Paulina C Kailahu, Rony Andius, Ismail dan Jefry Robaha.

Pokja tiga, pendampingnya Paskalis Kossay. Ketua Pokja, Demas David Patty dan sekertarisnya Frans Koromat. Anggota: Paulus Sumino, Miriam Ambolon, Obet Albert Sroyer, John Manangsang, H Ismail Rahakbauw, Jubelina Watopa, Marthen R Marey, Eliezer Mundoni dan Yanuarti Widyah. Asisten John Martuty, Duta Mutajab, Elly Waroy, Suparji SIP, Frengky M, wiwiek Helen Roria, Roertus Ramngenur dan Freddy Ansanay.

Ketika ditanya soal lambannya Panitia Legislasi bekerja padahal uang yang diberikan cukup banyak? Hakim menjelaskan, bahwa proses pembahasan Reperdasi dan Raperdasus, tidak semudah membalik telapak tangan.

“Memang rakyat sudah menunggu cukup lama tapi sekarang baru kita bekerja. Semua itu terjadi karena MRP baru disahkan tahun 2005, sehingga tahun 2006 MRP baru bisa memberikan persejutuan kepada DPR. Lalu tahun 2007 pemerintah mulai mempersiapkan peraturan-perturan, tapi saat itu, gubernur baru dilantik. Lalu gubernur tarik lagi semua Raperdasi dan Raperdasus ke eksekutif untuk dikonsep ulang. Dan pada 15 September 2008, barulah gubernur menyerahkan kembali untuk dibahas di DPRP,” kata Hakim

Dijelaskan juga, setelah Raperdasi dan Raperdasus masuk ke dewan, lalu Panitia Legislasi menentukan nomor urut pembahasan. Berdasarkan nomor urut itulah, dewan membahas. Hasilnya, telah disahkan dua Perdasus dan lima Perdasi.

Walau proses panjang yang dijelaskan itu, tapi berbagai komponen masyarakat Papua masih mempertanyakan kinerja dewan dan juga kemana larinya Rp 23 miliar yang diberikan pemerintah provinsi untuk pembahasan Raperdasi dan Raperdasus itu.***
Krist Ansaka



0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com