Sunday, October 19, 2008

Pesan dari Kampung

Dana Respek Rp 100 juta dari provinsi dirasakan kurang. Sejumlah kepala kampung di Kabupaten Keerom, minta dinaikkan.

KECEWA. Begitu kata yang terlontar dari kepala kampung dan warga yang hadir ketika Gubernur Papua, Barnabas Suebu, ‘turkam’ di Kampung Waley, Distrik Senggi, Kabupaten Keerom pada 25 Juli lalu.

Mereka kecewa lantaran waktu yang disediakan panitia untuk berdialog dengan gubernur hanya dua jam. Padahal, untuk menghadiri acara ‘turkam,’ mereka harus menempuh jarak yang jauh dari kampung mereka.

“Kami ini datang dari jauh untuk melihat wajah gubernur; kami hendak menanyakan sejumlah persoalan pembangunan di kampung. Tapi waktu yang disediakan sangat terbatas. Hanya lima orang yang sempat bertanya; kami benar-benar kecewa,” kata Frans Abar, Kepala Kampung Wambes, Distrik Arso.

Walau kecewa, rasa bangga tersirat dalam diri mereka terhadap perhatian gubernur pada mereka. Sejumlah kepala kampung menyampaikan aspirasi, atau tepatnya, unek-unek mereka-yang pada garis besarnya sama-pada mingguan ini. Mereka ingin dana Rp 100 juta ditambah.

Tobias Tekam, Kepala Kampung Sawya, Tami, misalnya. Ia berharap ada penambahan hingga Rp 200 juta. Ia merasakan dana Rp 100 juta selama ini tidak memadai untuk kebutuhan 300 wargannya (67 kepala keluarga).

Menurut Tobias, merujuk petunjuk penggunaan yang diberikan, dana Rp 100 juta tidak memadai. Tobias memberikan alasan: kenaikan harga barang yang mengiringi melejitnya harga bahan bakar minyak.

Ia mengatakan, walau sangat mendukung program ‘turkam’ gubernur ke kampung-kampung, ia mengharapkan ada perhatian serius dari bupati dan kepala distrik terhadap pembangunan masyarakat di daerahnya.

Sebagaimana warga kampung pada umumnya, Tobias mau menyaksikan dan “memetik” langsung hasil dari “pembangunan dari kampung.” Ia menyebutkan, misalnya, penyiapan rumah-rumah untuk penduduk asli di setiap kampung. “Agar masyarakat turut merasakan dan menikmati apa itu pembangunan,” katanya.

Tobias menambahkan, dana Respek tahun 2007 yang diterima warga kampungnya telah digunakan untuk pengembangan kebun kakao, ternak babi, ayam dan ikan. Ia berharap gubernur yang langsung turun ke kampung bisa menyaksikan sendiri capaian tersebut.

Hal senada juga diungkapkan Kepala Kampung Kali Bo, Lukas Maunda. Ia memandang positif turne gubernur. Hal itu memungkinkan gubernur dapat melihat langsung berhasil-tidaknya pembangunan kampung. Melalui turne itu juga gubernur bisa mendengarkan langsung keluhan masyarakat.

Ia pun memohon perhatian dari pemerintah provinsi terhadap rumah-rumah dan kebun kakao warga-dua hektare per kepala-terobosan Bupati Kabupaten Keerom.

Tapi, dari semua itu, yang paling penting soal komunikasi antara pemerintah kabupaten, distrik dan kampung, yang menurutnya, selama ini tidak lancar. “Saya berharap ada komunikasi yang baik, sehingga pembangunan di kampung dapat berjalan,” tandasnya.

Lukas juga menuturkan, bagian dana pemberdayaan kampung tahun 2007 untuk Kampung Kali Bo tidak cukup untuk semua program yang telah direncanakan. Sama dengan Kampung Sawya, Kampung Kali Bo yang dimukimi 672 warga (174 kepala keluarga) ini rupanya tidak menentukan prioritas pembangunan. Wajarlah, jika kekurangan biaya seperti terus membayangi.

Untuk bidang kesehatan, bantuan difokuskan pada biayai pengobatan bagi warga tak mampu. Untuk pendidikan, bantuan disalurkan dalam bentuk biaya anak-anak sekolah. Sementara pengembangan ekonomi, di-ada-kan bibit kakao. Selanjutnya untuk bidang sosial, dilengkapi sarana olahraga.

Kepala Kampung Wambes Distrik Arso Timur, Frans Abar mengatakan hal yang sama, di tempat yang berbeda. Dana Rp 100 juta memang masih sangat kurang. Ia juga mendambakan gubernur bisa menambahkan dana tersebut. Misalnya, menjadi Rp 200 juta.

Dana Respek Rp 100 juta untuk Kampung Wambes pada tahun 2007, sudah digunakan untuk pembangunan kantor kampung yang menghabiskan dana sebanyak Rp 90 juta.

Frans juga mempertanyakan perusahaan kepala sawit milik PT Rajawali Grup yang diresmikan gubernur pada 2007, namun hingga kini belum berfungsi. Juga HPH yang banyak merugikan pemilik lahan adat.

“HPH sudah hancurkan hutan rakyat; sekarang rakyat tinggal miskin di atas hutannya,” kata Frans. Ia ingin pemerintah provinsi bisa segera menuntaskan persolan ini. “Kami punya hutan sudah dibabat habis, tapi kesejahteraan masyarakat tidak diperhatikan. Mohon gubernur lihat hal ini,” tutur Frans.

Frans juga memohon pemerintah provinsi dan kabupaten bisa memperhatikan tenaga untuk Kantor Distrik Arso Timur dan Towe Hitam yang hingga saat ini belum ada.

Kepala kampung Arso Swakarsa, Distrik Arso, R.R Moniyung juga turut mengiyakan minimnya dana Rp 100 juta. “Di kampung saya, ada 208 jiwa, itu belum termasuk tentara yang bertugas di sana. Kampung ini biasa dilanda banjir. Dana Rp 100 juta yang kami terima lebih banyak terserap untuk pembangunan jembatan dan drainase,” kata kepala kampung Asyaman Swakarsa, Distrik Arso ini.

Ia juga meminta gubernur segera mengambil langkah-langkah kongkret guna membongkar bendungan di Koya, mengingat selama ini bendungan tersebut telah banyak mengakibatkan banjir di Arso. (ansaka)

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com