Thursday, October 23, 2008

Rakyat Papua Tak Akan Patuhi

Rancangan Undang-Undang Pornografi (RUU Pornografi) dinilai mengatur sesuatu yang privat sehingga rancangan undang-undang itu melanggar HAM. Sementara rakyat asli Papua menilai, bahwa jika RUU itu disahkan berarti Indonesia telah melakukan tindakan pembunuhan terhadap budaya Melanesia

GEMA penolakan terhadap rencana pengesahan RUU Pornografi semakin meluas. Kali ini giliran para tokoh Papua menyuarakan aspirasinya.
Salah satu tokoh Papua, Karel P. Erari, mengatakan rancangan itu tidak akan dipatuhi warga Papua. “Rancangan itu telah memarjinalkan suku di Papua,” kata Karel di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta pada Kamis, 25 September 2008

Rancangan itu dinilai mengecilkan budaya Melanesia, suku mayoritas di pegunungan Papua. Padahal keberadaan mereka sebagai penghargaan terhadap alam dan tidak berhubungan dengan pornografi. Pengesahan rancangan ini dinilai bisa mematikan budaya dan memunculkan diskriminasi
Karel menyatakan, penolakan ini karena RUU Pornografi dinilai tidak sesuai dengan Pancasila dan Kebhinekaan. RUU tersebut, dan secara tendensius menghakimi gerak tubuh dalam pertunjukan tarian orang asli Papua termasuk dalam katagori pornografi.

“Mungkin para politisi dan kelompok agama tertentu di Jakarta menilai, gerak tubuh rakyat Papua itu dapat membangkitkan hasrat seksual dan atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat Indonesia?” Tanya Erari.

Para politisi itu tidak menyebutkan mana saja nilai-nilai dalam masyarakat yang termasuk pornografi. “Bagi kami di Papua terutama daerah pegunungan menunjukkan buah dada, menonjolkan penis, bukanlah pornografi melainkan penghargaan terhadap alam dan ritual hidup keseharian. Itu bisa dilihat dalam patung-patung suku Asmat yang menonjolkan penis,” katanya.

Karel mengingatkan, agar para politisi di DPR tidak memaksakan untuk mengesahkan RUU ini karena akan memunculkan gejolak sosial di masyarakat Papua.
Kebijakan meloloskan RUU Pornografi akan dijadikan alasan legitimasi bagi kelompok tertentu di Papua untuk menyatakan kemerdekaan. Alasannya, kata Erari, bahwa rakyat asli Papua akan melihat, bahwa RUU itu disahkan berarti Indonesia telah melakukan tindakan pembunuhan terhadap budaya Melanesia.

Sementara itu, muncul juga penolakan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Pornografi karena dinilai mengatur sesuatu yang privat. “Kami jelas menolak, tidak etis persepsi sebuah nilai disamakan,” kata anggota Komnas HAM, Yoseph Adi Prasetyo, di Jakarta pada Kamis, 25 September 2008..

Menurut Yoseph, ketentuan pornografi cukup diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apalagi kalau RUU Pornografi disahkan, kata dia, maka akan muncul tumpang tindih aturan hukum. “Undang-undang ini akan menjadi lex specialis,” katanya.

Sejumlah elemen masyarakat menolak rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi. Penolakan muncul di sejumlah daerah, seperti Jawa Tengah dan Bali. Setidaknya ada lima pasal dalam draf yang kontroversial, utamanya karena ketentuan itu multitafsir.

Panitia Khusus RUU Pornografi di DPR dua hari sejak Selasa, 23 September lalu membahas kembali draf tersebut. Rencananya, pembahasan dilanjutkan pada 8 Oktober 2008. Anggota Panitia Khusus dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Latifah Iskandar, mengatakan Dewan telah menguji publik sejumlah pasal kontroversial, yakni Pasal 1, Pasal 4 dan Pasal 14.

Pasal 1 mengatur tentang definisi pornografi. Pasal 4 dan 14 berisi sejumlah larangan. Dari uji publik, DPR menemukan 22 poin yang harus dimintakan persetujuan fraksi. “Kami akan minta pendapat fraksi mengenai hasil uji publik,” kata Latifah.

Selain sejumlah elemen masyarakat, PDI Perjuangan dan Partai Damai Sejahtera menolak membahas draf tersebut. Anggota Panitia Khusus RUU Pornografi dari Fraksi PDI Perjuangan, Agus Sasongko, mengatakan bersedia membahas kembali apabila pasal kontroversial diubah secara keseluruhan. “Kalau ditanya usulan, kami minta dihentikan saja,” kata Agus.

Menurut Agus, rancangan ini bisa memecah belah bangsa dan bisa menimbulkan kekerasan antarmasyarakat. “Sangat rumit,” katanya.
Masyarakat, kata dia, dalam ketentuan itu dapat berperan serta mencegah pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. “Kalau ini dijalankan, muncul milisi swasta yang akan melakukan tindak kekerasan atas nama pencegahan.” Jika dilanjutkan, PDI Perjuangan mengusulkan mengganti pasal kontroversial. “Kami ingin semua jelas dan tak mendiskreditkan siapa pun.”

Adapun Fraksi Partai Damai Sejahtera menolak membahas draf tersebut. “Kami sudah mengirim surat berisi tak mau bertanggung jawab akan apa pun yang terjadi apabila aturan ini disahkan,” kata anggota Panitia Khusus, Tiurlan Hutagaol.

1 comments:

Anonymous said...

goog write. Peace mee

Template by : kendhin x-template.blogspot.com