Monday, December 22, 2008

98 Tahun Kota Jayapura


”Pak Walikota Hanya Janji Saja”

Walikota Jayapura, Menase Robert Kambu berjanji, akan menata lahan bekas Pasar Ampera sebagai taman rekreasi sekaligus jadi taman bermain anak-anak. Tapi janji itu hanya tinggal janji. Di ulang tahun ke 98 tahun atau menjelang satu abad kota Jayapura, anak-anak pun kembali bertanya, ”Pak Walikota, Mana Janjimu?”


JAMES, bocah berusia 11 tahun itu bersama dua rekannya, Derry dan Anis, sedang mencari kaleng bekas di lahan bekas Pasar Ampera, Jayapura pada Rabu, 12 Maret 2008 sekitar pukul 14.00 Waktu Papua. Kaleng almanium yang dipungut itu akan dijual di APO.

Ketika bertemu dengan jurnalis dari tabloid ini, ketiga anak itu sedang beristirahat di sebuah pohon kecil. Tak berapa lama, suasana keakrapan pun terjadi, bak seorang kakak bertemu dengan tiga orang adiknya.

Mereka pun bercerita tentang usaha mereka menjual kaleng bekas. Tiba-tiba, James bertanya, ”Kakak, tempat ini akan dibuat tempat bermain anak-anak to. Pak Walikota hanya janji saja !”

Pernyataan James pun langsung mengingkatkan jurnalis tabloid ini akan janji Walikota Jayapura Menase Robert Kambu pada tiga tahun lalu, tepatnya 10 November 2004.

Tampaknya, bagi para penguasa, janji tanpa hasil itu, adalah trik politik untuk tetap berkuasa. Apakah Walikota Jayapura, Drs Menase Robert Kambu, MSi termasuk penguasa yang suka obral janji tanpa hasil?

Mari kita mengujinya. Pada 10 November 2004, MR Kambu pernah berjanji, bahwa lahan yang tersedia di Kota Jayapura sangat terbatas. Tetapi saya sedang menata lahan bekas Pasar Ampera untuk dijadikan taman rekreasi sekaligus taman bermain anak-anak dari golongan masyarakat tidak mampu. Inilah janji MR Kambu yang kini sudah memangku jabatan untuk periode kedua sebagai Walikota Jayapura.

Saat ini janjinya begini. Pemerintah kota telah bekerjasama dengan CV Bintang Mas untuk mendatangkan alat-alat bermain anak dari Hongkong guna mengisi Papua Trade Center (PTC) yang ada di kawasan Entrop.

Bukan saja itu, tapi Pemerintah Kota juga merencanakan membangun beberapa taman terbuka di Kotaraja dan Argapura. Taman-taman ini akan menjadi ajang bermain anak-anak. Anak yang bermain mainan di PTC adalah anak yang orang tua berduait.

“Untuk anak-anak dari keluarga tak mampu, kami akan akan bangun sarana awal, seperti taman terbuka. Dari sini baru kita melihat animo masyarakat, kemudian pemerintah akan menyesuaikan permainan anak yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan ekonomi orang tuanya,” kata Kambu.

Janji itu sudah berusia 40 bulan (3 tahun, 4 bulan) sejak 10 November 2004. Tapi belum ada tanda-tanda sedikit pun untuk merealisasi janji kepada anak-anak dari golongan ekonomi lemah yang dikomandangkan oleh orang nomor satu di kota ini.

Hal itu pernah juga diungkapkan tabloid ini pada edisi 9, tahun 2004: ”Saya Orang Miskin, Tak Bisa Main di Saga.” tapi tampaknya, belum berubah. Soalnya, pada Rabu, 12 Maret 2008, ketika mentari mulai bersembunyi di balik pepohonan di atas perbukitan Kota Jayapura, ada sejumlah anak dengan riangnya berlari-lari di Taman Imbi yang diapit sejumlah bangunan di Pusat Kota Jayapura. Ada yang bermain bola, dan ada yang berkejar-kejaran mengelilingi Tugu Yos Sudarso yang ada tengah taman itu.

Sementara itu, di atas bangku-bangku yang terbuat dari beton itu, ada sejumlah orang tua yang duduk sambil memantau anakanya bermain. Sedangkan di pojok taman yang letaknya tak jauh dari Gedung Sarina, nampak sejumlah laki-laki sedang menenggak minuman beralkohol. Tak ketinggalan para pedagang jagunng bakar, minuman ringan dan makanan kecil terus berusaha menawarkan dagangannya kepada pengunujng taman itu.

Kalau dibandingkan jumlah anak-anak (usia 1 – 16 tahun) dengan orang dewasa yang memanfaatkan taman itu, tampak lebih banyak orang dewasa. Sedangkan jumlah anak-anak dapat memanfaatkan taman itu untuk bermain sangat sedikit.

“Saya main di sini karena ikut mama jualan pinang. Tapi biasanya pada malam minggu atau hari libur, saya bermain di sini,” kata Petrus, anak berusia 8 tahun yang ditemui Suara Perempuan Papua di sela-sela keasyikannya bermain bola dengan teman-teman sebayanya di Taman Imbi, saat itu.

Ketiaka ditanya, apakah Petrus perna bermain di Taman bermain di PTC Entrop atau Dea Deo di Saga Mall di Abepura, ia mengatakan, “Saya tidak punya uang untuk bermain di Saga. Mama saya hanya jual pinang dan sayur. Mama bilang, saya ini orang miskin, tidak bisa main di Saga. Jadi jangan tuntut yang tinggi-tinggi seperti orang kaya,” ujarnya.

Lain lagi dengan Alfian (10 thn) dan Raqwel (9). Mereka dua mengaku, biasa bermain di Taman bermain Dea Deo Saga Mall. Setiap kali bermain, harus membayar Rp 5.000. “Kalau di Taman Imbi, kita mau main apa?” Tanya Raqwel

Tampaknya, Taman Imbi bisa dimanfaatkan semua anak dari berbagai strata masyarakat, seperti Petrus dan lain-lain. Sedangkan Taman Bermain di PTC dan di Dea Deo di Saga Mall, hanya untuk anak-anak yang orang tuanya berduit, seperti Alfian dan Raqwel.

Kalau sinyalemen itu benar, tampaknya pemerintah Kota Jayapura atau Provinsi Papua perlu menyediakan taman bermain untuk anak-anak. Hal ini ditegaskan, Ema Kafiar, seorang Ibu rumah tangga yang ditemui Suara Perempuan Papua di dalam taksi jurusan Dok IX – Jayapura.

“Sebenarnya Taman Imbi sudah tepat sebagai tempat bermain. Hanya saja, perlu ada perhatian dari pihak pemerintah Kota Jayapura untuk menata lebih baik dan layak, sehingga taman itu diperuntukkan khusus untuk anak-anak. Dan di taman itu, anak-anak bisa mengembangkan dirinya dan bebas bermain. Apalagi, Taman Imbi letaknya di tengah jantung kota dan mudah dijangkau,” kata Ema Kafiar.

Selain itu, Ester, penjual pinang dan sayur-sayuran di Perumnas III, Waena mengatakan, ia belum tahu persis tempat bermain yang baik untuk anak. “Kami ini masyarakat biasa yang tidak tahu soal tempat bermain yang baik sesuai keinginan anak. Hanya saja, kalau mereka melihat temannya bermain, anak saya biasa minta uang untuk ikut main, entah bermainan apa? Kata Ester.

Ester meyarankan, perlu ada Taman Bermain Anak yang kalau digunakan, tak perlu membayar. “Untuk itu, pemerintah perlu membangun taman bermain untuk anak-anak,” kata Ester.

Lain lagi dengan Mama Helena yang sehari-hari biasa berjualan pinang. Menurutnya, sebagai orang kecil, uang hasil jualannya hanya untuk anak bersekolah dan keperluan sehari-hari. “Anak saya tidak boleh bermain yang kasih keluar uang. Anak saya harus sekolah. Saya ini seorang janda, jadi saya harus berusaha agar anak saya dapat bersekolah dengan baik,” kata Mama Helena yang sehari-hari berjualan di Expo, Waena.

Dari kenyataan ini dan dikaitkan dengan janji Walikota Jayapura, tampaknya pembangunan tempat bermain anak-anak yang sudah ada, seperti di Saga dan di PTC, hanya untuk anak-anak yang orang tuanya mampu.

Tapi bagaimana dengan James, Petrus, dan anak-anak lain dari golongan ekonomi lemah? Mereka juga butuh taman bermain. Tapi Walikota hanya janji dan pihak DPRD Kota tak pernah memikirkan hal itu. Padahal, pemerintah diwajibkan oleh sejumlah undang-undang untuk memperhatikan hak-hak anak, termasuk kewajiban menyediakan taman bermain bagi anak-anak di Indonesia pada umumnya, dan di Jayapura atau Papua, pada khususnya.

Undang-undang yang mewajibkan pemerintah untuk memperhatikan hak-hak anak dalam bidang hukum perdata diatur secara haris besar, yaitu: UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, UU No. 1 tahun 2000 tentang pelanggaran dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 tahun 1988 tentang usaha kesejahteraan anak bagi anak-anak yang mempunyai masalah, PP No. 73 tahun 1991 tentang pendidikan luar sekolah, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang orang.

Bukan hanya pemerintah Kota Jayapura, tapi juga Pemerintah di Provinsi Papua belum berpihak kepada anak. Hal ini nampak dari belum dilaksanakannya hak-hak secara optimal. Bahkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), belum ada dana khusus untuk anak-anak.

Untuk itu, perlindungan terhadap anak perlu dioptimalkan. Untuk itu, perlu dibentuk suatu lembaga yang independent untuk kepentingan anak, seperti Lembaga Perlindungan Anak (LPA). Lembaga ini diperlukan untuk mengimplementasikan konvensi hak-hak anak, sehingga anak-anak jalanan, anak-anak terlantar, anak-anak cacat, anak-anak korban diskriminasi, anak-anak tereksploitasi, dan pekerja atau buruh anak, mereka merasa terlindungi.
Krist Ansaka

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com