Tuesday, December 9, 2008

Mereka Masih Takut Militer Indonesia

Sebagian pengungsi yang berada di Vanimo, belum mendengar rencana dari 600 orang yang akan pulang ke Papua.Ada yang masih takut militer Indonesia.

TERIK mentari terasa cukup menyengat kulit. Sementara itu, ada tiga orang perempuan dan dua lelaki asal PNG terus membersihkan rumput di halaman rumah yang akan mereka tempati di Kampung Mosso, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura.

Mereka adalah satu dari dua keluarga yang sudah memilih untuk kembali ke kampung asalnya di Mosso, sejak akhir Januari 2008 dari Vanimo. Kini mereka menempati dua rumah yang dibangun pemerintah Indonesia. “Sejak 1969 kami lari ke Nyao Kofo di Vanimo, PNG karena kampung kami dibakar militer Indonesia. Setelah kami dengar dan melihat, bahwa kampung kami sudah aman, lalu kami mau kembali ke Mosso,” ungkap seorang perempuan setengah baya yang enggan menyebutkan namanya dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah.

Menurut pengakuan mereka, bahwa selama berada di PNG, pemerintah di sana tidak memberikan kesempatan kepada anak-anak mereka untuk bersekolah. Walau begitu, pelayanan kesehatan sangat baik. “Kami dengar dan lihat, di Mosso, semua anak bisa bersekolah tapi sayangnya tidak ada guru. Rumah sakit (puskesmas, Red.) ada, tapi petugasnya tidak ada. Di Vanimo, kami dengar, orang di kampung Mosso hidupnya lebih baik. Jadi kami ingin pulang ke Mosso,” ungkap perempuan setengah baya itu.

Lain lagi dengan Alex yang mengaku warga Kampung Nyao Nemo, Vanimo, PNG. Ketika ditemui tabloid ini di tapal batas RI – PNG, pada Jumat, 29 Februari 2008. Menurutnya, sebagian besar warga di sana masih takut dengan militer Indonesia. “Kami belum berani kembali ke Papua karena militer Indonesia jahat,” kata Alex.

Alex hanyalah salah satu dari sekian banyak pengungsi yang belum mau kembali ke Papua. Tapi ketika ditanya tentang kabar, bahwa ada sekitar 600 orang pengungsi yang akan pulang ke Papua, menurut Alex, ia tidak tahu dengan informasi itu. “Kami di Vanimo, tidak tahu, kalau ada pengungsi yang mau kembali,” ungkap Alex yang mengaku berasal dari Kampung Mosso yang mengungsi bersama keluarganya tahun 1969.

Menurut pengakuannya, ketika militer Indonesia masuk ke Kampung Mosso sekitar tahun 1969 – 1970-an, rumah-rumah warga di baker. Kebun-kebun dihancurkan. Penduduk di kampung itu dikira OPM sehingga di kejar dan ditempak.

“Kami jadi takut dan lari ke PNG dan menetap di sana sampai saat ini. Kalau kondisi sudah baik, dan militer Indonesia tidak jahat lagi, kami mau pulang untuk membangun kampung bersama saudara-saudara yang lain,” kata Alex.

Setelah 39 tahun meninggalkan Mosso, para pengungsi itu satu per satu mulai kembali ke kampungnya.
Suku yang mendiami Kampung Mosso adalah suku Nyao yang bermarga Wepafoa, Syau, Nuta, Hinoke, Sumu, dan Yehuwe. Keenam marga ini terpisah menjadi dua. Ada yang tinggal di PNG dan ada pula yang tinggal di Indonesia.

Pada umumnya mata pencaharian dari masyarakat di Mosso adalah berkebun, berburu, dan mencari ikan di telaga. Kebanyakan dari hasil yang diperoleh tak dijual, melainkan dikonsumsi sendiri mengingat sulitnya transportasi yang menghubungkan kampung ini dengan pasar di perbatasaan RI-PNG (wutung), maupun di Koya dan Abepura.

Kampung Mosso dulu dikenal kerana potensi alam yang diperjual belikan di sini seperti, kulit buaya, kulit kayu masohi, dan tali rotan. Namun saat ini jenis-jenis hasil tadi tidak lagi dijual oleh masyarakat, karena kebanyakan dari pemilik hutan tersebut masih berada di PNG.

Kampung Mosso memiliki kisah tersendiri. Pada tahun 1969 penduduk di sini secara serentak mengungsi ke PNG dikarenakan oleh situasi politik.

Pada tahun 1999 mereka kembali, namun itu pun dikarenakan hutan mereka mau di garap oleh PT Bamuli Agro Sejahterah yang bergerak dibidang perkayuan. Walau demikian, jumlah keluarga yang kembali saat itu hanya berjumlah 4 kepala keluarga.

“Keempat keluarga ini datang untuk memenuhi permintaan PT Bamuli Agro Sejahterah sekaligus memastikan apakah keadaan aman atau tidak untuk kembali. Kalau memang aman maka yang lain juga akan turut serta pindah kemari,” kata Agus Wepafoa, salah satu kepala suku di Mosso.

Setelah tahu keadaan di Kampung Mosso aman-aman saja dan tidak seperti dulu lagi, lalu satu persatu kepala keluarga mulai pindah dari PNG ke Mosso.

Bukan hanya itu, ada warga masyarakat yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai warga negara Indonesia. Hanya saja masih ada perasaan was-was dalam diri mereka karena ada Pos militer yang terletak di Kampung Mosso.

Kampung yang dihuni mantan pelintas batas ini kini mulai berbenah diri. Pada tahun 2007 ini, ada bantuan sosial untuk pembangunan rumah-rumah penduduk dan jembatan yang dikerjakan oleh oleh Tentara Manunggal Masuk Desa. Masing-masing 10 buah rumah dan 1 buah jembatan. Selain itu, ada juga sekolah dasar (3 kelas), 2 rumah guru dan 5 buah sumur air bersih serta 4 buah WC umum.

Selain pembangunan beberapa fasilitas tadi, Kampung Mosso juga mendapatkan bantuan dana pemberdayaan kampung dari Gubernur dan Walikota yang masing-masing berjumlah 100 juta. Hanya sayang pengelolaannya tak berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Selain itu, masalah keamanan di Mosso sangat kondusif dan tidak ada tekanan dari pihak aparat keamanan. Buktinya, masyarakat di sini bebas beraktifitas tanpa harus melapor dahulu pada pos TNI. Semua pemeriksaan pelintas batas hanya di daerah Wutung kecuali ada orang baru yang hendak masuk di Mosso, harus melapor ke RT tentang berapa orang yang tinggal dan berapa lama berada di daerah Mosso.
Krist Ansaka



0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com