Thursday, October 23, 2008

Berawal dari Goyang Ngebor

Rancangan Undang Undang Pornografi (RUUP) akan disahkan DPR RI. Tapi dalam pasal-pasal RUU itu, sangat mengkriminalisasikan tubuh perempuan dan dinilai sarat dengan muatan politik. Untuk itu, RUU ditolak di mana-mana, termasuk di Papua.

ARTIS dangdut Rhoma Irama kebakaran jenggot ketika menyaksikan lekak lekuk tubuh penyenyi Inul Daratista, yang beraksi dengan “goyang ngebor” sekitar tahun 2005. Saat itu, Rhoma memprotes Inul karena dianggap goyang ngebor dapat menurunkan moral penyanyi dangdut sekaligus dapat membakar gairah seksualitas kaum lelaki.

Lalu, Rhoma mengajak anggota Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI) bersama dengan individu-idividu lainnya, untuk mengembalikan moralitas para pedangdut yang saat itu sedang naik daun, seperti Inul Daratista, Anisa Bahar, dan Uut Permatasari.
Pro dan kontra pun muncul di media massa. Lalu, Rhoma Irama dan kawan-kawannya, membuat himbauan kepada pemerintah untuk mengatur masalah pornografi dan pornoaksi

Polemik soal goyang ngebor belum selesai, muncul lagi kontrovensi soal film Buruan Cium Gue dan aksi dari Forum Pembela Islam (FPI) yang menyerang kantor Majalah Plyboy terbitan Jakarta karena dianggap menyebarkan gambar syuur.

Setelah itu, berbagai komponen berazas agama, semakin gencar mendesak pemerintah untuk segera membuat undang-undang pornografi dan pornoaksi. Alasan mereka untuk menyelamatkan moral bangsa, maka perlu ada undang-undang itu. Desakan ini akhirnya melahirkan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).

RUU APP ini pun dibuat dan langsung masuk menjadi salah satu agenda legislasi DPR RI pada masa sidang 2005-2009. Lalu, Panitia Khusus (Pansus) dibentuk untuk membahas dan merumuskan RUU APP. Pansus ini diketuai Balkan Kaplele dari Fraksi Partai Demokrat.

Pembahasan RUU APP itu, langsung mengundang reaksi publik. Ada yang pro dan kontra. Kalangan pro berpendapat, berbagai masalah sosial yang sangat meresahkan di Indoensia itu disebabkan oleh rusaknya moral akibat maraknya pornografi dan praktek pornoaksi (?).

Sementara kalangan kontra menilai, RUU APP ini adalah sebuah ancaman terhadap keanekaragaman kebudayaan di Indonesia. Selain itu RUU APP juga sangat bias gender. Karena dalam pasal-pasal RUU ini, sangat mengkriminalisasikan tubuh perempuan. Untuk itu, berbagai kalangan, baik dari tokoh masyarakat, politik, agama, akademis, budayawan, aktivis perempuan, maupun elemen masyarakat sipil lain menggelar pawai budaya Bhineka Tunggal Ika pada 22 April 2006 di Jakarta. Setelah itu, muncul aksi balasan yang digelar oleh kelompok yang bertujuan ingin menyucikan moral bangsa.

Lalu, gaung penolakan terhadap RUUP semakin menggema. Awalnya, muncul dari Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang melayangkan surat penolakannya ke DPR-RI.

Setelah itu, pembahasan RUU APP mecet. Sampai akhir pertengahan tahun 2007, publik kembali disentak dengan informasi bahwa proses RUU APP ini sudah sampai pada justifikasi pemerintah dengan dikeluarkannya amanat presiden (ampres). Dalam Ampres itu, Presiden menunjuk tiga menteri yaitu Menteri Agama, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Komunikasi dan Informatika untuk membahas RUU APP yang telah berganti nama menjadi RUU Pornografi.

Walaupun luput dari perhatian media massa, pembahasan RUU ini terus berjalan. Masalahnya, RUUP ini masih sarat masalah. Baik proses penyusunan yang cacat maupun materi pasal per pasalnya yang masih sangat kontroversi.

Proses penyusunannya yang bermasalah karena telah menyalahi prosedur dalam tata tertib pembahasan undang-undang di DPR. Prosedurnya dinilai tidak melalui proses konsultasi publik yang dilakukan dalam pembuatan undang-undang.

Kemudian dikaitkan dengan UU No 10 2004 yang menyatakan bahwa prinsip pembuatan undang-undang harus memuat unsur kenusantaraan. Tapi dalam RUUP tidak memuat unsur kenusantaraan sehingga muncul protes dari berbagai daerah. Misalnya, Bali, Papua, dan suku-suku lain di Indonesia Timur.

Perubahan dari RUU APP ke RUUP bila dicermati, secara subtansi tidak begitu banyak perubahan yang signifikan jika dikaitkan dengan banyaknya masukan-masukan yang diajukan oleh masyarakat pada proses pembahasan terdahulu. Apalagi, subtansi yang terkandung dalam pasal-pasal RUUP ini akan mengancam eksistensi hidup bersama karena menyangkut persoalan identitas dan keyakinan sebagian rakyat Indonesia, khususnya dari daerah-daerah yang tidak memandang ketelanjangan seseorang menjadi suatu permasalahan serius. Dan hal ini dikuatirkan akan memunculkan sentimen disintregasi bangsa. Selain itu, RUUP juga masih memaksakan suatu keyakinan moral tertentu untuk mengatur seluruh kehidupan berbangsa. Karena RUUP ini masih memperdebatkan soal konsep-konsep nilai di masyarakat.



0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com