Tuesday, December 9, 2008

Baku Rebut Nikel di Raja Ampat


Sejak 2004 hingga 2007, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat telah mengeluarkan ijin kepada 10 perusahaan pertambangan yang akan mengelola nikel di real seluas 164.642 hektar atau 1.646,42 kilometer persegi dari luas wilayah 46.108 kilometer persegi.


SUDAH 45 tahun yang lalu, kandungan nikel ditemukan di perut bumi Raja Ampat ketika PT Nikel Gak melakukan penelitian di kepulauan itu tahun 1962. Penemuan nikel itu ditandai dengan penempatan batu (tugu) peringatan di atas Gunung Fokfak Timur. Kini kandungan nikel itu menjadi rebutan dari 10 perusahaan yang mendapat ijin dengan keputusan bupati dan dua perusahaan yang beroperasi secara illegal.
Menurut penelusuran Suara Perempuan Papua, bahwa areal yang sudah dikapling 10 perusahaan itu luasnya mencapai 164.642 hektar atau 1.646,42 kilometer persegi (lihat tabel). Selain itu, ada dua perusahaan yang beroperasi tanpa ijin sehingga sulit diketahui luas areal pertambangannya.

Dari 10 persusahaan yang mendapatkan ijin berupa keputusan bupati tentang pemberian kuasa pertambangan eksploirasi, ada sembilan perusahaan yang mendapat satu surat keputusan degan masa berlaku antara 1 sampai 3 tahun. Tapi ada satu perusahaan yaitu PT Bumi Makmur Selaras (BMS) yang mendapat tiga surat keputusan di wilayah yang sama tanpa masa berlaku.

Sebelumnya, BMS mendapat ijin penyelidikan umum dengan nomor 540/045/2005 tentang ijin mengadakan kegiatan penyelidikan umum di bidang pertambangan yang ditandatangani oleh Bupati Marcus Wanma, tertanggal 17 Maret 2005.

Menurut penelusuran Suara Perempuan Papua, Marcus Wanma dilantik menjadi Penjabat Bupati Raja Ampat pada 10 April 2003 dan baru melaksanakan tugas pada 9 Mei 2003. Ia bertugas hingga tahun 2005 mengundurkan diri karena Wanma mencalonkan diri untuk menjadi bupati definitif.

Selama Marcus Wanma bertugas sebagai penjabat Bupati Raja Ampat, ia telah mengeluarkan ijin berupa Surat Keputusan kepada enam perusahaan untuk melakukan penambangan nikel di Raja Ampat.

Ketika penjabat bupati dilanjutkan oleh Jack Kapisa, lalu Kapisa mengeluarkan ijin kepada PT Bumi Makmur Selaras (BMS) untuk melakukan penambangan di wilayah di Pegunungan Fokfak Timur dan Fokfak Barat.

BMS beroperasi di wilayah di Pegunungan Fokfak Timur dan Fokfak Barat dengan tiga surat ijin tahun 2005 dari penjabat bupati, Drs Jack Kapissa dengan total areal garapan seluas 88.306 hektar (lihat tebel). Tiga surat keputusan itu disertai dengan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi PT BMS.

Sementara itu, Bupati Kabupaten Raja Ampat, Drs Marcus Wanma mengekuarkan SK No. 34 Tahun 2005 tertanggal 29 November 2005 tentang pemberian kuasa pertambangan eksplorasi kepada kepada PT Giri Delta Mining (GDM) dengan areal tambangnya seluas 10.000 hektar di lokasi yang sama.

Akibatnya, terjadi tumpang tindih dalam satu wilayah konsesi di Pegunungan Fokfak Timur dan Fokfak Barat, Kampung Kapadiri, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.

Sedangkan delapan perusahaan lainnya mendapat satu ijin atau SK tentang pemberian kuasa pertambangan eksplorasi dari bupati definitif.

Persoalan tumpang tindi lokasi pertambangan antara PT Bumi Makmur Selaras (BMS) dengan PT Giri Delta Mining (GDM) serta kewenangan mengeluarkan ijin atau surat keputusan inilah yang membuat pemerintah kabupaten Raja Ampat melalui bupati definitifnya, Drs Marcus Wanma diajukan ke meja hijau di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.

Hasilnya, gugatan BMS ditolak dan Drs Marcus Wanma memang. BMS tidak puas karena mendapat dukungan dari seluruh komponan masyarakat adat, terutama pemilik hak atas tanah adat sehingga BMS nyatakan naik banding ke PTUN di Makasar. Hasilnya, BMS kalah juga. BMS belum merasa ada keadilan sehingga perusahaan yang dikomandani oleh Tadjudin Hidayat mengajukan kasasi ke Mahkama Agung sekitas Juli 2007. “Sampai saat ini, belum ada keputusan dari Mahkama Agung,” ungkat kuasa hokum BMS Usman Lusuli yang dihubungi Suara Perempuan Papua melalui telepon pada Kamis, 15 November 2007.

Menurut Anggota Majelis Rakyat Papua dari Daerah Pemilihan I, Frida T. Kelasin, bahwa tumpang tindih lokasi dan ijin yang diberikan karena ada konflik kewenangan dalam tubnuh Pemerintah Kabupaten Raja Ampat pascah Raja Ampat menjadi kabupaten definitif.

“Tapi konflik ini dikelola dengan tidak mempertimbangkan rasa keadilan, maka terjadilah mis komunikasi yang mengarah kepada sikap saling menyalahkan,” ungkap Frida T. Kelasin.



0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com