Monday, December 22, 2008

Ketika Saya Tak Mau Jadi Anggota MRP

PAPUA, Negeri Kasuari yang penuh misteri. Gara-gara misterinya itu, tiba-tiba saya merasa telah diusung oleh komunitas adatku untuk menjadi salah satu anggota Mejelis Rakyat Papua (MRP) dari perwakilan adat.

Saat itu, saya merasa tersanjung dan terheran-heran. Soalnya, dukungan yang diberikan itu, tanpa saya minta-minta atau menyogok -- seperti yang saat ini sedang dan akan terjadi terus.

Sebagai salah satu anak asli Papua, saya punya hak dan pantas untuk menjadi anggota MRP, sehingga dukungan yang diberikan itu wajar. Sebab MRP itu lembaga resmi dalam struktur dan sistem pemerintahan di Provinsi Papua seperti yang diamanatkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua.

Untuk pelaksanaan UU otonomi khusus, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2004 tentang MRP. Dari PP itu kemudian dijabarkan lagi dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2005 tentang tata cara pemilihan anggota MRP.

Saya berasal dari rumpun dan ras Melanesia, dan saya termasuk salah satu suku asli di Papua. Sehingga saya mempunyai hak sesuai dengan pasal 19 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus dan pasal 4 point a PP No. 54 Tahun 2004 tentang MRP. Kedua ketentuan ini menyebutkan, bahwa syarat menjadi anggota MRP adalah orang asli Papua.

Saya bukan orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat di Papua. Jadi, keaslian saya sebagai orang asli Papua itu bukan “dipolitisir,” seperti yang tertuang dalam pasal 2 ayat b yaitu: orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat di Papua.

Jadi, wajar saja kalau saya bangga mendapat dukungan dari komunitasku untuk duduk di salah satu lembaga bergengsi di Negeri Kasuari. Apalagi menjadi anggota MRP akan mendapat gaji besar dan menjadi publik figur, sehingga menjadi salah satu orang terpandang. Mungkin akan mendapat jatah mobil dan berbagai fasilitas lainnya. Belum lagi, mendapat bonus-bonus tak terduga yang bernuansa politik dari berbagai pihak dalam rangka suatu peristiwa politik atau yang dipolitisirkan. Bo… sa hebat sampe. Tarada yang blok. (Maaf, saya memuji diri sendiri)

Soal persyaratan lainnya, mungkin sudah saya penuhi, seperti yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua, PP No. 54 Tahun 2004 tentang MRP dan Perda No. 4 Tahun 2005 tentang tata cara pemilihan anggota MRP.

Kalau sudah memenuhi syarat dan diusung oleh komunitasku, lalu mengapa saya tak mau jadi anggota MRP? Apakah saya beridiologi anti-kemapanan, sehingga menolak jadi anggota MRP? Atau mungkin saya anak asli Papua, tapi sudah kehilangan identias? Jawabannya, Tidak. Saya tidak beridiologi anti-kemapanan. Saya pun tidak kehilangan identitas

Saya tak cocok menjadi anggota MRP karena antara definisi dan tugas lembaga ini, rasanya tak sejalan. Dalam Pasal 1 ayat 6 PP No. 54 Tahun 2004 tentang MRP disebutkan, bahwa MRP adalah lembaga representatif kultural orang asli Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budayanya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

Tapi ketika saya membaca dan memahami tugas-tugas MRP seperti yang tertuang dalam Pasal 20 UU No. 21 Tahun 2001, maka saya menilai bahwa lembaga representatif kultural ini hanya lipstik politik karena dari tugasnya, MRP itu juga lembaga politik. Apalagi pelaksanaan tugasnya itu akan diatur dengan peraturan daerah khusus (Perdasus) seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat 2.

Benar atau tidak, tapi yang pasti itu, hampir setiap peraturan yang dibuat tidak menghasilkan rasa keadilan bagi rakyat kecil atau masyarakat adat asli Papua dan peraturan itu cenderung untuk mengamankan sistem politik dari penguasa, baik di Jakarta maupun di Provinsi Papua.

Untuk menilai MRP sebagai lembaga politik, mari kita sama-sama mencermati tugas-tugas MRP seperti yang tercantum dalam Pasal 20 UU No. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua.

Ada enam tugas. Pertama: Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRP (ini tugas politik).

Kedua, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota MPR RI utusan daerah yang diusulkan oleh DPRP (ini tugas politik).

Ketiga, Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan gubernur (ini tugas politik).

Keempat, memberikan saran, pertimbangan, dan persetujuan terhadap rancangan perjanjian kerjasama yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua khususnya yang menyangkut hak-hak asli orang Papua (ini tugas politik yang punya kandungan ekonomis. Hak-hak orang asli Papua hanya sebagai lipstik).

Kelima, memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.

Keenam, memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan hak-hak orang asli Papua.

Tugas kedua seharusnya sudah dihapus atau direvisi sebab MPR RI dong su hapus. Yang ada sekarang ini Dewan Pertimbangan Daerah. Tapi, yang menjadi anggota DPD pun dipilih langsung oleh rakyat dan DPRP tidak punya wewenang untuk mengusulkan anggota dari Papua. Itu berarti, tugas ini harus dihapus.

Mencermati keenam tugas ini, tampaknya MRP itu lembaga politik. Sedangkan tugas yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, rasanya hanya sebagai lipstik politik. Katakan saja, demi pembangunan, hak-hak orang asli Papua akan dikalahkan.

Kalau begitu, MRP bakal menjadi macan ompong yang selalu mengaung-ngaung atas nama hak-hak orang asli Papua.

Nah, kalau sinyalemen itu benar, maka MRP tidak bakal menjadi lembaga representatif kultural. Mungkin persoalan inilah yang membuat saya mengurunkan niat untuk menjadi anggota MRP. Saya tak mau lagi membodohi saudara-saudaraku sendiri.

Selain itu, dasar lain yang membuat saya menolak jadi anggota MRP adalah karena saya mau bergabung dengan kelompok orang asli Papua yang tetap berada di luar sistem dan selalu bersikap kritis serta terus melakukan kontrol kepada MRP, DPRP dan Gubernur, dan lembaga-lembaga resmi lainnya. Kalau saya jadi anggota MRP, ada kekuatiran, saya sudah tak bisa bersikap kritis karena berada dalam sistem dan saya sudah “dibeli.”

Untuk itu, kepada komponen yang telah memberikan dukungan, saya menyatakan mohon maaf, kalau saat ini saya belum bersedia menjadi anggota MRP. Tapi kalau ada yang mau menjadi anggota MRP, saya mempersilahkan. Tapi harus ingat, jangan menjadikan rakyat sebagai objek politik dan jangan selalu mengatas-namakan hak-hak orang asli Papua.

Penulis adalah Jurnalis Tabloid Suara Perempuan Papua


0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com