Monday, December 22, 2008

Belum Tuntas Kasus HAM di Papua


Tanah Papua memiliki segudang persoalan pelanggaran HAM yang belum tuntas penyelesaiannya. Walaupun ada UU Otsus, tapi pelanggaran terhadap hak-hak dasar masih terjadi. Pemerintah pun dinilai belum serius untuk memperhatikannya. Kalau pun ada, persoalan hukum ini ditangani secara politis.


ZONA damai yang didengung-dengungkan di Papua sejak 2000 hingga akhir 2007, ternyata perlu dipertanyakan kembali. Soalnya, ada masih cukup banyak penduduk di negeri ini yang rasa takut dan curiga terhadap pemerintah lantaran setumpuk persoalan pelanggaran HAM di Papua belum tuntas.

Katakan saja kasus Abepura jilid I yang terjadi 7 Desember 2000. Dalam kasus ini KPP HAM merrekomendasikan 25 pelaku tapi hanya 2 yang menjadi terdakwa yaitu Brigjen Pol Drs Jhonny Wainal Usman dan Kombes Pol Drs Daud Sihombing SH. Kedua tersangka ini tidak ditahan ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan. Bahkan pada sidangdi Pengadilan HAM di Makassar, kedua terdakwa itu dinyatakan bebas. Jaksa menyatakan naik banding, tapi nasibnya tidak jelas hingga kini.

Kemudian, kasus penculikan dan pembantaian terhadap Theys Hiyo Eluay dan sopirnya, Aristoteles Masoka pada 10 November 2001. Sejumlah anggota Kopasus dinyatakan sebagai terdakwa. Tapi pelaku pembantaian Theys, dinyatakan bebas oleh pengadilan. Sementara Aristoteles, sudah enam tahun nasibnya hingga kini tak jelas. Kalau dibunuh, di mana makamnya. Kalau masih hidup, di mana keberadaanya.

Begitupun dengan kasus Wasior di Provinsi Papua Barat dan sejumlah kasus pelanggaran HAM lainnya yang terjadi di Negeri Kasuari, Papua, hamper semuanya tidak tertangani dengan baik.

Belum lagi persoalan-persoalan masa lalu yang membuat orang asli Papua menjadi takut. Rasa takut itu muncul ketika militer Indonesia melakukan operasi penumpasan terhadap antek-antek Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dimulai tahun 1970-an. Saat itu, orang asli Papua yang dicurigai, langsung ditangkap dan dijebloskan ke tahanan, bahkan tak sedikit yang hilang, entah ke mana.

Operasi itu terus berlanjut. Bahkan kondisi Papua saat itu tambah mencekam di penghujung tahun 1983, ketika pasukan elit Kopasandha yang ditugaskan di Irian Jaya (nama Papua saat itu), berusaha membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM yang mereka curigai di kampus dan di instansi-instansi Pemerintah di Jayapura.

“Tanah Papua memiliki segudang persoalan mengenai pelanggaran HAM yang belum tuntas penyelesaiannya. Sampai sekarang belum terlihat keseriusan pemerintah dalam arti negara untuk memperhatikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua,” ungkap Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Paskalis Letsoin SH yang dijumpai Suara Perempuan Papua, Kamis 29 November lalu di ruang kerjanya.

Menurut Paskalis, soal kasus Wasior dan Wamena yang sempat dibentuk KPP HAM sampai sekarang tidak ditangani secara baik. Rupanya antara Kejaksaan dan DPR-RI bertolak pendapat mengenai definisi pelanggaran HAM berat. “Saya kira bentuk-bentuk seperti ini sebenarnya sudah dapat disimpulkan bahwa tidak ada keseriusan negara dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Papua,” ujarn Direktur LBH Papua itu.

Lebih lanjut dijelaskan, bahwa ketika munculnya otonomi Khusus, sebenarnya Provinsi Papua memiliki ruang yang cukup untuk menuntaskan segala kasus pelanggaran HAM. Namun sangat disesalkan, sampai saat ini ternyata peran dari Pemerintah, baik itu dari DPRP, MRP, maupun juga Pemerintah Daerah sendiri belum nampak keseriusan dalam penyelesaian kasus ini.

“Dikuatirkan, ketika kasus-kasus pelanggaran HAM ini tidak ditanagani secara baik, akan merembet ke wilayah politik yang kemudian ada tuntutan yang sebenarnya di luar bidang hukum. Untuk itu, kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini, mau tidak mau harus segera diproses agar masyarakat Papua merasakan keadilan,” ujar Paskalis.

Paskalis menjelaskan lagi, bahwa peran pengadilan HAM yang menyidangkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu, sebenarnya belum terlalu serius atau kemampuan hakim yang terbatas dalam mengungkapkan fakta-fakta kasus yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan. “Saya pikir, mereka masih merasa keterikatan dengan negara dan para hakim itu menganggap bahwa mereka bagian dari negara sehingga unsur subjektivitas muncul ketika proses-proses pengadilan HAM berlangsung,” unkapnya.

Soal ketidak seriusan pemerintah dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat, juga diungkapkan anggota Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey pada Selasa, 27 November lalu di Jayapura.

Selain itu ada juga pelanggaran di bidang ekonomi, sosial dan budaya dan negara belum menggunakan standar pemenuhan hak-hak itu. “kebijakan-kebijakan yang ada belum menggunakan kebijakan yang berpresfektif hak asasi,” kata Frists.
Krist ansaka

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com